Madārij al-Sālikīn: Jejak Spiritual Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim
Oleh: Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil.

Madārij al-Sālikīn: Jejak Spiritual Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim
Pendahuluan
Dalam sejarah Islam, tasawuf hadir sebagai jalan spiritual yang membentuk pengalaman keagamaan umat Islam. Namun, tidak sedikit pula kritik tajam ditujukan kepada tasawuf dan para sufi, baik dari kalangan rasionalis maupun tradisionalis. Di tengah tarik menarik ini, muncul sosok yang secara unik menjembatani dunia tasawuf dengan semangat tajdīd (pembaharuan) Islam: Ibn Qayyim al-Jauziyyah(Al-Jauziyyah 2020a). Karyanya yang monumental, Madārij al-Sālikīn(Ibn Qayyim al-Jauzīyyah 2019), menjadi saksi atas upaya besar ini.
Disusun sebagai syarḥ (komentar/penjelasan) atas teks sufi klasik Manāzil al-Sā’irīn karya Abū Ismā‘īl al-Harawī al-Anṣārī(Al-Harawī 1988), Madārij bukan sekadar syarḥ, melainkan sebuah upaya interpretatif dan konstruktif terhadap pengalaman spiritual Islam. Lebih dari itu, ia adalah kelanjutan dari proyek intelektual dan reformasi gurunya, Ibn Taimiyyah. Esai sederhana ini mengajak untuk memahami bagaimana Ibn al-Qayyim -dengan pengaruh besar dari Ibn Taimiyyah- menawarkan jalan spiritual yang mengakar dalam Al-Qur’an dan Sunnah, namun tetap terbuka pada eksplorasi batiniah manusia.
Ibn al-Qayyim dan Ibn Taimiyyah: Dua Jiwa Satu Jalan
Ibn Qayyim al-Jauziyyah (1292–1350 M), seorang ulama besar mazhab Hanbali, adalah murid kesayangan dari Ibn Taimiyyah (1263–1328 M), sang reformis yang kontroversial.(Bori and Holtzman 2010) Meski lahir dari latar belakang sederhana dan menghadapi tekanan dari otoritas keagamaan resmi, Ibn al-Qayyim tumbuh menjadi figur penting dalam dunia keilmuan Damaskus. Hubungannya dengan Ibn Taimiyyah tidak hanya intelektual, melainkan juga spiritual dan personal(Holtzman, n.d.).
Sebagaimana dicatat oleh Ibn Hajar al-Asqalānī, Ibn al-Qayyim tidak hanya menulis, mengajar, dan mendakwahkan ajaran gurunya, tetapi juga setia mendampingi sang guru hingga ke dalam penjara(Al-‘Asqalānī 1998). Pengaruh Ibn Taimiyyah begitu kuat, hingga Ibn al-Qayyim hampir tidak pernah menolak pandangan gurunya. Namun, relasi ini tidak bersifat taklid buta. Ibn al-Qayyim tetap memiliki otonomi dalam beberapa isu, seperti mengenai ritual haji Nabi atau interaksi antara ruh orang hidup dan yang mati(Krawietz and Tamer 2013).
Yang menarik, dalam konteks Madārij, kesetiaan Ibn al-Qayyim kepada gurunya tidak mengebiri kreativitasnya. Sebaliknya, ia menyuguhkan interpretasi baru, mendalam, dan penuh empati terhadap teks sufi klasik. Dengan gaya sastra yang elegan, ia merangkai perenungan psikologis-spiritual ke dalam kerangka epistemologis yang kokoh berbasis Al-Qur’an dan Sunnah(Al-Jauziyyah 2020b).
Madārij al-Sālikīn: Antara Tradisi Sufi dan Reformasi Salafi
Sebagai komentar terhadap Manāzil al-Sā’irīn, Madārij tidak sekadar memperluas makna maqāmāt (stasiun spiritual), tetapi juga merevisi dan mengarahkan kembali makna-makna tersebut ke dalam bingkai yang lebih “islami”. Jika Manāzil kerap menyuguhkan ungkapan simbolik yang kabur dan sukar dijangkau, maka Madārij menyederhanakan dan memperjelasnya, dengan merujuk langsung pada teks-teks wahyu.
Salah satu hal menarik dalam Madārij adalah keberanian Ibn al-Qayyim untuk memisahkan antara “Sufi sejati” dan “Sufi palsu”. Ia tidak menolak tasawuf sebagai sebuah disiplin spiritual, melainkan mengkritisi elemen-elemen bid‘ah yang menyusup ke dalam praktik tasawuf, khususnya mistisisme Neoplatonis, panteisme Ibn ‘Arabī, dan ekstatisme berlebihan yang terlepas dari kontrol syariah(Anjum 2010).
Dalam pandangannya, jalan spiritual harus selaras dengan ilmu dan amal. Ma‘rifah tidak boleh mengesampingkan ʿilm, dan pengalaman batin harus diikat oleh teks wahyu. Inilah yang membedakan Ibn al-Qayyim dari para sufi esoteris. Ia mendekati tasawuf bukan sebagai doktrin metafisika abstrak, tapi sebagai laku etika dan spiritual yang konkret.
