Puisi dan Pertarungan Teologi: Ibn al-Qayyim Menjawab Tuduhan Mujassimah atas Ibn Taimiyyah
Oleh : Dr. Hamdan Maghribi, M.Phil. (Majelis Tabligh PWM Jateng)

Pendahuluan
Dalam sejarah intelektual Islam, perdebatan tentang ṣifāt Allāh (sifat-sifat Allāh) telah menjadi medan laga teologis (kalām) paling panas sejak era klasik hingga saat ini. Di tengah riuh gemuruh antara kaum rasionalis dan tradisionalis, muncul figur monumental sekaligus kontroversial bernama Ibn Taimiyyah (1263–1328), seorang ulama Ḥanbali yang dengan berani dan tegas menantang ortodoksi teologi kalām, khususnya pemikiran Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Namun, keberaniannya tidaklah tanpa risiko. Ia dituduh sebagai mujassim (seorang yang mengantropomorfisasi Tuhan) dan diseret ke dalam miḥnah (pengadilan-pengadilan publik) yang mencerminkan ketegangan serius antara wacana kalām dan kekuasaan politik-religius di era Mamluk.(Al-‘Imrān, 2019; Yāsīn, 2018)
Kisah pertarungan kalām Ibn Taimiyyah tak hanya diabadikan oleh catatan sejarah. Ia juga dilestarikan secara puitis oleh muridnya yang paling setia dan produktif, Ibn Qayyim al-Jauziyyah (1292–1350), dalam sebuah naẓam (syair/puisi) panjang berjudul al-Kāfiyah al-Syāfiyah fī al-Intiṣār li al-Firqah al-Nājiyah (yang mencukupi dan yang menyembuhkan untuk menolong kelompok yang selamat), atau lebih populer disebut al-Qaṣīdah al-Nūniyyah.(Al-Jauziyyah, 2019) Naẓam teologis ini bukan sekadar ekspresi iman atau polemik tema-tema kalām, melainkan sebuah narasi alegoris atas miḥan; ujian dan persekusi yang dialami Ibn Taimiyyah di pengadilan Damaskus dan Kairo.
Puisi Manifesto Teologi
Al-Kāfiyah al-Syāfiyah adalah naẓam berisi hampir 6000 bait yang ditulis sebagai pembelaan terhadap apa yang disebut Ibn al-Qayyim sebagai firqah nājiyah (kelompok yang selamat), yaitu kaum Ahl al-Ḥadīṡ atau para pengikut Salaf. Meskipun dalam sejarah Muslim puisi sering kali diasosiasikan dengan lirik cinta atau hikmah, puisi ini berperan sebagai kredo teologis sekaligus sebagai senjata polemik terhadap kaum yang menolak afirmasi literal sifat-sifat Tuhan dalam Al-Qur’an dan hadis.
Dalam pendahuluan, Ibn al-Qayyim tidak hanya mengembangkan argumen teologis, tetapi juga menyusun narasi dramatik tentang pertarungan antara dua tokoh fiktif: sang Muṡbit (yang menetapkan sifat-sifat Tuhan sebagaimana adanya) dan sang Mubaṭṭil (yang menolak dan menakwilnya). Namun, jika dibaca lebih cermat, tokoh Muṡbit adalah alegori dari Ibn Taimiyyah sendiri, sementara Mubaṭṭil mewakili para ulama Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah yang menjadi lawan-lawan ideologisnya dalam persidangan.(Al-Jauziyyah, 2019)
Miḥan: Drama Pengadilan dan Simbol Perjuangan
Ibn Taimiyyah tidak asing dengan ruang sidang. Dalam rentang 1306–1307, ia menjalani serangkaian sidang di Damaskus dan Kairo. Tuduhannya jelas: menyebarkan ajaran tajsīm, yakni keyakinan bahwa Tuhan memiliki bentuk atau tubuh seperti manusia. Tuduhan ini berakar dari keberaniannya menafsirkan ayat-ayat tentang istiwā’ (bersemayamnya Tuhan di atas ‘Arsy) secara tekstual, tanpa ta’wīl atau pengalihan makna literal, seperti yang lazim dalam teologi Asy‘ariyyah.(Holtzman, 2016; Yāsīn, 2018)
