Artikel

Amal Jariyah: Investasi Abadi Setelah Mati

Oleh: Tri Wuryanto Susanto, S.P.

(Sekretaris PRM Gumiwang dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara)

Setiap manusia yang hidup pasti akan menjumpai kematian. Kematian adalah batas putusnya segala aktivitas duniawi. Namun, Islam mengajarkan konsep yang luar biasa yakni amal jariyah — sebuah perbuatan baik yang pahalanya terus mengalir, laksana mata air yang tak pernah kering, bahkan setelah pelakunya dikuburkan. Amal Jariyah adalah investasi spiritual terbaik yang kita tanam di dunia, untuk kita tuai hasilnya di akhirat.

Landasan utama dari konsep amal jariyah terdapat dalam Hadis Shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang membatasi bahwa terputusnya amal seseorang dikecualikan oleh tiga hal.

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Artinya: “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim, No. 1631)

Ketiga pilar ini merupakan fondasi untuk merancang kehidupan yang tidak hanya fokus pada bekal hidup, tetapi juga pada bekal mati. Pertama, sedekah jariyah. Sedekah jariyah adalah bentuk infak yang manfaatnya berkelanjutan dan berjangka panjang. Para ulama, seperti Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sedekah jariyah dalam hadis ini adalah wakaf. Wakaf adalah menahan harta yang pokok (aset) untuk digunakan manfaatnya demi kepentingan umum secara terus-menerus.

Contoh-contoh Sedekah Jariyah diantaranya; membangun atau berkontribusi pada masjid: Selama masjid digunakan untuk shalat, zikir, dan kajian, pahalanya akan mengalir. Membangun sumur atau sumber air bersih: Setiap tetes air yang diminum atau digunakan untuk wudu oleh orang lain akan menjadi pahala. Atau mewakafkan Al-Qur’an dan Buku Agama: Selama mushaf itu dibaca dan dipelajari, pahala akan terus diterima.

Kedua, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diajarkan atau disebarkan, kemudian diamalkan oleh orang lain, baik ilmu agama maupun ilmu dunia yang membawa kemaslahatan bagi umat.

Ibnu Hajar Al-Asqalani (ulama fiqih dan hadis) menegaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah warisan terbaik seorang ulama atau pendidik. Bahkan, menulis buku yang menjadi rujukan kebaikan dan menyebar luaskan kajian di media digital modern juga termasuk dalam kategori ini, asalkan kontennya benar dan diamalkan oleh penerimanya.

Allah SWT berfirman: “Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.'” (QS. Thaha [20]: 114). Perintah untuk menuntut ilmu ini menjadi pondasi untuk membagikannya sebagai amal jariyah.

Ketiga, anak shalih yang mendo`akan. Mendidik anak agar menjadi pribadi yang shalih adalah bentuk investasi terbesar yang pahalanya tidak terputus. Pahala amal jariyah ini didapatkan karena upaya orang tua dalam memberikan pendidikan akidah dan akhlak terbaik kepada anak. Ketika sang anak tumbuh dewasa dan mendoakan kedua orang tuanya:

رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Artinya: “Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.” (QS. Al-Isra’ [17]: 24)

Do`a tulus inilah yang akan melimpahkan pahala dan ampunan bagi orang tua, meskipun mereka telah tiada.

Selain tiga pilar utama di atas, Rasulullah SAW juga menyebutkan amalan-amalan lain yang tergolong dalam amal jariyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albani: “Sesungguhnya di antara amal kebaikan yang pahalanya akan menyertai seorang mukmin setelah kematiannya adalah: ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan, mushaf Al-Qur’an yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah yang ia dirikan untuk ibnu sabil (musafir), saluran air yang ia alirkan (irigasi/sumur), atau sedekah yang ia keluarkan dari hartanya sewaktu sehat dan hidup. Amalan-amalan ini akan tetap menyertainya setelah kematiannya.” (HR. Ibnu Majah, No. 242)

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (ulama fiqih kontemporer) selalu menekankan bahwa amal jariyah adalah manifestasi dari pemahaman Muslim terhadap kekekalan. Kita tidak hidup hanya untuk hari ini, tetapi berinvestasi untuk hari yang abadi.

Jangan menunggu kaya untuk beramal jariyah. Pahala tidak diukur dari jumlahnya, melainkan dari keikhlasan dan keberlangsungan manfaatnya. Bahkan menyumbang satu batu bata untuk pembangunan masjid, satu mushaf Al-Qur’an, atau mengajarkan satu ayat Al-Qur’an kepada anak adalah pintu-pintu amal jariyah yang terbuka lebar bagi setiap Muslim. Oleh karenanya, mari kita berburu peluang amal jariyah, sebab ketika nafas terhenti, inilah satu-satunya sumber pahala yang akan terus mengalir, menemani kita di alam kubur, hingga Hari Perhitungan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button