
Dalam Islam, akal manusia tidak sekadar instrumen berpikir, tetapi merupakan bagian dari kesaksian primordial terhadap keberadaan Tuhan. Ketika Allah bertanya dalam alam ruh, “Alastu bi Rabbikum?” (Apakah Aku bukan Tuhanmu?), manusia menjawab, “Balaa syahidnaa” (Betul, kami bersaksi). Kesaksian ini, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-A’raf ayat 172, disebut mitsaq, yakni pengakuan agung seluruh ruh manusia sebelum dilahirkan ke dunia. Di dalam momen ini, manusia—dalam bentuk ruh dan dengan akal yang telah dianugerahkan padanya—mengikrarkan ketundukan kepada Rabb-nya. Maka sejak awal, manusia telah membawa fitrah ilahiyah, yakni kesadaran mendalam bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang patut disembah.
Fitrah ini kemudian berwujud dalam kemampuan nalar yang menjadi keistimewaan utama manusia. Islam menyebut manusia sebagai hayawan nathiq, makhluk hidup yang memiliki kemampuan bernalar. Namun istilah ini bukanlah justifikasi terhadap teori Darwin tentang evolusi manusia dari hewan, melainkan pengakuan bahwa dalam diri manusia memang terdapat irisan sifat hewani. Akan tetapi, manusia dibekali dengan akal (‘aql) yang menjadikannya mampu menekan dorongan-dorongan rendah itu. Dengan akal, manusia mampu menimbang, memilih, dan mengarahkan diri menuju kebaikan.
Secara etimologis, ‘aql berarti “pengikat”—yang menunjukkan bahwa akal berfungsi mengikat dan menyusun ilmu (‘ilm) yang diperoleh manusia. Lebih jauh, akal merupakan substansi ruhaniah yang mampu membedakan antara yang benar (haq) dan yang salah (bathil). Aktivitas akal yang disebut fikr (berpikir), menjadi sarana bagi manusia untuk menelusuri kebenaran dan memperhalus nurani. Dalam Islam, akal bukanlah sekadar alat logis, tetapi sarana spiritual yang menuntun pada pilihan moral dan kebaikan (khayr), yakni ikhtiar menuju ridha Ilahi.
Akal dalam pandangan Islam bukan berdiri sendiri, melainkan harus dipandu oleh wahyu. Fungsi tertinggi akal dengan panduan wahyu adalah menjadi furqon, yaitu daya untuk membedakan yang haq dan yang bathil. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 185) sebagai hudan linnas, petunjuk bagi manusia, dan sebagai al-furqon, pembeda. Dalam keterikatannya pada wahyu (khabar shadiq), akal memperoleh validitas dan arah yang benar. Maka akal dan wahyu harus berjalan seiring, saling menguatkan dalam mencari kebenaran sejati.
Proses berpikir (fikr) yang bertumpu pada akal dan diterangi oleh wahyu akan melahirkan konstruksi keyakinan mendalam (basic belief). Dari sinilah terbentuk pikiran (fikrah), yang kemudian diwujudkan dalam perkataan (qaul), perbuatan (‘amal), dan akhirnya membentuk pola hidup (minhajul hayah). Dalam Islam, ini adalah sebuah proses integral: dari pengakuan ruhaniah kepada Tuhan, dibimbing oleh akal dan wahyu, hingga mengakar dalam praksis kehidupan sehari-hari. Semua itu memperlihatkan betapa pentingnya menjaga kejernihan akal yang dipandu oleh cahaya wahyu.
Akal bukanlah entitas bebas nilai atau sekadar alat rasionalisme kering. Dalam Islam, akal adalah substansi ruhaniyah digunakan untuk menyelami kebenaran, menapaki jalan kebaikan, dan mewujudkan hidup yang bermakna. Ketika akal berpadu dengan iman, maka ia akan melahirkan kesepaduan manusia yang utuh—yang berpijak pada fitrah, bergerak dalam kesadaran akan Tuhan, dan berakhir dalam pengabdian total kepada-Nya (‘abd). Di sinilah letak kemuliaan manusia: bukan hanya karena daya pikirnya, tetapi karena ia mampu menggunakan pikirannya untuk mengenal, mengakui, dan taat kepada Rabb-nya.