Bait-bait awal al-Kāfiyah al-Syāfiyah sebenarnya adalah rekonstruksi naratif dari pengalaman pengadilan ini. Dalam kisah fiktif tersebut, Muṡbit ditanyai soal keyakinannya tentang Tuhan yang duduk di ‘Arsy. Ia menjawab: “Kami mengatakan tentang hal ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mengatakannya.” Ia menolak semua bentuk penolakan sifat (ta‘ṭīl), penyerupaan (tasybīh), dan takwilan simbolis. Ini adalah sikap yang identik dengan kredo Ibn Taimiyyah yang termuat dalam al-‘Aqīdah al-Wāsiṭiyyah.(Al-Jauziyyah, 2019; Ibn Taimiyyah, 1999)
Yang menarik, meski berfungsi sebagai pembelaan teologis, naz̉am ini juga membangun narasi dramatis. Mubaṭṭil, tokoh antagonis, menyimpan dendam dan mengumpulkan sekutu di malam hari; suatu simbol konspirasi terhadap sang Muṡbit. Mereka adalah para qādī, muftī, dan para mutakallim yang mencoba menjatuhkan Ibn Taimiyyah melalui manipulasi hukum dan opini publik.
Namun, menurut narasi Ibn al-Qayyim, Tuhan membalikkan keadaan. Rencana jahat mereka gagal. Masyarakat mulai menunjukkan dukungan terhadap Muṡbit. Naẓam ini semacam “martyrological narrative”, yaitu narasi penderitaan yang justru memperkuat legitimasi religius Ibn Taimiyyah sebagai pembela sunnah sejati.(Holtzman, 2016)
Antara Teologi, Loyalitas, dan Kritik Sosial
Lebih dari sekadar puisi teologis, al-Kāfiyah al-Syāfiyah adalah cermin hubungan batin antara guru dan murid. Ibn al-Qayyim tidak hanya membela ajaran Ibn Taimiyyah, tetapi juga mengekspresikan kesetiaan emosional yang mendalam. Dalam beberapa bait, ia bahkan mencela para penganut madzhab Ḥanbalī yang tidak membela gurunya saat pengadilan berlangsung. Ia menuduh mereka lebih suka bertaklid pada pendapat lama daripada membela kebenaran argumentasi Ibn Taimiyyah.
Bagian ini semacam “kritik internal” terhadap mazhab sendiri; langkah yang berani dari seorang penganut setia madzhab Ḥanbalī. Ia menyiratkan bahwa kesetiaan kepada prinsip (yakni pembelaan terhadap Al-Qur’an dan sunnah secara langsung) lebih penting daripada kesetiaan kepada formalisme mazhab yang rigid dan kaku.
Lebih lanjut, naẓam ini mengandung dimensi eksistensial dan spiritual. Ibn al-Qayyim menggambarkan pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan bukan sebagai hasil olah pikir rasional semata, melainkan sebagai pencerahan ruhani yang datang dari misykāt al-waḥyi (ceruk wahyu Tuhan). Artinya, pemahaman yang benar tentang Tuhan hanya bisa diperoleh melalui iman dan keterbukaan hati, bukan perdebatan logis semata. Ini menjadi kritik mendalam terhadap tradisi kalām yang terlalu mengandalkan rasio, namun justru menjauh dari rasa tunduk kepada naṣṣ wahyu.
Menghidupkan Kembali Wacana Salaf
Apa yang dilakukan Ibn al-Qayyim dalam al-Kāfiyah al-Syāfiyah adalah bagian dari proyek besar revivalisme salafi. Ia ingin menghidupkan kembali pendekatan para salaf dalam memahami Tuhan, yang ditandai dengan penetapan makna literal tanpa tafsiran filosofis. Namun, pendekatan ini bukan tanpa risiko. Di tengah dominasi kalām Asy‘arī di dunia Islam saat itu, pendekatan Ibn Taimiyyah dianggap menyimpang, bahkan sesat.
