Makna Kaidah Fikih “لا ضرر ولا ضرار”

“لا ضرر ولا ضرار”
(La Darara wala Dirar) merupakan salah satu prinsip fundamental dalam syariat Islam, yang menjadi landasan utama bagi penetapan banyak hukum dan peraturan. Kaidah ini menegaskan larangan mutlak untuk melakukan atau menimpakan kerugian, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, yang tidak didasarkan pada alasan yang sah menurut syariat.
Prinsip ini mencerminkan tujuan tertinggi (maqashid) syariah, yaitu untuk menarik kemaslahatan (kebaikan) dan menolak mafsadat (kerusakan atau bahaya).
Kekuatan kaidah ini bersumber langsung dari teks-teks otentik Islam:
1. Sandaran dari Hadis
Sandaran utama kaidah ini adalah sabda Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Sa’d bin Malik bin Sinan al-Khudri رضي الله عنه:
“لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ”
(La darara wala dirar)
“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh (sengaja) menimbulkan bahaya.”
(Diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa’, dan lainnya. Hadis ini dinilai hasan oleh ulama seperti Imam an-Nawawi dan Ibnu Rajab.)
2. Sandaran dari Al-Qur’an
Meskipun lafaz kaidah ini berasal dari hadis, maknanya didukung oleh beberapa ayat Al-Qur’an yang melarang perbuatan merugikan, terutama dalam konteks hubungan sosial dan hukum:
Dalam masalah talak (perceraian) dan rujuk:
Allah berfirman:
“…وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوا”
“…Dan janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka…” (QS. Al-Baqarah: 231)
Dalam masalah wasiat:
Allah berfirman tentang pembagian warisan:
“…مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ…”
“…(Pembagian-pembagian tersebut) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris).”
(QS. An-Nisa: 12)
Ayat-ayat ini secara eksplisit melarang tindakan yang bertujuan merugikan orang lain (الضِّرَار/ adh-dhirar).
Para ulama fikih (fuqaha) telah memberikan penjelasan mendalam tentang kaidah ini, khususnya mengenai perbedaan makna antara al-darar (الضَّرَر) dan al-dirar (الضِّرَار):
Pendapat Mayoritas (Pembeda Makna):
Al-Darar (الضَّرَر): Kerugian yang timbul tanpa disengaja atau kerugian yang menimpa seseorang dari perbuatan orang lain, yang sebenarnya tidak memiliki unsur permusuhan, tetapi mengakibatkan bahaya. Sebagian ulama mengartikannya sebagai seseorang yang merugikan orang lain yang tidak pernah merugikannya.
Al-Dirar (الضِّرَار): Kerugian yang dilakukan secara sengaja dan bertujuan untuk membalas atau memudaratkan orang lain. Sebagian ulama mengartikannya sebagai seseorang yang merugikan orang lain sebagai balasan (interaksi merugikan timbal balik).
Kesimpulan dari pendapat ini: Kaidah ini melarang segala bentuk kerugian, baik yang bersifat spontan (darar) maupun yang bersifat sengaja atau pembalasan yang tidak sah (dirar).
Sebagian ulama berpendapat bahwa kedua kata tersebut memiliki makna yang sama (bahaya atau kerugian), dan pengulangan keduanya (darar dan dirar) dimaksudkan sebagai ta’kid (penguatan) atas larangan tersebut, untuk menekankan bahwa syariat menolak segala jenis kerugian.
Kaidah Turunan
Dari kaidah utama ini, para ulama menyusun kaidah-kaidah fikih turunan yang aplikatif, di antaranya:
الضَّرَرُ يُزَالُ
(Al-Dararu Yuzalu): Kerugian/Bahaya itu harus dihilangkan. (Ini menjadi dasar bagi hukum ganti rugi, kewajiban membayar denda, dan lain-lain).
الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
(Al-Darurat Tubihul Mahdhuraat): Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang. (Misalnya, makan bangkai untuk mempertahankan hidup, yang pada dasarnya haram).
