Artikel

Meraih Kekayaan Hati di Tengah Gempuran Dunia

Oleh: Tri Wuryanto Susanto, S.P. (Sekretaris PRM Gumiwang dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara)

Di era konsumerisme yang serba cepat, banyak dari kita terjebak dalam perlombaan tanpa garis akhir: mengejar mobil terbaru, rumah termewah, dan status sosial tertinggi. Kita keliru mengira bahwa kebahagiaan berbanding lurus dengan kekayaan. Padahal, kebahagiaan sejati justru ditemukan dalam jalan yang lebih tenang, yaitu kesederhanaan.
Sederhana di sini bukanlah berarti miskin atau malas, melainkan sebuah filosofi hidup yang agung dalam Islam, yang disebut Qana’ah. Secara bahasa, Qana’ah berarti merasa cukup dan ridha terhadap segala ketetapan dan pemberian Allah. Qana’ah adalah sikap mental yang menjadikan hati seorang hamba kaya, tidak peduli seberapa banyak atau sedikit harta yang ia miliki.

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (jiwa).” (HR. Bukhari dan Muslim). Kekayaan hati inilah yang mendatangkan kebahagiaan sejati.

Ada beberapa pilar qana`ah yang membawa bahagia yaitu: pertama, rasa cukup yang menghilangkan kecemasan. Orang yang mengamalkan qana’ah yakin sepenuhnya bahwa rezeki telah dijamin oleh Allah ﷻ. Dia melakukan ikhtiar (usaha) semaksimal mungkin, namun hatinya tidak tamak terhadap hasil yang berlebihan. Ia tidak cemas melihat pencapaian orang lain, dan tidak takut kehilangan apa yang ada di tangannya.
Sebuah hadis menjamin keberuntungan bagi mereka yang memiliki sikap ini: “Sungguh beruntung orang yang telah masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan qana’ah (merasa cukup) dengan rezeki tersebut.” (HR. Ibnu Majah).

Kedua, fokus pada kebutuhan bukan keinginan. Hidup sederhana adalah hidup yang menempatkan segala sesuatu sesuai kebutuhan (hajat), bukan mengikuti tuntutan keinginan (hawa nafsu) yang tidak ada habisnya. Sederhana mengajarkan kita untuk tidak boros (israf) dan tidak menghambur-hamburkan harta (tabdzir).

Ketika kebutuhan terpenuhi, ada rasa puas dan syukur. Sementara ketika keinginan dituruti, ia hanya akan melahirkan keinginan baru yang lebih besar.

Ketiga, kebahagiaan sejati. Allah SWT berjanji bahwa kebahagiaan duniawi yang hakiki (yang disebut Hayatan Tayyibah – kehidupan yang baik) akan diberikan kepada mereka yang beriman dan beramal saleh.

Allah SWT berfirman: “Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sungguh, Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik; dan sungguh, Kami akan berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97).

Hayatan Tayyibah sering ditafsirkan sebagai ketenangan hati, kepuasan jiwa, dan penerimaan terhadap takdir—inti dari kesederhanaan. Inilah kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan harta.

Rasulullah SAW adalah teladan tertinggi dalam kesederhanaan. Dalam hal makanan, Beliau makan secukupnya, bahkan tidak pernah merasa kenyang. Beliau tidak pernah mencela makanan yang ada, mengajarkan kita untuk bersyukur atas hidangan di hadapan kita.
Dalam hal tempat tinggal, rumah beliau hanya terbuat dari tembok bata dan beratapkan daun kurma, jauh dari kemewahan. Beliau mengajarkan, “Jadikanlah dirimu di dunia ini seakan-akan orang asing atau penyeberang jalan.” (HR. Bukhari).

Kesederhanaan beliau adalah bukti bahwa kualitas hidup tidak diukur dari kemewahan fisik, melainkan dari kedekatan hati dengan Sang Pencipta. Sederhana adalah sebuah keputusan untuk memenangkan hati dari perbudakan materi. Ketika kita memilih Qana’ah, kita membebaskan diri dari perbandingan, kecemburuan, dan rasa kurang. Kita menyadari bahwa kebahagiaan telah ada di dalam diri, terbungkus rapi dalam rasa syukur, ketaatan, dan rasa cukup.

Maka tepat sekali kata orang bijak; “Sederhana itu Bahagia’, karena ia memindahkan fokus hidup dari ‘memiliki’ menjadi ‘mensyukuri’.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button