Ibn Taimiyyah dan Tasawuf Salafī
Penting untuk digarisbawahi bahwa Ibn Taimiyyah sendiri bukanlah anti-tasawuf dan sufi. Konon, ia adalah pengikut (setidaknya simpatisan) tarekat Qādiriyyah, dan kerap memuji tokoh-tokoh sufi sunni seperti al-Junaid, ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, dan al-Harawī. Ia melihat tasawuf sebagai bagian dari khazanah Islam yang harus dijaga, selama tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah(Maghribi 2024).
Menurut Ibn Taimiyyah, inti tasawuf adalah ‘ubūdiyyah (penghambaan total kepada Allah) yang ditunjukkan melalui amal saleh, zikir, dan akhlak mulia. Ia menolak tasawuf sebagai sistem metafisik yang menolak akal sehat, tetapi menerima tasawuf sebagai tazkiyah al-nafs (jalan penyucian diri) yang sesuai dengan syariat. Dalam visi ini, spiritualitas menjadi perpanjangan dari ibadah, bukan pengganti(Ibn Taimiyyah 2011).
Ibn Taimiyyah bahkan bersedia menoleransi syaṭaḥāt (ucapan ekstase) dari para sufi, selama konteksnya dapat dipahami sebagai hasil dari ketidaksadaran, bukan kesengajaan. Ia juga menolak teologi negasionis yang menghilangkan sifat-sifat Tuhan, seperti dalam ajaran Jahmiyyah dan sebagian mutakallim Asy’ariyyah zamannya. Di sinilah Ibn Taimiyyah memberikan fondasi spiritual dan teologis yang kelak dikembangkan lebih sistematis muridnya, Ibn al-Qayyim(Al-Jauziyyah 2020b).
Tasawuf dan Reformasi: Kritik, Klarifikasi, dan Kontinuitas
Melalui Madārij, Ibn al-Qayyim tidak sekadar mengomentari Manāzil, tetapi juga membuka percakapan mendalam tentang tasawuf itu sendiri. Ia mempertanyakan apakah konsep-konsep seperti fanā’, baqā’, ma‘rifah, dan wajd benar-benar berasal dari Islam, ataukah hasil serapan dari tradisi luar(Ibn Qayyim al-Jauzīyyah 2019).
Sebagai contoh, Ibn al-Qayyim mengkritik keras penolakan al-Harawī terhadap kausalitas. Menurutnya, tindakan manusia tetap memiliki konsekuensi moral dan spiritual. Ia juga menolak kecenderungan anti-nomian (menolak hukum) dalam beberapa pemikiran sufi. Namun, ia tidak menolak sepenuhnya narasi pengalaman spiritual. Ia hanya ingin memastikan bahwa semua pengalaman itu ditimbang dengan mīzān (timbangan) Al-Qur’an dan Sunnah(Ibn Qayyim al-Jauzīyyah 2019).
Kritik Ibn al-Qayyim bukan untuk menghancurkan tradisi tasawuf, tetapi untuk menyaring dan meluruskan. Dalam upaya ini, Ibn al-Qayyim menghidupkan kembali warisan tasawuf awal seperti yang diwariskan oleh Ḥasan al-Baṣrī, al-Fuḍail bin Iyāḍ, dan al-Junaid; tokoh-tokoh yang menggabungkan zuhud, ilmu, dan amal tanpa mencampur aduk antara simbolisme mistik dan wahyu.
Tasawuf Qur‘ānī dan Jalan Tengah Ibn al-Qayyim
Salah satu warisan terbesar Ibn al-Qayyim adalah keberhasilannya membumikan tasawuf ke dalam dekapan al-Qur’an dan pesan-pesan kenabian. Ia menghindari ekstremitas spiritual yang melupakan realitas, tetapi juga menolak rasionalisme tandus yang membunuh rasa. Dalam hal ini, ia menyajikan jalan tengah: tasawuf yang bertumpu pada ʿilm, tetapi tidak kehilangan żauq (rasa batin)(Ibn Qayyim al-Jauzīyyah 2019).
Dalam bagian awal Madārij, Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa hakikat ibadah adalah mencintai Allah dan tunduk kepada-Nya. Namun cinta di sini bukanlah sentimentalitas emosional, tetapi tindakan aktif yang lahir dari pengenalan yang mendalam terhadap Tuhan melalui Al-Qur’an. Ia menolak pemisahan antara syariat dan hakikat; dua jalan yang menurutnya tidak dapat dipisahkan(Ibn Qayyim al-Jauzīyyah 2019).
Kebersihan hati, keikhlasan niat, dan pengabdian total kepada Allah menjadi landasan spiritualitas dalam Madārij. Bahkan pengalaman spiritual yang dalam sekalipun, tidak boleh membebaskan seseorang dari tanggung jawab terhadap hukum syariat. Di sinilah Ibn al-Qayyim menghadirkan sebuah sintesis antara spiritualitas batiniah dan etika sosial.
