Artikel

Manifestasi Tauhid Dalam Kehidupan

Oleh: Agus Priyadi, S.Pd.I.

Manifestasi Tauhid dalam Kehidupan

Oleh: Agus Priyadi, S.Pd.I.*)

Tauhid dapat dikatakan sebagai basis seluruh keimanan, norma dan nilai bagi umat Islam. Tauhid juga mengandung muatan doktrin yang sentral dan asasi dalam Islam yaitu dengan meng-esa-kan Allah yang berasal dari kalimat “La ilaha illallah” bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.

Dalam pandangan empiris secara umum, tauhid seolah hanya sebuah konsep yang membuat orang hanya mampu berkutat pada doktrin itu semata. Kesan yang timbul adalah tauhid hanyalah untuk diyakini dan diucapkan, tidak lebih. Padahal praktek tauhid yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW tidaklah seperti itu. Tauhid tidak berhenti hanya sebatas doktrin, tapi harus ditunjukkan dengan sikap dalam kehidupan. Dengan begitu akan lahir rasa kebahagiaan dan kedamaian dalam setiap dimensi kehidupan.

Tauhid sebagai sentral dan dasar keyakinan dalam Islam ini menjadi sumber totalitas sikap dan pandangan hidup umat dalam keseluruhan dimensi kehidupan. Pandangan Tauhid yang bersifat menyeluruh ini selain melahirkan keyakinan akan ke-esa-an Allah juga melahirkan konsepsi ketauhidan yang lainnya dalam wujud keyakinan akan kesatuan penciptaan, kesatuan kemanusiaan, kesatuan pedoman hidup dan kesatuan tujuan hidup umat manusia.

Tauhid bagaikan khazanah yang disatukan. Pada permukaannya akan kelihatan prinsip akidah yang sederhana, tapi apabila direntangkan ia akan meliputi seluruh alam. Artinya, keseluruhan Islam adalah suatu tubuh yang terbentuk dari berbagai anggota dan bagian, sedangkan jiwanya adalah tauhid. Ketika tauhid (sebagi ruh) terpisah dari anggota dan bagian itu (dalam bentuk amaliyah dan sikap), maka yang akan terbentuk hanyalah sebuah bangkai yang tak bernyawa atau mati.

Tauhid, dengan serangkaian nilai yang dikandungnya, saat ini mendapatkan tantangan yang cukup besar. Di mana konsep tauhid tidak cukup hanya dipahami sebagai doktrin semata yang ternyata tidak mampu menjawab persoalan zaman. Sebagai muslim, tidaklah cukup kalimat tauhid tersebut hanya dinyatakan dalam bentuk ucapan (lisan) dan diyakini dalam hati, tetapi harus dilanjutkan dalam bentuk perbuatan.

Sebagai konsekuensi pemikiran ini, berarti semua ibadah murni (mahdhah) seperti shalat, puasa, haji, dan seterusnya memiliki dimensi sosial. Kualitas ibadah seseorang sangat tergantung pada sejauh mana ibadah tersebut mempengaruhi perilaku sosialnya.

Tauhid membentuk manusia dapat menempatkan manusia lain pada posisi kemanusiaannya. Manusia tidak dihargai lebih rendah dari kemanusiaanya sehingga diposisikan bagai binatang, atau lebih tinggi bagai tuhan. Ketika itu, maka berbagai kerusuhan berjubah agama yang selalu muncul silih berganti di berbagai belahan bumi ini tak perlu terjadi. Seperti sejarah perang salib yang merupakan potret pertentangan panjang antar pemeluk Islam-Kristen.

Dalam wilayah kepentingan hidup umat manusia, konsepsi tauhid sesungguhnya mempunyai banyak dimensi aktual, salah satunya adalah dimensi pemerdekaan atau pembebasan dari segala macam perbudakan.

Diharuskannya manusia bertauhid dan dilarangnya menyekutukan Allah yang disebut syirik, bukanlah untuk kepentingan status-quo Tuhan yang memang maha merdeka dari interes-interes semacam itu, tetapi untuk kepentingan manusia itu sendiri. Dengan demikian terjadi proses emansipasi teologis yang sejalan dengan fitrah kekhalifahan manusia di muka bumi.

