Artikel

Menanam Benih Tanggung Jawab Sejak Dini

Oleh: Kardi, Anggota Majlis Tabligh PCM Pandanarum dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara

Melatih kemandirian pada anak adalah salah satu pilar utama dalam pendidikan Islam. Kemandirian tidak hanya berarti kemampuan mengurus diri sendiri secara fisik, tetapi jauh lebih dalam, ia adalah pembentukan pribadi yang bertanggung jawab, memiliki inisiatif, dan mampu mengambil keputusan—semua elemen penting untuk menjadi seorang Muslim yang mandiri di hadapan Allah dan bermanfaat bagi masyarakat.

Konsep melatih kemandirian anak berakar kuat pada perintah agama untuk menjaga diri dan keluarga dari kelemahan dan kehinaan, baik di dunia maupun di akhirat. Perintah mendasar bagi orang tua adalah menyelamatkan keluarga dari segala bentuk keburukan, yang secara implisit menuntut pembentukan pribadi yang tangguh.

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)

Menurut para ulama, menjaga keluarga dari api neraka dilakukan dengan mendidik mereka di atas ketaatan, ilmu, dan tanggung jawab. Anak yang manja, tidak mandiri, dan tidak bertanggung jawab adalah generasi yang lemah (dha’if). Pendidikan kemandirian adalah upaya preventif agar anak tidak menjadi beban atau tersesat, sehingga mereka mampu “memelihara diri sendiri” dan orang lain.

Al-Qur’an juga mengingatkan orang tua agar tidak meninggalkan keturunan yang lemah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al qur`an surat Al Imron ayat 9. Ayat ini merujuk pada kekhawatiran meninggalkan anak-anak dalam keadaan lemah.

Imam Al-Ghazali menekankan bahwa kelemahan yang dimaksud bukan hanya fisik atau finansial, tetapi juga kelemahan dalam akal, moral, dan keterampilan hidup. Melatih kemandirian sejak dini adalah strategi untuk memastikan anak tumbuh kuat, berdaya saing, dan mampu mencari rezeki sendiri, sesuai dengan sabda Nabi Daud AS, “Tidak ada makanan yang lebih baik untuk seseorang melebihi makanan yang dihasilkan oleh tangannya sendiri.” (HR. Al-Bukhari).

Rasulullah SAW memberikan teladan nyata tentang penanaman tanggung jawab dan kemandirian sejak usia dini, terutama dalam konteks ibadah dan pekerjaan. Rasulallah bersabda:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Artinya: “Perintahkanlah anak-anakmu untuk salat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka (dengan pukulan mendidik) karena meninggalkannya saat usia mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud)

Jika anak dilatih untuk disiplin dalam salat, yaitu bangun sendiri, wudu sendiri, dan memenuhi kewajiban agama tanpa harus diperintah setiap saat, maka ia telah menanamkan kemandirian tertinggi: kemandirian spiritual (bertanggung jawab langsung kepada Allah). Kemandirian dalam urusan dunia akan mengikuti kemandirian dalam urusan agama.

Kisah Luqman al-Hakim dalam Al-Qur’an (QS. Luqman: 13-19) adalah kurikulum terpadu yang menanamkan kemandirian moral dan sosial. Luqman mengajarkan anaknya untuk; mendirikan salat, menyuruh kepada kebaikan (amar ma’ruf), mencegah dari kemungkaran (nahi mungkar), bersabar terhadap musibah dan tidak sombong dan membanggakan diri.

Pesan ini melatih anak untuk mandiri secara sosial. Ia harus mampu bertindak atas inisiatif sendiri dalam masyarakat (menyuruh kebaikan), berani menolak tekanan buruk (mencegah kemungkaran), dan memiliki ketahanan mental (sabar). Ini adalah kemandirian yang mengarah pada kepemimpinan di tengah umat.

Kemandirian yang diajarkan Islam meliputi tiga aspek utama yang harus dilatih yaitu kemandirian fisik, kemandirian intelektual dan spiritual. Kemandieian fisik adalah kemampuan mengurus kebutuhan dasar dan menjaga kebersihan diri. Wujud implementasi praktisnya dengan melatih anak memakai pakaian, mengikat tali sepatu, mandi, makan sendiri, dan merapikan mainan sejak usia dini.

Kemandirian intelektual adalah kemampuan berpikir kritis, mencari ilmu, dan mengambil keputusan. Impelementasi praktisnya dengan cara memberi anak pilihan (baju mana yang ingin dipakai, buku mana yang ingin dibaca) dan membiarkan mereka mencari solusi sederhana dari masalah yang dihadapi. Sedangkan kemandirian spiritual adalah kemampuan menunaikan ibadah dan bertanggung jawab atas akhlaknya sendiri. Implementasi praktisnya dengan membiasakan anak berwudu dan salat tepat waktu tanpa disuruh; mengajarkan muhasabah (introspeksi diri) dan taubat atas kesalahan.

Mendidik anak menjadi mandiri bukanlah upaya untuk melepaskan tanggung jawab orang tua, melainkan untuk memindahkan tanggung jawab tersebut secara bertahap kepada pundak anak. Orang tua adalah arsitek yang bertugas mendirikan fondasi keimanan dan keterampilan hidup, agar kelak anak dapat berdiri tegak sebagai hamba Allah yang kuat, tidak tergantung pada manusia, dan hanya bergantung sepenuhnya kepada-Nya (Tawakkal).

Sebagaimana pepatah lama dalam pendidikan: “Ajarilah anakmu cara memancing, jangan hanya memberinya ikan.” Dalam Islam, “memancing” adalah melatih kemandirian, tanggung jawab, dan tawakal, agar mereka siap menghadapi masa depan yang sama sekali berbeda dari masa orang tuanya.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Check Also
Close
Back to top button