Tantangan dan Etika Dakwah di Media Sosial
Oleh : Nurfahmi Fadlillah, S.P., M.P. ( Peserta Sekolah Tabligh PWM Jateng di UMPP)

Kegiatan dakwah menjadi hal yang sangat mendasar dalam Islam. Bagaimana tidak, tanpa dakwah maka ajaran Islam tidak akan sampai dan dipahami oleh umat manusia. Selain alasan tersebut, Islam juga senantisa mendorong umatnya untuk berbuat kebaikan sekaligus mengajak orang lain agar menjadi insan yang baik, berakhlak dan berpengetahuan. Maka sangat relevan jika Islam disebut sebagai agama dakwah. Oleh sebab itu, antara Islam dan dakwah merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga Islam butuh dakwah agar ajarannya tersampaikan, dan dakwah butuh Islam sebagai pijakannya.
Kemajuan teknologi dan informasi mempengaruhi kebiasaan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Di sini terdapat celah dakwah bahwa dalam menyampaikan pesan-pesan agama, juru dakwah tidak harus bertatap muka langsung dengan masyarakat. Media sosial memegang peranan penting dalam penyebaran dakwah di zaman sekarang. Sarwoto Atmosutarno dalam buku Panduan Optimalisasi Media Sosial untuk Kementerian Perdagangan RI, menyampaikan bahwa sampai tahun 2014 jumlah pemakai internet di Indonesia mencapai 70 juta atau 28% dari total populasi. Pemakai media sosial seperti Facebook berjumlah sekitar 50 juta atau 20% dari total populasi, sementara pengguna Twitter mencapai 40 juta atau 16% dari total populasi. Angka-angka di atas dari tahun ke tahun akan terus bertambah, karena ditopang oleh basis pemakai mobile/telepon seluler dan internet yang besar. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa hampir atau bahkan lebih dari sepertiga jumlah popolasi manusia Indonesia, kini telah melek internet (Mulyati, 2014: 2).
Data diatas menunjukkan besarnya pengguna media sosial di Indonesia. Selain sebagai peluang dakwah, disisi lain terkadang media sosial menjadi sumber pertengkaran dan perpecahan umat antara satu dengan yang lain. Dakwah yang seharusnya memberikan pesan-pesan kebaikan dan mengajak orang lain berbuat kebaikan, justru menjadi tempat saling membenarkan kepercayaannya sampai saling hujat satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, perlu adanya sikap untuk menghadapi tantangan dan etika dakwah di media sosial.
Penyebaran informasi yang tidak valid (Hoax)
Pesatnya media massa yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi, telah menimbulkan kebebasan manusia untuk berpendapat dan menyalurkan berita di media sosial. Bagi generasi milenial yang tidak asing mempergunakan gadget, tetapi di saat yang sama tidak diimbangi dengan kesiapan literasi media kritis untuk memilih dan menyikapi berita-berita yang objektif, risiko terjerumus dalam provokasi dan informasi hoax tentu lebih besar. Oleh sebab itu, al-Quran perlu didialogkan kembali sebagai pedoman umat Islam guna menanggulangi fenomena hoax seperti ini, untuk mengubah situasi masyarakat menjadi lebih baik. Allah dalam Surat Al-Hujarat ayat 6 berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu”.
Melalui ayat ini, Allah SWT mengingatkan agar umat muslim berhati-hati dalam menerima berita, terutama jika bersumber dari orang fasik. Islam mengajarkan kita untuk bertabayyun dan tidak menerima berita begitu saja. Berangkat dari pengertian inilah ada sejumlah ulama yang melarang kita menerima berita (riwayat) dari orang yang tidak dikenal, karena barangkali dia adalah orang yang fasik.
Menghindari Debat Kusir dan Perpecahan
Saat ini, media sosial sering kali menjadi platform penyebaran informasi dan rumor yang salah. Informasi di media sosial terkadang menjadi ajang pembenaran masing-masing golongan terhadap golongan yang lainnya. Sehingga seringkali menjadi berita yang menjadi debat kusir dan perpecahan satu sama lain. Allah dalam surat Ali-Imran ayat 103 berfirman :
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْاۖ وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
“Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ingatlah pula ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk”.
Selain itu Islam juga tidak menyukai perdebatan. Melihat dampak debat mengandung mudharat yang cukup besar, Rasulullah s.a.w. menganjurkan kita untuk meninggalkannya. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah :
Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “seorang hamba tidak dikatakan beriman dengan sepenuhnya hingga ia meninggalkan berbohong ketika sedang bergurau, dan meninggalkan berdebat meski ia benar.”
Dakwah di media sosial memiliki tantangan besar, termasuk penyebaran hoaks, perpecahan, dan penyalahgunaan popularitas. Oleh karena itu, etika dalam berdakwah harus tetap dijaga, dengan menggunakan bahasa yang santun, menjauhi fitnah, dan menyampaikan informasi berdasarkan ilmu yang benar. Ikhlas dalam berdakwah menjadi kunci utama agar pesan dakwah diterima dengan baik dan bernilai ibadah di sisi Allah.
Daftar Pustaka
Mulyati, Ani. 2014. Panduan Optimalisasi Media Sosial untuk Kementerian Perdagangan RI, Jakarta: Pusat Humas Kementerian Perdagangan.