Manusia bukanlah sekadar abdi Allah, tetapi juga khalifah Allah di muka bumi ini. Karenanya, manusia harus dibebaskan dari penjara-penjara thaghut dalam segala macam konsepsi dan perwujudannya, yang membuat manusia menjadi tidak berdaya sebagai khalifah-Nya. Sehingga dengan keyakinan tauhid itu, manusia menjadi tidak akan terjebak pada kecongkakan karena di atas kelebihan dirinya dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya masih ada kekuasaan Allah Yang Maha segala-galanya.

Selain itu, manusia diberi kesadaran yang tinggi akan kekhalifahan dirinya untuk memakmurkan bumi ini yang tidak dapat ditunaikan oleh makhluk Tuhan lainnya sehingga dirinya haruslah bebas atau merdeka dari berbagai penjara kehidupan yang dilambangkan thaghut.

Dengan ketundukan kepada Allah sebagai wujud sikap bertauhid dan bebasnya manusia dari penjara thaghut maka hal itu berarti bahwa manusia sungguh menjadi makhluk merdeka di muka bumi, sebuah kemerdekaan yang bertanggungjawab selaku khalifahNya.

Karenanya, secara rasional dapat dijelaskan bahwa keyakinan kepada Allah yang Maha esa sebagaimana doktrin tauhid mematoknya demikian, selain memperbesar ketundukan manusia dalam beribadah selaku hamba-Nya, sekaligus memperbesar dan mengarahkan potensi kemampuan manusia selaku khalifah-Nya di atas jagad raya ini. Dengan demikian, selain pada aras individual, tauhid memiliki dimensi aktualisasi bermakna pembebasan atau pemerdekaan pada arus kehidupan kolektif dan sistem sosial.

Dalam konteks Indonesia, sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka implementasi sikap hidup tauhid sangatlah dituntut bagi setiap muslim dalam menyehatkan sistem dan memberdayakan rakyat di berbagai aspek kehidupan baik di bidang politik, ekonomi, budaya, dan aspek-aspek kehidupan penting lainnya.

Lebih-lebih ketika para muslim itu memiliki posisi dan otoritas formal yang penting serta menentukan kepentingan atau hajat hidup orang banyak. Umat Islam secara kolektif dan orang-orang Islam secara individual dituntut untuk menjadi teladan yang terbaik dalam mempraktekkan kehidupan dan membentuk bangunan sosial yang bagus, sebagai pancaran sikap hidup tauhid.

Inilah yang dikehendaki dalam wacana dan perspektif tauhid sosial. Dalam aktualisasi konkretnya, tuntutan untuk mengaktualisasikan tauhid dalam kehidupan sosial sebagaimana komitmen dari tauhid sosial, tentu saja tidaklah bersifat sederhana dan bahkan terbilang merupakan tantangan berat karena akan bersinggungan dengan beragam kepentingan yang melekat dalam diri manusia selaku aktor sosial dan pada struktur atau sistem sosial.

Tidak jarang terjadi kecenderungan, secara formal seseorang itu bertauhid dalam artian tidak menjadi musyrik, tetapi dalam kehidupan sosialnya mempraktekkan hal-hal yang bertentangan dengan esensi dan makna tauhid.

Kecenderungan ini terjadi, sebab besar kemungkinan bahwa apa yang dinamakan thaghut sebagai perlambang tuhan selain Allah, ketika bersarang dalam diri manusia mungkin lebih bersifat satu wajah yang bernama hawa nafsu atau pikiran-pikiran sesat yang bersifat individual, tetapi ketika masuk ke dalam struktur sosial akan banyak sekali wajah dan perwujudannya dalam bentuk jahiliyah sistem sebagai akumulasi dari pertemuan seribu satu hawa nafsu dan pikiran-pikiran sesat yang bersifat kolektif.

Karenanya sebagai perwujudan atau aktualisasi bertauhid, boleh jadi ada orang shalih secara individual, tetapi tidak shalih secara sosial. Sebab pengalaman empirik menunjukkan, menciptakan sistem sosial yang shaleh bukan pekerjaan gampang. Hal yang paling buruk ialah, banyak orang yang secara individual tidak sholeh hidup di tengah sistem sosial yang munkar.

*) Penulis adalah anggota KMM PDM Banjarnegara dan Santri Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button