
Satu Kambing dimangsa Serigala, yang lain Hanya Mengutuk
Oleh : Didi Eko Ristanto
Di sebuah kandang, ada sekitar tiga puluh lima ekor kambing hidup bersama. Mereka mungkin berbeda warna, mungkin berbeda suara, tapi satu kandang telah menyatukan mereka. Mereka makan di tempat yang sama, tidur di ruang yang sama, dan merasakan panas dan dingin dari langit yang sama.
Suatu hari, dua ekor serigala masuk ke dalam kandang.
Mereka tak mengetuk. Tak memberi salam. Tak membawa pesan damai. Mereka datang dengan taring dan cakar. Dan dalam sekejap, seekor kambing menjadi korban. Dicabik. Diterkam. Darahnya mengalir di tanah kandang yang dulu damai. Dia berteriak minta tolong pada teman-temannya. “Tolong Aku, tolong…”
Apa yang dilakukan kambing-kambing yang lain?
Mereka bersuara lantang. Mengembik keras. Mereka mengecam, mengutuk, mencaci maki. Mereka menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata, “Betapa kejam serigala itu!”
Sebagian bahkan membuat poster dari rumput, menuliskan kata-kata marah.
Sebagian lagi berdoa bersama, berharap Tuhan akan menjatuhkan batu dari langit pada para serigala.
Tapi tidak satu pun dari mereka yang bergerak maju. Tidak satu pun yang menggunakan tanduknya untuk menyeruduk. Padahal mereka punya tanduk dan jumlah mereka tiga puluh lima. Apa susahnya melawan dua.
Harusnya mereka tahu, hari ini satu dari mereka yang diterkam. Tapi esok? Esok, bisa jadi giliran mereka.
Begitulah dunia hari ini. Banyak dari kita adalah kambing-kambing yang menonton, mengecam, mengutuk, dan mendoakan dari kejauhan. Ketika satu saudara kita dicabik oleh penjajah, kita bersedih. Kita merasa ikut terluka. Tapi kita diam. Kita tak bergerak. Kita punya kekuatan, tapi tak pernah benar-benar menggunakannya.
Kita punya tanduk: doa, sedekah, pengaruh, suara, keberanian bahkan senjata. Tapi kita lebih memilih menunduk, berharap serigala kenyang dan tak kembali.
Padahal serigala tak pernah kenyang. Serigala akan terus mencabik satu per satu, sementara kita sibuk mengutuk dari kejauhan. Dan yakinlah, kambing mana pun yang hanya bisa mengecam dan mengutuk, tanpa berbuat apa-apa, akan menjadi santapan serigala berikutnya.
Dunia sedang terbakar. Darah mengalir. Anak-anak menangis. Lapar melilit. Rumah hancur. Tapi pertanyaannya bukan lagi: “Mengapa serigala menyerang?” — karena memang itu sifatnya.
Pertanyaannya: “Mengapa kita tidak melawan bersama?”
Jika kita bersatu, jika kita bergerak, jika kita tidak hanya mengutuk tetapi membantu, membela, menyuarakan, menguatkan, bahkan melawan dengan kekuatan, maka serigala akan gentar.
Tapi jika kita hanya diam, hanya menonton, maka tunggulah giliran kita. Karena setelah satu kambing hancur, serigala akan kembali untuk memangsa kambing lain.
Dan saat itu tiba, tidak akan ada lagi yang tersisa untuk membela kita. Karena yang lain, sudah lebih dulu habis… satu per satu.
Apakah kita akan terus menjadi kambing yang hanya bisa mengutuk dan nengecam atau akan menjadi kambing yang melawan?
Cilacap, 25 Juli 2025