Madārij dan Tasawuf Modern
Apa yang dilakukan Ibn al-Qayyim dalam Madārij sejatinya adalah sebuah rekonstruksi terhadap tasawuf. Ia tidak menjadikan tasawuf sebagai jalan eksklusif bagi kaum elit spiritual, melainkan sebagai etos universal yang bisa diakses oleh setiap Muslim. Tasawuf bukan lagi semata-mata pengalaman mistik, melainkan jalan hidup yang berakar pada cinta, ilmu, dan ketundukan kepada Allah.
Dalam konteks Indonesia kontemporer yang kaya akan praktik tasawuf, namun juga dilanda oleh polarisasi antara kaum puritan dan sufi, warisan Ibn al-Qayyim menjadi sangat relevan. Ia menawarkan cara pandang bahwa tasawuf tidak harus dicabut dari akarnya atau dibungkus dengan konsep mistik yang asing. Sebaliknya, ia dapat dikembalikan kepada basis Al-Qur’an dan Sunnah, tanpa menghilangkan kedalaman emosional dan spiritualitasnya.
Lebih dari itu, Ibn al-Qayyim menunjukkan bahwa pembaharuan (tajdīd) tidak harus mengorbankan tradisi. Ia justru menyelamatkan tradisi dengan membersihkannya dari distorsi dan menghidupkannya kembali dalam bentuk yang otentik dan aplikatif. Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya dapat memahami tasawuf secara akademik, tetapi juga menghidupkannya dalam aktifitas pribadi dan sosial kita.
Penutup
Madārij al-Sālikīn bukan sekadar kitab tasawuf, tetapi sebuah roadmap spiritual yang menjembatani wahyu dan rasa, akal dan cinta, hukum dan keikhlasan. Melalui Madārij dan Ibn al-Qayyim, kita menyaksikan bagaimana semangat Ibn Taimiyyah menemukan perpanjangan hidup yang damai dan mendalam dalam dunia spiritual. Madārij juga mengajak kita menyelami samudera tasawuf bukan sebagai romantisme mistik, tetapi sebagai penghambaan penuh, dan ketaatan utuh, yang berpijak di bumi, tapi menatap langit.
Bahan Bacaan
Al-‘Asqalānī, Aḥmad ibn al-Ḥajar. 1998. Aḥmad Ibn Al-Ḥajar Al-‘Asqalānī Tarjamah Syaikh Al-Islām Ibn Taymiyyah. Edited by Abū ‘Abd al-Raḥmān Sa‘īd Ma‘syāsyah. Beirut: Dār Ibn Ḥazm.
Al-Harawī, ‘Abd Allāh al-Anṣārī. 1988. Manāzil Al-Sāirīn. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. 2020a. Ranks of the Divine Seekers: A Parallel English-Arabic Text. Translated by Ovamir Anjum. Leiden: Brill.
———. 2020b. Ranks of the Divine Seekers: A Parallel English-Arabic Text. Translated by Ovamir Anjum. Leiden: BRILL.
Anjum, Ovamir. 2010. “Sufism without Mysticism? Ibn Qayyim Al-Jawziyyah’s Objectives in Madārij Al-Sālikīn.” A Scholar in the Shadow: Essays in the Legal and Theological Thought of Ibn Qayyim Al-Jawziyyah.
Bori, Caterina, and Livnat Holtzman. 2010. “A Scholar in the Shadow: Essays in the Legal and Theological Thought of Ibn Qayyim Al-Gawziyyah.” Edited by Caterina Bori and Livnat Holtzman. Oriente Moderno Monograph Series 90 (1).
Holtzman, Livnat. n.d. “Ibn Qayyim Al-Jawziyyah.” In Essays in Arabic Literary Biography, edited by Joseph E Lowry and Devin J Stewart, 202–23. Wiesbaden: Harrassowitz.
Ibn Qayyim al-Jauzīyyah, Muḥammad ibn Abī Bakr. 2019. Madārij Al-Sālikīn Fī Manāzil Al-Sā’irīn. Edited by Muḥammad Ajmal Al-Iṣlāḥī. Mekkah: Dār ‘Ālam al-Fawā’id.
Ibn Taimiyyah, Aḥmad ibn ’Abd al Ḥalīm. 2011. Risālah Fī Al-‘Ubūdiyyah. Edited by Fawwāz Aḥmad Zamralī and Fārūq Ḥasan Al-Turk. Riyāḍ: Dār Ibn Ḥazm.
Krawietz, Birgit, and Georges Tamer, eds. 2013. Islamic Theology, Philosophy and Law: Debating Ibn Taymiyya and Ibn Qayyim Al-Jawziyya. Berlin: De Gruyter.
Maghribi, Hamdan. 2024. Tasawuf Salafi: Rekonstruksi Tasawuf Ibn Taimiyyah. Malang: Madani.