الضَّرَرُ الْأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ الْأَخَفِّ
(Al-Dararul Asyadd Yuzalu bil Dararil Akhaff): Kerugian yang lebih besar dihilangkan dengan menanggung kerugian yang lebih kecil. (Prinsip memilih risiko terkecil).
Saat Ini
Kaidah “لا ضرر ولا ضرار” memiliki relevansi yang sangat tinggi dan penerapan yang luas dalam kehidupan kontemporer, meliputi berbagai aspek:
1. Lingkungan dan Kesehatan Publik
Pencemaran Lingkungan: Perusahaan atau individu tidak boleh membuang limbah atau melakukan kegiatan yang menyebabkan polusi udara, air, atau tanah karena hal tersebut menimbulkan kerugian besar (darar) bagi masyarakat luas, kesehatan, dan ekosistem. Kaidah ini menjadi dasar hukum larangan perusakan lingkungan.
Wabah Penyakit: Dalam kasus pandemi COVID-19, kaidah ini menjadi dasar syar’i untuk penetapan kebijakan seperti:
Kewajiban protokol kesehatan (memakai masker, menjaga jarak) karena meninggalkan protokol dapat membahayakan orang lain (dirar).
Penundaan atau pembatasan kegiatan ibadah berjemaah (seperti salat Jumat atau salat berjemaah) untuk menghilangkan bahaya (darar) penyebaran virus yang lebih besar, sesuai dengan kaidah الضَّرَرُ الْأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ الْأَخَفِّ (Menghilangkan bahaya besar dengan menanggung bahaya kecil).
2. Hubungan Sosial dan Hak Tetangga
Pembangunan yang Merugikan: Seseorang tidak diperbolehkan membangun atau merenovasi rumahnya dengan cara yang menghalangi akses udara atau cahaya secara berlebihan terhadap tetangganya, atau dengan menimbulkan polusi suara (kebisingan) yang parah, karena ini termasuk darar yang wajib dihilangkan.
Penggunaan Teknologi: Menggunakan teknologi seperti drone untuk mengintip privasi tetangga atau menyebarkan informasi palsu (hoaks) yang merugikan nama baik orang lain adalah bentuk dirar (kerugian yang disengaja) dan termasuk perbuatan yang dilarang.
3. Ekonomi dan Bisnis
Penipuan dan Kecurangan: Semua bentuk penipuan (tadlis), riba, atau praktik bisnis yang merugikan konsumen (misalnya menjual produk cacat tanpa pemberitahuan) secara langsung dilarang oleh kaidah ini, karena menimbulkan darar finansial dan kepercayaan.
Monopoli atau Kartel: Praktik bisnis yang bertujuan membatasi persaingan secara tidak sehat dan merugikan konsumen atau pedagang lain dikategorikan sebagai dirar yang harus dihilangkan oleh otoritas.
Kaidah “لا ضرر ولا ضرار” adalah bukti bahwa Islam sangat menjunjung tinggi prinsip perlindungan terhadap hak hidup, harta, dan kehormatan. Prinsip ini memastikan bahwa setiap individu, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, tidak boleh melampaui batas hingga menimbulkan kerugian bagi orang lain. Penerapannya bersifat universal dan relevan sepanjang masa, menjadi payung hukum bagi setiap perbuatan yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan menghilangkan kerusakan di muka bumi.
(KH. Wahyudi Sarju Abdirrahim, Lc. M.M, Anggota Majelis Tabligh PWM Jateng dan Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Muflihun Temanggung)
Pondok Pesantren Modern Al-Muflihun Temanggung fokus pada kaderisasi ulama dengan berpijak pada turas islam (kitab kuning) dan pemikiran Islam kontemporer. No kontak: 081328096425
Silahkan salurkan wakaf dan sedekah Anda untuk pembangunan Pondok melalui LazisMu:
No rek:
BSI: 7890090073




