Abū Ḥāmid al-Ghazālī: Jembatan antara Filsafat, Kalām, dan Tasawuf
Oleh : Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil

Abū Ḥāmid al-Ghazālī: Jembatan antara Filsafat, Kalām, dan Tasawuf
Pendahuluan
Nama Abū Ḥāmid al-Ghazālī (1056–1111) dikenal sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Ia bukan hanya seorang mutakallim berpengaruh dari mazhab Asy‘ariyyah, tetapi juga seorang faqīh, filsuf, dan sufi yang berhasil menyatukan berbagai aliran pemikiran dalam Islam ke dalam satu sintesis yang kuat. Keberaniannya menantang filsafat rasional Yunani, ketegasannya dalam membela teologi Sunni, serta ketulusannya dalam meniti jalan spiritual menjadikannya figur transformatif yang tak lekang oleh zaman. Esai ini akan mengupas warisan pemikiran al-Ghazālī berdasarkan karya-karyanya juga ulasan akademik tentangnya dalam lintasan sejarah pemikiran Islam dan dunia.
Filsuf yang ‘Menyusup’ ke Dunia Tasawuf
Al-Ghazālī lahir di Tūs, Iran, pada pertengahan abad ke-11, dan belajar dari para ulama besar, termasuk Imām al-Juwainī. Ia mengenyam pendidikan klasik dalam teologi (kalām), hukum Islam (fiqh), dan filsafat. Karier akademiknya menanjak cepat hingga ia diangkat menjadi guru besar dan rektor di Madrasah Niẓāmiyyah Baghdad, jabatan paling prestisius pada masa itu. Namun, pada puncak ketenarannya, al-Ghazālī melakukan sesuatu yang mengejutkan: ia meninggalkan semuanya! Ia tinggalkan panggung akademik dan kekuasaan, memilih hidup dalam pengasingan demi mencari kejujuran spiritual.(Vasalou, 2025)
Penyebab langkah radikal ini tidak bisa dipisahkan dari krisis eksistensial yang ia alami. Ia meragukan nilai dari semua ilmu yang tidak membawa seseorang kepada keselamatan akhirat. Dan di situlah titik baliknya; Ia menemukan ketenangan dalam jalan tasawuf. Bagi al-Ghazālī, ilmu bukan sekadar logika dan argumentasi, tetapi jalan menuju Tuhan.
Melawan Filsafat hingga Rekonsiliasi Akal dan Wahyu
Salah satu karya terpenting al-Ghazālī adalah Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf), di mana ia mengkritik keras ajaran-ajaran para filsuf Muslim yang mengadopsi filsafat Yunani, khususnya al-Fārābī dan Ibn Sīnā. Ia mengidentifikasi 20 doktrin yang menurutnya bermasalah, dan dari semua itu, tiga ia anggap sebagai bentuk kekufuran; Keyakinan bahwa dunia tidak diciptakan dalam waktu (pra-kekekalan dunia); Tuhan hanya mengetahui hal-hal universal, bukan partikular; dan Tidak ada kebangkitan jasmani di akhirat.(Al-Ghazālī, 2000)
Melalui karya ini, al-Ghazālī ingin menunjukkan bahwa para filsuf terlalu percaya diri bahwa ajaran mereka dapat dibuktikan melalui logika murni (burhān). Ia mengkritik epistemologi mereka dan menyatakan bahwa banyak argumentasi filosofis sejatinya hanya taqlīd, bukan pengetahuan yang benar-benar terbukti.
Namun menariknya, meskipun al-Ghazālī keras terhadap filsafat, ia tidak sepenuhnya menolak. Ia tetap menerima sebagian ajaran Aristoteles dan Ibn Sīnā, terutama dalam logika dan psikologi. Di sini terlihat betapa kompleks pendekatan al-Ghazālī; ia bukan anti-filsafat, tetapi kritikus tajam yang tahu memilah antara yang bisa diterima dan memilih mana yang harus ditolak.
