Artikel

Saat Cemburu Menjadi Ujian

Oleh: Ernawati (Peserta Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah)

Saat Cemburu Menjadi Ujian

Oleh: Ernawati (Peserta Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah)

 Di tengah kota suci yang dibangun atas keikhlasan dan air mata — Madinah al-Munawwarah — berdirilah rumah-rumah para Ummahatul Mukminin, tempat istirahat sang Kekasih Allah, Muhammad ﷺ.

Pada suatu siang yang sunyi, cahaya matahari jatuh lembut ke dinding rumah Hafshah binti Umar radhiyallāhu ‘anhā. Angin semilir membawa harum dedaunan dan debu lembut gurun, namun di dalam rumah itu, hati yang hangat tengah menggeliat oleh rasa yang lebih kuat dari badai.

Hafshah baru saja keluar dari rumahnya untuk suatu urusan. Saat ia kembali, langkahnya terhenti di depan pintu. Dalam keheningan itu, ia mendengar bisikan suara dan aroma yang tidak asing. Maria. Maria al-Qibthiyyah — wanita lembut dari Mesir yang telah menyerahkan hatinya kepada Islam dan tubuhnya kepada Rasulullah ﷺ — berada di dalam rumahnya, bersama suaminya tercinta, Muhammad ﷺ.

Hati Hafshah seperti dicengkeram. Dadanya naik-turun, matanya membara. Ia mengetuk pintu, dan ketika Rasulullah ﷺ membukanya, senyum beliau yang biasanya meneduhkan, kini tak cukup memadamkan api yang menyala dalam batinnya.

“Ya Rasulullah,” katanya, nadanya gemetar namun tetap tajam, “di rumahku sendiri Engkau bersama Maria?”

Nabi ﷺ terdiam sejenak, pandangannya lembut, sabar, dan penuh rahasia yang tidak bisa segera diucapkan. Beliau memahami, ini bukan sekadar kemarahan seorang istri. Ini adalah jeritan cinta yang merasa tersisih.

Untuk menenangkan Hafshah, Rasulullah ﷺ bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan mendekatinya lagi. Ini rahasia antara kita.”

Hafshah terdiam, hatinya sedikit luluh oleh kelembutan itu. Namun saat malam turun dan rasa cemburu itu belum padam, ia pergi menemui Aisyah radhiyallāhu ‘anhā dan menceritakan segalanya. Rahasia itu pun tersebar, tidak dengan niat buruk, tapi oleh kelemahan hati yang tak mampu menahan beban perasaan.

Langit Menjawab

Maka langit pun bergemuruh. Tak lama, wahyu turun dari Rabb semesta alam, menyapa hati Rasulullah ﷺ dengan kalimat yang penuh teguran namun juga kasih:

Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu, demi mencari keridhaan istri-istrimu?”
(QS. At-Tahrim: 1)

Langit menegur kekasih-Nya — bukan karena dosa, tetapi karena kelembutan beliau yang kadang membuatnya menanggung lebih dari yang diwajibkan oleh Allah, demi menjaga hati para istri.

Kemudian, kepada Hafshah dan Aisyah, turun pula peringatan lembut namun tegas:

Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh hati kamu telah condong kepada kebenaran…”
(QS. At-Tahrim: 4)

Perpisahan yang Tak Jadi

Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir al-Qurthubi, bahwa karena peristiwa ini, Rasulullah ﷺ sempat menceraikan Hafshah. Umar bin Khattab pun sangat sedih mendengar kabar itu. . Ia datang kepada Nabi ﷺ dengan duka yang berat, berharap masih ada cahaya yang tersisa bagi putrinya.

Lalu  Allah ﷻ memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk merujuk Hafshah kembali, karena ia adalah wanita yang shalihah dan akan menjadi istri beliau di surga. Jibril ‘alaihis salām turun kepada Nabi ﷺ membawa pesan:

“Wahai Muhammad, rujuklah Hafshah. Dia wanita yang banyak berpuasa dan salat malam. Dan dia akan menjadi istrimu di surga.”

Dengan kelembutan yang hanya dimiliki oleh Rasul terakhir, beliau ﷺ merujuk Hafshah kembali. Hafshah menangis — bukan karena luka, tapi karena rahmat yang lebih besar dari rasa cemburunya sendiri. Cintanya diuji, tapi dimaafkan. Ridhanya digugat, tapi dikembalikan dalam bentuk yang lebih luhur.

Akhirnya, Cinta Menemukan Jalannya

Maria tetap dihormati oleh Rasulullah ﷺ hingga akhir hayat beliau. Dari rahimnya lahir Ibrahim, putra Nabi ﷺ yang hanya hidup sebentar, namun mengukir tempat dalam sejarah kenabian. Sementara Hafshah, dengan segala kekuatannya, tetap menjadi penjaga mushaf Al-Qur’an, dan meriwayatkan hadits-hadits Nabi dengan kejujuran.

Mereka — Hafshah dan Maria — adalah bagian dari kisah rumah tangga manusia paling mulia. Dan Nabi ﷺ, seperti biasa, adalah pelita dalam gelapnya gejolak hati manusia. Beliau tak hanya membimbing umatnya dengan firman, tapi juga dengan keteladanan dalam cinta, kesabaran dalam luka, dan kelembutan dalam amarah.

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button