Menjadi Mulia Dengan Menuntut Ilmu
rohman PRPM Pesantren dan mahasiswa sekolah tabligh PWM JATENG Kelas Banjarnegara

Islam menempatkan ilmu pada kedudukan yang sangat tinggi. Tidak ada kemuliaan yang lebih agung bagi manusia kecuali ketika ia hidup dengan ilmu, karena dengan ilmu, seseorang mengenal Rabb-nya, memperbaiki amalnya, dan menapaki jalan menuju surga.
Ilmu adalah cahaya yang menerangi kehidupan, sementara kebodohan adalah kegelapan yang menyesatkan. Allah ﷻ memuliakan orang yang berilmu bukan karena hartanya, keturunannya, atau jabatannya, tetapi karena pengetahuan dan ketakwaannya.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujādilah: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan sejati adalah dengan ilmu dan iman. Semakin dalam ilmu seseorang tentang agama, semakin tinggi derajatnya di sisi Allah.
- Makna Ilmu dan Ulama
Secara bahasa, kata “ʿilm” (العلم) berarti mengetahui sesuatu dengan jelas dan pasti. Sedangkan “ulama” berasal dari akar kata yang sama, bermakna orang-orang yang mengetahui.
Namun secara istilah syar’i, ulama bukan hanya orang yang banyak tahu, tetapi mereka yang mengenal Allah dan takut kepada-Nya.
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.”
(QS. Fāthir: 28)
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini bermakna:
“Semakin dalam ilmu seseorang tentang Allah, sifat-sifat dan syariat-Nya, maka semakin besar pula rasa takutnya kepada-Nya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 6/544)
Al-Qurthubi menambahkan:
“Hanya orang yang mengenal kebesaran Allah dan keagungan-Nya yang benar-benar takut kepada-Nya, dan mereka itulah para ulama.”
(Tafsir al-Qurthubi, 14/237)
Maka, ukuran kemuliaan seorang alim bukan pada banyaknya hafalan atau penguasaan kitab, tetapi pada sejauh mana ilmunya menumbuhkan rasa takut dan tunduk kepada Allah.
- Keutamaan Menuntut Ilmu
Islam memberikan kedudukan istimewa bagi para penuntut ilmu. Dalam banyak hadits, Rasulullah ﷺ memuji mereka sebagai pewaris para nabi.
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.”
(HR. Abu Dawud no. 3641, Tirmidzi no. 2682)
Para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, melainkan ilmu. Maka siapa yang menuntut ilmu, hakikatnya sedang mewarisi amanah kenabian.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim no. 2699)
Hadits ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu adalah ibadah, bahkan menjadi jalan menuju surga.
- Ilmu yang Bermanfaat dan yang Tidak Bermanfaat
Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk selalu memohon ilmu yang bermanfaat dan berlindung dari ilmu yang tidak berguna.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”
(HR. Muslim no. 2722)
Ilmu yang bermanfaat adalah:
- Ilmu yang mendekatkan kepada Allah,
- Membimbing pada amal saleh,
- Memberi manfaat bagi sesama manusia.
Ilmu yang tidak bermanfaat adalah:
- Ilmu yang tidak diamalkan – menjadi hujjah atas dirinya di akhirat.
(QS. As-Shaff: 3) - Ilmu yang menimbulkan kesombongan – untuk pamer, debat, atau mencari pujian.
(HR. Ibnu Majah no. 253) - Ilmu sihir dan perdukunan – menjerumuskan ke dalam kekufuran.
(QS. Al-Baqarah: 102) - Ilmu yang sia-sia dan membuang waktu, tidak memberi manfaat dunia maupun akhirat.
(QS. Luqman: 6)
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
“Setiap ilmu yang tidak menuntun kepada mengenal Allah dan taat kepada-Nya, maka itu termasuk ilmu yang tidak bermanfaat.”
(Miftah Dar as-Sa‘adah, 1/71)
- Adab Penuntut Ilmu
Para ulama salaf menekankan bahwa adab lebih utama daripada ilmu.
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.”
(Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm, 1/80)
Beberapa adab penting bagi penuntut ilmu:
- Ikhlas – menuntut ilmu karena Allah, bukan karena dunia.
- Tawadhu’ (rendah hati) – menghormati guru dan teman.
- Mengamalkan ilmu – agar ilmunya berbuah pahala.
- Sabar dan istiqamah – karena ilmu tidak didapat dengan kemalasan.
- Menjaga waktu dan menjauhi maksiat – sebab maksiat menghalangi ilmu.
- Kemuliaan Orang Berilmu
Kemuliaan seseorang di sisi Allah bukan diukur dari kekayaan, tetapi dari ilmunya yang menumbuhkan iman.
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Katakanlah, apakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Az-Zumar: 9)
Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
“Ilmu itu ada dua:
- Ilmu di lisan, itulah hujjah Allah atas manusia.
- Ilmu di hati, itulah ilmu yang bermanfaat.”
(Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 299)
Maka, kemuliaan sejati bukan pada banyaknya pengetahuan, tetapi pada ilmu yang menghidupkan hati, menumbuhkan rasa takut kepada Allah, dan mendorong amal saleh.
Menuntut ilmu adalah jalan menuju kemuliaan dunia dan akhirat. Ilmu adalah warisan para nabi, cahaya bagi hati, dan bekal menuju surga.
Namun, tidak setiap ilmu membawa keberkahan — hanya ilmu yang bermanfaat, diamalkan, dan menumbuhkan ketakwaanlah yang mengangkat derajat seseorang di sisi Allah.
“Barangsiapa yang menghendaki dunia, maka harus dengan ilmu;
Barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka harus dengan ilmu;
Dan barangsiapa menghendaki keduanya, maka juga dengan ilmu.”
(Imam Asy-Syafi‘i, dinukil dalam Hilyatul Auliya’, 9/123)