Ironi terbesar dalam warisan intelektual al-Ghazālī terjadi ketika bukunya Maqāṣid al-Falāsifah (pandangan obyektif tentang ajaran para filsuf)(Al-Ghazālī, 1936) dianggap oleh pembaca (akademisi) Barat sebagai karya filsafat murni al-Ghazālī. Versi Latinnya, Summa theoricae philosophiae, menjadi sumber utama pemahaman filsafat Islam di dunia Barat selama abad pertengahan. Bahkan, nama Algazel (nama latin dari al-Ghazālī) dijadikan simbol pemikir rasional Muslim di Barat.(Griffel, 2005)
Kesalahpahaman ini menjadikan al-Ghazālī dalam tradisi Latin dan Ibrani terlihat seolah-olah sebagai pengikut Ibn Sīnā. Para pembaca Latin tidak menyadari bahwa karya itu bukan ekspresi pandangan pribadi, melainkan penyajian netral terhadap doktrin-doktrin yang kemudian dikritiknya dalam Tahāfut.(Griffel, 2005)
Al-Ghazālī juga menghadapi tantangan besar dari Syī‘ah Ismā‘īliyyah. Dalam Faḍā’iḥ al-Bāṭiniyyah,(Al-Ghazālī, 1964) ia menggambarkan ajaran esoterik kelompok ini sebagai sesat, bahkan menuduh mereka sebagai kaum dualis yang meyakini adanya dua Tuhan. Karya ini adalah respons politis dan teologis terhadap propaganda Ismā‘īlī yang menurutnya mengabaikan syariah dan menyesatkan umat. Ia berusaha menetapkan batas antara toleransi ajaran dalam Islam dan ajaran yang membahayakan keselamatan akidah.
Salah satu warisan penting dari al-Ghazālī adalah kerangka metodologisnya dalam merekonsiliasi akal dan wahyu. Baginya, tidak mungkin ada pertentangan antara wahyu yang ṣarīḥ dan akal yang ṣaḥīḥ. Jika tampak bertentangan, maka teks harus ditakwil secara simbolik. Namun, hanya argumentasi demonstratif yang valid (burhān) yang boleh menjustifikasi takwil. Dengan kata lain, teks wahyu tidak boleh dibaca secara alegoris jika tidak ada bukti rasional yang kuat untuk melakukannya.(Griffel, 2020)
Pendekatan ini memberi pengaruh luar biasa terhadap para mutakallim selanjutnya, termasuk para rasionalis dan bahkan Ibn Rusyd. Ibn Taimiyyah, di sisi lain, menolak pendekatan ini karena menganggapnya menundukkan wahyu di bawah akal manusia.(Maghribi, 2024)
Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn: Membangkitkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama
Setelah meninggalkan jabatan resminya, al-Ghazālī mulai menulis magnum opus-nya, Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, sebuah karya empat jilid yang membahas seluruh aspek hidup Muslim: ‘ibādah, mu‘āmalah, akhlāq, dan spiritualitas. Kitab ini bukan hanya ensiklopedia Islam, tetapi juga manifesto moral dan panduan keselamatan akhirat.(Al-Ghazālī, 2018)
Di dalamnya, al-Ghazālī menawarkan kritik tajam terhadap para ulama yang hanya mengejar dunia dan tidak peduli terhadap kebahagiaan abadi. Ia memperkenalkan konsep riyāḍah al-nafs (latihan jiwa) yang terinspirasi oleh Sufi dan juga etika Aristotelian. Jiwa manusia menurutnya seperti kuda liar yang harus dijinakkan agar sampai kepada kebajikan sejati.
Etika dalam Iḥyā’ bukan semata hukum normatif, melainkan formasi karakter (akhlāq). Al-Ghazālī tidak setuju dengan pandangan bahwa etika cukup didasarkan pada hukum syariah semata. Menurutnya, banyak hal dalam hidup membutuhkan pemurnian hati, latihan batin, dan kedisiplinan spiritual.(Al-Daghistani, 2021)
Ia juga menolak pandangan ekstrem untuk menghilangkan emosi seperti marah atau hasrat. Sebaliknya, ia mengajarkan bahwa sifat-sifat tersebut harus dikendalikan oleh akal. Dalam hal ini, etika al-Ghazālī sangat dekat dengan filsafat moral Yunani, meskipun ia sendiri menyatakan bahwa para filsuf mengambilnya dari para nabi dan sufi terdahulu.(Al-Daghistani, 2021; Kukkonen, 2024; Vasalou, 2022)
Al-Ghazālī mengadopsi psikologi Ibn Sīnā yang menyatakan bahwa kenabian adalah hasil dari tiga fakultas yang luar biasa; daya pengetahuan intuitif, daya representasi simbolik, dan daya mempengaruhi realitas eksternal. Tapi al-Ghazālī memberinya dimensi teologis; para wali (auliyā’) juga memiliki ilham seperti nabi, walaupun tidak pada tingkatan wahyu. Ini menjadi dasar epistemologi sufi dalam Islam.
