Artikel

Setara di Hadapan Tuhan: Ibn Taimiyyah, Gender, dan Agensi Perempuan dalam Islam

Oleh : Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil

Setara di Hadapan Tuhan: Ibn Taimiyyah, Gender, dan Agensi Perempuan dalam Islam

Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil
– Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah
– Dosen Pascasarjana UIN Surakata

 Pendahuluan

Dalam lanskap pemikiran Islam klasik, nama Ibn Taimiyyah (w. 728/1328) kerap diasosiasikan dengan konservatisme teologis dan rigorisme (ketegasan) hukum. Ia adalah simbol Salafisme tekstual yang dikenal keras terhadap inovasi (bid‘ah) dan kompromi terhadap ajaran murni Islam(Abd al-‘Aẓīm, 2004; Al-Ṣāliḥ, 1995; Zarabozo, 2021). Namun siapa sangka bahwa dari balik citra maskulin dan ortodoksi ketat ini, Ibn Taymiyyah justru tampil sebagai salah satu pembela paling progresif di zamannya terhadap hak-hak perempuan dalam konteks hukum keluarga Islam?

Esai sederhana ini ingin menampilkan sisi lain Ibn Taimiyyah yang jarang diangkat; seorang reformis hukum yang dengan berani menentang konsensus ulama demi membela keadilan bagi perempuan. Ia menolak dominasi patriarkal dalam hukum perwalian nikah, menegaskan hak perempuan untuk cerai dari hubungan pernikahan yang toxic (sakit dan menyakitkan), dan menyuarakan kemandirian spiritual perempuan di hadapan Tuhan. Dalam esai ini, kita akan membaca kembali gagasan-gagasan tersebut, menganalisis logika dan sumber rujukannya, serta menimbang relevansinya dengan konteks gender hari ini.

Jodoh dan Pernikahan

Salah satu isu paling krusial dalam diskursus fikih gender adalah soal perwalian nikah (wilāyat al-nikāḥ). Menurut mayoritas mazhab fikih, khususnya Ḥanafī dan Mālikī, perempuan tidak bisa menikah sendiri tanpa persetujuan wali laki-laki. Ibn Taimiyyah secara terang-terangan menolak ini. Ia menegaskan bahwa perempuan balīgh (cukup umur) dan ‘āqil (berakal) berhak memilih pasangan tanpa harus tunduk pada keputusan wali, selama syarat-syarat Islam terpenuhi.(Ibn Taimiyyah, 2003)

Mengapa ia mengambil posisi berseberangan dengan mayoritas ulama? Ibn Taimiyyah berpijak pada dua hal; pertama, hadis Nabi yang memberi validitas pada akad yang dilakukan oleh perempuan sendiri; dan kedua, prinsip maṣlaḥaḥ dan keadilan. Menurutnya, menundukkan perempuan kepada kuasa mutlak wali hanya akan membuka ruang bagi kezaliman dan penyalahgunaan kekuasaan.(Ibn Taimiyyah, 2003)

Ibn Taymiyyah menolak argumen bahwa perempuan mudah tertipu dan tidak rasional. Sebaliknya, ia melihat perempuan sebagai manusia dewasa yang memiliki ‘aql dan kapasitas pengambilan keputusan. Dalam hal ini, ia mendobrak asumsi klasik tentang perempuan sebagai makhluk lemah yang selalu butuh proteksi laki-laki.(Baugh, 2013; Ibn Taimiyyah, 2003)

Perempuan Berhak Keluar dari Kekerasan

Salah satu pembaruan radikal Ibn Taimiyyah dalam hukum keluarga adalah dukungannya terhadap hak perempuan untuk keluar dari pernikahan yang merugikan, meskipun tanpa bukti fisik kekerasan. Ia menolak keharusan menunggu izin suami atau pengadilan dalam kasus semacam itu.(Ibn Taimiyyah, 2003)

Dalam fatwa-fatwanya, Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa jika perempuan tidak tahan terhadap kehidupan pernikahan, mengalami penderitaan psikologis, atau bahkan kehilangan cinta, maka ia berhak meminta fasakh (pembatalan nikah). Ia menyitir ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang menekankan bahwa tujuan pernikahan adalah sakīnah (kenyamanan) dan mawaddah (kasih sayang). Bila dua hal ini tak terwujud, maka pernikahan kehilangan maknanya.(Ibn Taimiyyah, 2003, 2004)

