ArtikelMu'amalahTuntunan

Islam Sebagai Ruh Advokasi Lingkungan

Dalil Tindakan Advokasi Sosio Ekologis

Dalam pandangan Islam, bumi bukan sekadar ruang hidup, melainkan amanah yang mesti dijaga dengan kesadaran sebagai khalifah Allah di muka bumi. Alam semesta adalah ayat-ayat kauniyah yang tak henti mengingatkan manusia akan kebesaran Sang Pencipta. Maka, menjaga lingkungan hidup sejatinya bukan hanya kerja teknis, tetapi bagian dari ibadah dan wujud konkret dari ketaatan. Dalam syariat Islam, relasi manusia dan alam dibingkai oleh nilai-nilai tauhid, i’tidal (keseimbangan), dan istishlah (kemaslahatan). Alam bukan milik mutlak manusia, melainkan titipan yang harus dikelola dengan bijaksana.

Islam menempatkan seluruh elemen alam—air, tanah, udara, hewan, dan tumbuhan—dalam tatanan yang sakral. Mereka bukan sekadar sumber daya, tapi bagian dari ekosistem yang saling terhubung dan memuji Tuhannya dalam cara yang tak selalu kita pahami. “Tidaklah ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka” (QS. Al-Isra: 44). Syariah Islam memberi rambu yang jelas tentang bagaimana manusia harus bersikap terhadap ciptaan Allah ini: menggunakannya dengan adil, memeliharanya dari kerusakan, dan memulihkannya ketika terluka.

Namun, tantangan terbesar bukanlah pada aspek teknis, melainkan pada paradigma. Banyak yang keliru memahami lingkungan islami hanya sebatas ornamen masjid, kaligrafi, atau arsitektur Timur Tengah. Padahal, yang lebih esensial adalah bagaimana suatu lingkungan memfasilitasi dzikrullah, memacu amal shalih, dan membangkitkan kesadaran ekologis. Lingkungan yang islami adalah yang menumbuhkan akhlak, mendorong ketawadhuan, dan menghidupkan nilai-nilai seperti keadilan, amanah, dan tawazun (keseimbangan) dalam keseharian penghuninya.

Membangun lingkungan semacam itu berarti mengintegrasikan nilai-nilai ruhani ke dalam setiap elemen ruang hidup: dari perencanaan tata kota, pemilihan teknologi, hingga bahan bangunan dan pola konsumsi. Lingkungan islami adalah ekosistem yang menyeimbangkan kebutuhan manusia dan makhluk lainnya. Ia adalah ruang di mana teknologi tunduk pada etika, dan pembangunan tidak menjauhkan manusia dari langit.

Di tengah krisis ekologis global—mulai dari perubahan iklim hingga punahnya spesies—Islam hadir menawarkan solusi berbasis nilai. Bukan sekadar konservasi, tapi rekonsiliasi spiritual antara manusia dan alam. Islam mendorong manusia tidak bertindak fasad kepada Alam, dan ada amanah untuk himayatu ad-din wa hirasatu ad dunya. Melakukan tindakan sosioekologis seperti melakukan advokasi publik melalui jalur-jalur dakwah lintas jama’ah mengenai kerusakan alam; dampak serta tindakan preventif secara struktural atau kultural, membela kaum mustad’afin yang ditindas hanya karena kepentingan elit dalam mengelola SDA tanpa memertimbangkan maslahat masa depan, menyuarakan Fikih Transisi Energi berkeadilan dan menyuarakan keadilan pangan untuk kesejahteraan rakyat.

Kini, saatnya menyuarakan melalui para Mubaligh yang terjun di masyarakat, kemudian mengaktualkannya dalam langkah-langkah konkret. Kita dipanggil untuk bertindak—membumikan nilai-nilai tauhid, membangkitkan kesadaran khalifah, dan menjadikan bumi sebagai masjid (kullu ardh masjidun) yang makmur penghuni di atasnya dengan ridho Allah. Karena menjaga lingkungan, pada akhirnya, adalah menjaga titah langit di bumi.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button