Dalam ranah hukum (fiqh), al-Ghazālī tetap teguh sebagai seorang Asy‘arī yang menolak bahwa akal dapat menentukan sesuatu itu baik atau buruk secara independen. Baik-buruk, baginya, hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Namun, ia juga memberikan inovasi penting; konsep maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan-tujuan hukum Islam). Hukum Tuhan, katanya, bertujuan melindungi lima kebutuhan pokok manusia: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ini membuka jalan bagi legitimasi maṣlaḥah sebagai sumber hukum dan memperluas cakrawala ijtihād dalam fiqh.(Opwis, 2010)
Dalam karya-karyanya, al-Ghazālī menegaskan pandangan deterministik: Allah adalah satu-satunya agen dalam semesta. Setiap tindakan manusia, bahkan pilihan-pilihan mereka, sebenarnya ditentukan oleh rantai sebab-akibat yang semuanya bermula dari kehendak Tuhan. Namun, pandangan ini tidak menafikan tanggung jawab moral, karena manusia diberi pengetahuan dan kemampuan untuk memilih, meski pilihan itu sendiri pada akhirnya ciptaan Tuhan.
Salah satu gagasan paling terkenal dari al-Ghazālī adalah kritiknya terhadap hubungan kausalitas. Dalam Tahāfut, ia menyatakan bahwa hubungan antara api dan pembakaran, misalnya, tidak bersifat niscaya. Allah bisa saja menciptakan api tanpa membakar, atau pembakaran tanpa api.(Al-Ghazālī, 2000) Gagasan ini dikenal sebagai okasionalisme, yang kemudian sangat mempengaruhi para teolog Muslim, bahkan para filsuf Eropa seperti David Hume.(Griffel, 2009)
Namun, al-Ghazālī tidak sepenuhnya menolak model kausalitas Avicennan. Ia membuka kemungkinan bahwa Allah menciptakan sebab dan akibat secara bersamaan melalui perantara-perantara, atau causa secundaria. Jadi, dalam satu sisi, ia menggabungkan pemikiran okasionalis dan kausalitas sekunder, sekali lagi menunjukkan kompleksitas pemikirannya.(Griffel, 2020)
Penutup
Al-Ghazālī adalah keteladanan. Seorang pemikir Muslim yang tidak takut menyelami ragam arus pemikiran; filsafat Yunani, kalām (teologi Sunni), fiqh (hukum Islam), hingga tasawuf. Ia tidak berhenti pada penolakan atau pembelaan, tetapi terus berusaha mencari jalan tengah (wasaṭ) yang membawa umat Islam kepada kebenaran, kebahagiaan, dan keselamatan.
Warisan al-Ghazālī tetap hidup hingga kini. Ia menjadi referensi bagi kaum tradisionalis, rasionalis, sufi, faqīh, mutakallim, bahkan filsuf. Ia mengajarkan kepada kita bahwa ilmu bukanlah tujuan akhir, tetapi sarana menuju Tuhan. Dengan itu, al-Ghazālī tetap menjadi jembatan kokoh antara akal dan iman, filsafat dan wahyu, serta dunia dan akhirat.
Bahan Bacaan
Al-Daghistani, S. (2021). Ethical Teachings of Abū Ḥāmid al-Ghazālī. Anthem Press.
Al-Ghazālī, A. H. (1936). Maqāṣid al-Falāsifah (M. S. Al-Kurdī (ed.)). al-Maṭba‘ah al-Maḥmūdiyyah al-Tijāriyyah.
Al-Ghazālī, A. H. (1964). Faḍāiḥ al-Bāṭiniyyah (‘Abd al-Raḥmān Badawī (ed.)). Dār al-Qaumiyyah.
Al-Ghazālī, A. H. (2000). Tahāfut al-Falāsifah (M. Marmura (ed.)). Brigham Young University Press.
Al-Ghazālī, A. H. (2018). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Ats-Tsuroyya.
Griffel, F. (2005). Taqlīd of the Philosophers: Al-Ghazālī’s Initial Accusation in his Tahāfut. In Ideas, Images, and Methods of Portrayal (pp. 273–296). Brill. https://doi.org/10.1163/9789047407263_016
Griffel, F. (2009). Al-Ghazali’s Philosophical Theology. Oxford University Press.
Griffel, F. (2020). Al-Ghazālī. In The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Standford University.
Kukkonen, T. (2024). Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn by Abū Ḥāmid al-Ghazālī. In Key Classical Works on Islamic Ethics (pp. 206–228). BRILL. https://doi.org/10.1163/9789004459472_010
Maghribi, H. (2024). Tasawuf Salafi: Rekonstruksi Tasawuf Ibn Taimiyyah. Madani.
Opwis, F. (2010). Maṣlaḥa and the Purpose of the Law: Islamic Discourse on Legal Change from the 4th/10th to 8th/14th Century. Brill.
Vasalou, S. (2022). Ethics as Medicine: Moral Therapy, Expertise, and Practical Reasoning in al-Ghazālī’s Ethics. Archiv Für Geschichte Der Philosophie, 104(3), 468–508. https://doi.org/10.1515/agph-2020-5006
Vasalou, S. (2025). Al-Ghazālī and the Ideal of Godlikeness. Oxford University PressOxford. https://doi.org/10.1093/9780198912477.001.0001