Berbeda dengan kebanyakan mazhab yang mewajibkan pembuktian ḍarar (bahaya) secara konkret, Ibn Taimiyyah mengakui penderitaan emosional sebagai alasan sah. Ia secara eksplisit menolak pandangan yang menganggap perempuan harus bertahan hanya karena takut stigma sosial atau tidak ada kekerasan fisik. Pendekatan ini menandakan bahwa Ibn Taimiyyah lebih menekankan nilai-nilai moral Islam daripada formalisme hukum (fiqh).(Baugh, 2013)

Menggugat Patriarki

Dalam banyak sistem hukum Islam klasik, hak asuh anak secara otomatis jatuh kepada ayah setelah usia tertentu. Ibn Taimiyyah mengkritik keras aturan ini. Ia menegaskan bahwa hak asuh bukanlah hak prerogatif ayah, melainkan hak anak untuk diasuh oleh pihak yang paling maṣlaḥaḥ bagi kehidupannya, dan tentu ini bisa saja ibunya.(Rapoport, 2003)

Dalam beberapa fatwa, Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa jika seorang ibu lebih baik dalam mendidik, mencintai, dan melindungi anak, maka hak asuh harus jatuh padanya, tanpa mempertimbangkan jenis kelamin. Ia menjadikan kesejahteraan anak sebagai tolok ukur utama, bukan struktur patriarkal keluarga.(Baugh, 2013)

Pandangan ini sangat revolusioner untuk konteks abad ke-14. Ia menggantikan logika “kepemilikan” anak oleh ayah dengan logika “kepentingan terbaik anak”. Di sinilah terlihat bahwa Ibn Taimiyyah menerapkan prinsip keadilan dan kasih sayang dalam hukum keluarga dengan cara yang sangat progresif.

Setara di Hadapan Tuhan

Salah satu aspek yang paling penting dalam ‘pemikiran gender’ Ibn Taimiyyah adalah pengakuannya atas agensi spiritual perempuan. Ia menolak keras pandangan bahwa perempuan tidak memiliki kapasitas moral dan intelektual yang setara dengan laki-laki dalam meraih kesalehan dan ketaqwaan.(Ibn Taimiyyah, 2003)

Dalam tafsir dan karya-karya akidahnya, Ibn Taimiyyah secara konsisten menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki setara di hadapan Allah dalam amal saleh, pahala, dan derajat surga. Ia menolak tafsir misoginis terhadap ayat-ayat seperti Q.S. al-Nisā’:34 yang menyebut laki-laki sebagai qawwāmūn atas perempuan. Baginya, itu adalah soal tanggung jawab sosial dan ekonomi, bukan otoritas moral mutlak.(Baugh, 2013; Ibn Taimiyyah, 2003; Rapoport, 2004)

Ibn Taimiyyah bahkan mencela tradisi keagamaan yang melecehkan perempuan sufi, perawi hadis perempuan, atau istri-istri ulama yang aktif dalam diskusi ilmiah. Ia menyebut bahwa banyak perempuan memiliki kedudukan spiritual lebih tinggi daripada laki-laki, sebagaimana para ṣaḥābiyyah di zaman Nabi.(Mohammad Akram Nadwi, 2007)

Metodologi dan Hermeneutika: Ijtihād atas Nuṣūṣ

Apa yang membuat posisi Ibn Taimiyyah bisa muncul? Jawabannya terletak pada metodologi hukum dan tafsirnya yang sangat dinamis. Ia bukan seorang qāḍī yang taqlīd pada mazhab. Ia adalah seorang mujtahid yang berani keluar dari konsensus mazhab Ḥanbalī sekalipun jika naṣṣ dan maṣlaḥah menuntutnya.(Laoust et al., 2025; Opwis, 2010)

Ibn Taimiyyah selalu menempatkan maqāṣid al-syarī‘ah; yakni keadilan, kemaslahatan, dan rahmat, di atas formalisme hukum. Ia membaca naṣṣ tidak secara sempit, tetapi dalam kerangka moral-teologis yang lebih luas. Ia menghindari pembacaan tekstual kaku dan menggabungkannya dengan konteks sosial dan prinsip moral al-Qur’an.(Hoover, 2020; Opwis, 2010)

Sikapnya yang menolak jumhūr (mayoritas) bukan semata karena arogansi intelektual, tetapi karena keyakinannya bahwa kebenaran tidak selalu terletak pada suara terbanyak. Baginya, yang utama adalah kembali pada dalil ṣaḥīḥ, akal sehat, dan nilai-nilai Qur’ānī yang universal.

Feminisme atau Reformisme Islam?

Menyebut Ibn Taimiyyah sebagai “feminis” tentu problematis secara istilah. Ia bukan pejuang kesetaraan gender dalam pengertian modern, dan tentu tidak mempersoalkan struktur patriarki secara sistemik. Namun, ia tetap penting untuk dibaca dalam konteks wacana gender dalam Islam.