Naẓam ini pun menjadi semacam counter-discourse terhadap mainstream ortodoksi. Ia menciptakan ruang ekspresi alternatif yang bukan hanya membela doktrin, tapi juga mendesain ulang peta teologi Islam klasik dengan semangat “reformasi internal”. Naẓam ini sebenarnya menawarkan sebuah epistemologi alternatif, di mana teks wahyu menjadi otoritas tunggal dan utama, bukan logika atau konsensus madzhab.
Pertanyaan besar yang muncul kemudian adalah: apakah ajaran Ibn Taimiyyah benar-benar mengarah pada antropomorfisme? Bagi para pengkritiknya; seperti al-Subkī dan ulama Asy‘ariyyah lainnya, jawabannya adalah ya. Mereka menganggap ajaran Ibn Taimiyyah membahayakan doktrin keesaan dan transendensi Tuhan. Namun bagi Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya, tuduhan ini adalah fitnah belaka. Justru dengan menolak takwilan yang rumit, mereka berusaha menjaga kesucian teks ilahi dari manipulasi rasionalistik.
Dalam wacana Islam kontemporer, perdebatan ini terus menggema. Isu-isu seperti penafsiran literal, posisi akal dalam memahami wahyu, serta batas-batas ijtihād masih menjadi topik yang diperdebatkan dengan hangat. Dalam konteks inilah al-Kāfiyah al-Syāfiyah bisa dibaca ulang, bukan hanya sebagai artefak sejarah teologis, tetapi juga sebagai refleksi mendalam atas dinamika otoritas, loyalitas, dan keberanian intelektual.
Penutup
Dengan menempatkan naẓam sebagai wadah pembelaan ideologis dan rekonstruksi sejarah, Ibn al-Qayyim berhasil menciptakan genre unik yang memadukan estetika sastra, teologi (kalām), dan loyalitas pada gurunya. Al-Kāfiyah al-Syāfiyah bukan sekadar karya sastra atau rangkuman dan ringkasan ajaran Ibn Taimiyyah, melainkan sebuah “ruang pengadilan simbolik” tempat Ibn al-Qayyim menyuarakan keberanian gurunya dan menolak segala bentuk fitnah atasnya.
Kisah ini, pada akhirnya, tidak hanya menyentuh isu tajsīm dan mujassimah (antropomorfisme) Ibn Taimiyyah, tetapi juga membuka diskusi yang lebih luas tentang bagaimana kebenaran diperjuangkan dalam ruang publik, bagaimana teks-teks dibaca ulang dalam konteks krisis, dan bagaimana loyalitas kepada seorang tokoh bisa melahirkan karya monumental dalam sejarah pemikiran Islam.
Bahan Bacaan
Al-‘Imrān, ‘Alī ibn Muḥammad. (2019). Al-Jāmi’ li Sīrah Syaikh al-Islām ibn Taimiyyah (661-728) Khilāl Sab’a Qurūn (M. ‘Uzair Syams & ‘Alī ibn Muḥammad Al-‘Imrān (eds.)). Dār ‘Aṭā’āt al-‘Ilm.
Al-Jauziyyah, I. Q. (2019). al-Kāfiyah al-Syāfiyah fī al-Intiṣār li al-Firqah al-Nājiyah. Dār Ibn Ḥazm.
Holtzman, L. (2016). Accused of Anthropomorphism: Ibn Taymiyya’s Miḥan as Reflected in Ibn Qayyim Al-Jawziyya’s Al-Kāfiya Al-Shāfiya. The Muslim World, 106(3), 561–587.
Ibn Taimiyyah, A. ibn ’Abd al Ḥalīm. (1999). al-‘Aqīdah al-Wāsiṭiyyah (A. ibn ‘Abd al-M. A. Muḥammad (ed.)). Aḍwā’ Al-Salaf.
Yāsīn, M. B. (2018). Miḥnah Ibn Taimiyyah: al-Tadāfu‘ al-‘Aqadī fi Ẓurūf al-Siyāsah wa al-Qaḍā’ wa al-Mujtama‘ al-Mamlūkī. Markaz Tafakkur li al-Buḥūṡ wa al-Dirāsāt.