Mengemban Amanah Khalifah Sesuai Ajaran Islam

Oleh: Agus Priyadi, Anggota Majlis Tabligh PCM Merden dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara
Konsep “Memakmurkan Bumi” (Isti’mār al-Ardh atau al-‘Imārah) dalam Islam bukanlah sekadar kegiatan ekonomi, melainkan pilar utama dari fungsi manusia sebagai Khalifatullah fil Ardh (wakil Allah di muka bumi). Ini adalah tugas suci yang menyatukan ibadah vertikal (hablun minallah) dengan ibadah horizontal (hablun minannas dan hablun minal ‘alam).
Tugas ini termaktub jelas dalam firman Allah kepada Nabi Saleh ‘alaihissalam:
هُوَأَنشَأَكُممِّنَٱلْأَرْضِوَٱسْتَعْمَرَكُمْفِيهَافَٱسْتَغْفِرُوهُثُمَّتُوبُوٓاإِلَيْهِ
Artinya: “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS. Hud: 61)
Inti ajaran pada ayat di atas yaitu menciptakan kehidupan di bumi adalah perintah Allah, dan segala aktivitas pembangunan harus diiringi dengan kesadaran akan dosa (ketidakadilan/kerusakan) dan pertobatan (kembali pada jalan yang benar).
Memakmurkan bumi harus didasarkan pada tiga prinsip dasar yang menjaga keseimbangan alam semesta (Tawāzun): pertama, larangan berbuat kerusakan (Lā Tufsidū). Tugas memakmurkan bumi secara otomatis membawa konsekuensi larangan mutlak untuk merusak. Kerusakan yang timbul di darat dan laut adalah akibat dari perbuatan tangan manusia sendiri.
وَلَاتُفْسِدُوافِيالْأَرْضِبَعْدَإِصْلَاحِهَا
Artinya: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’rāf: 56).
Dari ayat di atas, dapat kita ambil pelajaran diantaranya; a) pengelolaan sumber Maya: Menghindari eksploitasi berlebihan (isrāf) terhadap hutan, air, dan mineral. b) pengendalian polusi: Mencegah pencemaran lingkungan (sampah, limbah) yang mengganggu ekosistem. dan c) keadilan ekologi: Tidak mengambil hak lingkungan hidup secara sepihak, seperti merusak daerah resapan air.
Kedua, pemanfaatan dengan bijak (Al-Intifā’ bil ‘Adl). Memakmurkan bumi berarti memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, adil, dan efisien. Rasulullah ﷺ mengajarkan untuk tidak boros dalam penggunaan air, bahkan saat berwudu di sungai yang mengalir deras. Ini adalah dasar bagi prinsip efisiensi energi dan air dalam pembangunan.
Selain itu, untuk memastikan bahwa hasil pembangunan dan sumber daya alam didistribusikan secara adil dan tidak hanya terpusat pada segelintir orang atau generasi, yang sejalan dengan konsep Sustainable Development (Pembangunan Berkelanjutan).
Ketiga, menghidupkan lahan mati (Ihyā’ al-Mawāt). Islam mendorong setiap individu untuk berkontribusi secara produktif, terutama dalam bidang pertanian, demi menyediakan pangan bagi umat. Konsep menghidupkan lahan yang tidak terurus adalah bentuk nyata isti’mār al-ardh. Siapa pun yang mengolah lahan mati, berhak memilikinya, sebagai motivasi untuk produktivitas. Dan menanam pohon atau tanaman adalah sedekah jariyah. Pahala terus mengalir selama tanaman itu memberi manfaat kepada manusia, hewan, dan lingkungan (oksigen).
Inti dari ajaran Islam adalah menjadikan seluruh aspek kehidupan—termasuk hubungan dengan alam—sebagai bentuk penghambaan (‘ubūdiyyah) kepada Allah. Alam sebagai ayatollah, artinya alam semesta dan seluruh isinya adalah tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatullah) yang harus direnungi (al-I’tibār), bukan hanya dieksploitasi. Merusak alam berarti mengabaikan tanda-tanda kebesaran-Nya.
Dalam bermuamalah dengan alam, Islam mengajarkan Ihsān (berbuat baik secara maksimal), yaitu mengelola alam dengan penuh kesadaran bahwa Allah mengawasi, seolah-olah kita melihat-Nya. Dan Tugas khalifah adalah mewariskan bumi dalam kondisi yang lebih baik, bukan lebih buruk, kepada generasi berikutnya.
Dengan demikian, memakmurkan bumi sesuai ajaran Islam adalah sebuah integritas moral dan spiritual yang mewajibkan Muslim untuk menjadi pelestari, pengguna yang bijak, dan arsitek pembangunan yang berkeadilan di muka bumi.