Apa yang diuraikan sebelumnya menjelaskan bahwa Ibn Taimiyyah menyediakan fondasi normatif untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dalam hukum Islam tanpa harus keluar dari kerangka naṣṣ. Ia bukan pejuang hak perempuan yang meniru Barat, tetapi seorang reformis internal yang menggunakan instrumen Islam sendiri untuk membela martabat perempuan.

Dalam dunia Muslim kontemporer, di mana hukum keluarga Islam sering menjadi medan ketimpangan gender, pendekatan Ibn Taimiyyah bisa menjadi inspirasi. Ia membuktikan bahwa pembelaan terhadap keadilan gender tidak harus bersumber dari feminisme liberal, tetapi bisa berangkat dari pembacaan radikal terhadap warisan klasik Islam sendiri.

Ibn Taimiyyah mungkin tidak pernah berbicara tentang “feminisme”. Tapi sikapnya terhadap perempuan, pernikahan, hak asuh anak, dan spiritualitas menunjukkan satu hal; ia menolak subordinasi perempuan dalam bentuk apapun yang tidak berdasar pada keadilan dan naṣṣ yang ṣaḥīḥ. Ia tidak takut berseberangan dengan mayoritas ulama, dan tidak segan menegur praktik keagamaan yang menurutnya menyimpang dari maqāṣid.

Warisan pemikiran ini layak dibaca ulang, tidak hanya oleh para sarjana fikih, tapi juga oleh aktivis gender Muslim. Ibn Taimiyyah mengajarkan bahwa ijtihād sejati bukan sekadar mengutip kitab, tetapi berani membaca ulang warisan Islam untuk menjawab tantangan dinamika zaman.

Bahan Bacaan

Abd al-‘Aẓīm, S. (2004). Manhaj Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah al-Tajdīdī al-Salafī wa Da‘watuhu al-Iṣlāḥiyyah. Alexandria: Dār al-Īmān.

Al-Ṣāliḥ, M. ibn A. (1995). Ummah fī Rajul Al-Imām al-Mujaddid Ibn Taimiyyah.

Baugh, C. (2013). Ibn Taymiyya’s Feminism? Imprisonment and the Divorce Fatwās. In E. Aslan, M. Hermansen, & E. Medeni (Ed.), Muslima Theology: The Voices of Muslim Women Theologians (hal. 181–196). Frankfurt: Peter Lang.

Hoover, J. (2020). Ibn Taymiyya: Makers of The Muslim World. London: Oneworld Academic.

Ibn Taimiyyah, A. ibn ’Abd al Ḥalīm. (2003). Fatāwā al-Nisā’. (‘Alī Aḥmad Al-Ṭahṭāwī, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah.

Ibn Taimiyyah, A. ibn ’Abd al Ḥalīm. (2004). Majmū’ Fatāwā Syaikh al-Islām Aḥmad ibn Taimiyyah. (‘Abd al-Raḥmān ibn Muḥammad Ibn Qāsim & M. ibn ‘Abd al-R. ibn M. Ibn Qāsim, Ed.). Riyāḍ: Maṭābi‘ al-Riyāḍ.

Laoust, H., Hoover, J., Jones, L., Waines, D., Michot, Y., Laoust, H., … Hoover, J. (2025). Ibn Taymiyya. In P. Bearman, T. Bianquis, C. E. Bosworth, E. van Donzel, & W. P. Heinrichs. (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (2nd ed., Vol. 4, hal. 238–241). Leiden: Brill. https://doi.org/10.1163/1573-3912_islam_SIM_3388

Mohammad Akram Nadwi. (2007). Al-Muhaddithat: the Women Scholars in Islam. Oxford: Interface Publications Ltd.

Opwis, F. (2010). Maṣlaḥa and the Purpose of the Law: Islamic Discourse on Legal Change from the 4th/10th to 8th/14th Century. Leiden: Brill.

Rapoport, Y. (2003). Legal Diversity in the Age of Taqlid: the Four Chief Qadis Under the Mamluks. Islamic Law and Society, 10(2), 210–228.

Rapoport, Y. (2004). Ibn Taymiyya on Divorce Oaths. In E. M. Winter & A. Levanoni (Ed.), The Mamluks in Egyptian and Syrian Politics and Society (hal. 191–217). Leiden: Brill.

Zarabozo, J. al-D. (2021). Ibn Taimiya: Mujahid, Mujtahid, Mujaddid. Independent Publication.

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Check Also
Close
Back to top button