Artikel

Perang Dalam Perspektif Islam: Istilah, Sejarah, Hukum, Dan Ragam

Oleh : Agus Miswanto, MA (Dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah UNIMMA dan Dewan Pengawas Syariah Lazismu Jateng)

Perang Dalam Perspektif Islam: Istilah, Sejarah, Hukum, Dan Ragam
Ileh : Agus Miswanto, MA (Dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah UNIMMA dan Dewan Pengawas Syariah Lazismu Jawa Tengah)

1) Pendahuluan
Peperangan sesungguhnya peristiwa kemanusiaan sebagai akibat dari permusuhan, kezaliman, ataupun perebutan kekuasaan. Peperangan biasaya melibatkan dua kekuatan besar atau lebih yang saling berhadapan dengan menggunakan kekuatan persenjataan. Dalam konteks sejarah, Alqur’an Surat Albaqarah 246-251 merekam peristiwa peperangan antara Tholut dan Jalut. Demikian juga buku-buku sejarah banyak merekam peristiwa peperangan pada era klasik ataupun modern, seperti peristiwa perang salib, perang Diponegoro, perang kemerdekaan, perang Iran-Iraq, dan lain-lain. Dan baru-baru ini terjadi peperangan antara Iran dan Israel. Ini menunjukan bahwa peperangan antar manusia itu akan terus terjadi dalam sejarah ini dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya.

Syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, telah mengatur prinsip-prinsip peperangan itu, sehingga tidak terjadi peristiwa yang melampui batas dan kezaliman yang merajalela. Tulisan ini mengulas tentang aspek nilai, hukum, sejarah terkait perang dalam perspektif Islam.

2) Istilah
Dalam Islam, istilah perang dikenal dengan berbagai nama, tergantung konteks, jenis, dan hukumnya. Berikut adalah istilah-istilah utama tentang perang dalam Islam: 1) Al-Jihād (الجِهَاد), ini disebutkan dalam QS. Al-Hajj: 78, yang secara bahasa berarti bersungguh-sungguh atau berjuang sepenuh tenaga. Dalam konteks syariat, jihad berarti berjuang di jalan Allah, termasuk melalui perang melawan musuh Islam. Dan makna jihad mencakup: Perang fisik (melawan agresi), Jihad melawan hawa nafsu, dan Dakwah dan menuntut ilmu. 2). Al-Qitāl (الْقِتَال), ini disebutkan dalam (QS. Al-Baqarah: 216). Qital secara bahasa bermakna pertempuran bersenjata antara kaum Muslimin dan musuh. Dan Qitāl lebih spesifik dari jihad: jihad bersifat umum, qitāl bersifat fisik. 3). Ghazwah (غَزْوَة), yaitu perang yang diikuti langsung oleh Rasulullah SAW, yang jumlahnya sekitar 27 kali, seperti Perang Badar, Uhud, Khandaq, dll. 4) Sariyyah (سَرِيَّة), yaitu ekspedisi militer yang tidak diikuti langsung oleh Nabi SAW, tetapi beliau mengutus para sahabat sebagai komandan. Jumlahnya mencapai lebih dari 50 kali. 5) Fath (الْفَتْح), ini disebutkan dalam QS. Al-Fath: 1. Dan secara bahasa berarti kemenangan. Dalam konteks perang, fath adalah pembukaan atau penaklukan wilayah tanpa harus terjadi pertempuran besar. Contoh: Fath Makkah (Penaklukan Kota Mekah). 6). Harb (حَرْب), ini disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 279. Ini istilah umum untuk perang. Digunakan secara luas dalam bahasa Arab, baik dalam konteks Islam maupun bukan. Dan istilah harb juga digunakan untuk perang ekonomi (seperti terhadap riba).

3) Sejarah Perang Rasulullah SAW
Rasulullah mengikuti sejumlah peperangan (ghazwah) selama masa kenabian di Madinah, yang mayoritas bersifat defensif dan bertujuan melindungi umat Islam dari agresi luar. Pada masa Nabi Muhammad ﷺ, terdapat dua jenis peperangan utama: Ghazwah (غزوة): yaitu peperangan yang diikuti langsung oleh Nabi ﷺ. Dan Sariyyah (سرية), yaitu ekspedisi militer yang tidak diikuti langsung oleh Nabi, tetapi dikirim atas perintah beliau. Dan jumlah Ghazwah (غزوة) ada sekitar 27 Ghazwah. Seperti, Perang Badar, Uhud, Khandaq, Tabuk, dll. Dan sembilan di antaranya terjadi kontak senjata langsung. Adapun jumlah Sariyyah (سرية) ada sekitar 38 -70 Sariyyah (tergantung perhitungan ulama). Contoh: Sariyyah Hamzah bin Abdul Muthallib, Sariyyah Abdullah bin Jahsy, dll. Semua dilakukan bukan untuk agresi, tetapi membela Islam, umatnya, serta menegakkan perjanjian dan keadilan. Kemenangan Rasulullah dalam banyak peperangan menunjukkan kepemimpinan, strategi, dan ketundukan pada petunjuk ilahi.

Ghazwah (Perang yang Diikuti Rasulullah SAW), diantaranya: a. Perang Badar (2 H), yaitu perang pertama yang besar antara kaum Muslim dan Quraisy. Sebabnya adalah Quraisy mengancam keberadaan umat Islam di Madinah, serta merampas harta kaum Muhajirin di Makkah. Perang ini disebutkan QS:

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنتُمْ أَذِلَّةٌ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan sungguh, Allah telah menolong kamu dalam Perang Badar, padahal kamu dalam keadaan lemah. Maka bertakwalah kepada Allah agar kamu bersyukur. (QS. Ali ‘Imran: 123)

b. Perang Uhud (3 H). Sebab utamanya balas dendam kaum Quraisy atas kekalahan di Badar. Ini disebutkan dalam QS :

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang beriman. (QS. Ali ‘Imran: 139)

c. Perang Khandaq (Ahzab) – 5 H. Perang ini merupakan koalisi kaum kafir yaitu gabungan Quraisy dan kabilah lain untuk melakukan pengepungan kota Madinah. Dan strategi yang dilakukan oleh Rasulullah dengan menggali parit (khandaq) sebagai pertahanan. Perang ini disebutkan dalam QS al-Ahzab:

إِذْ جَاءُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ…

Ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika pandangan mata terbelalak dan hati mencapai tenggorokan. (QS. Al-Ahzab: 10)

d. Fathu Makkah (8 H). Penaklukan Makkah secara damai tanpa peperangan besar. Peristiwa ini disebutkan dalam QS al-Fath:

إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ… فَأَنزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ…

Ketika orang-orang kafir menanamkan kesombongan dalam hati mereka… maka Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya. (QS. Al-Fath: 26)

e. Perang Hunain (8 H). Melawan suku Hawazin dan Tsaqif setelah Fathu Makkah. Dalam perang ini kaum muslimin sempat mengalami kekalahan, dan pada akhirnya kaum muslimin memenangkan. Perang ini disebutkan dalam QS al-Taubah:

وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا

Dan (ingatlah) pada Perang Hunain, ketika jumlahmu yang banyak membuatmu kagum, namun itu tidak berguna bagimu…” (QS. At-Taubah: 25)
f. Perang Tabuk (9 H) yaitu ekspedisi besar ke wilayah Romawi. Tidak terjadi pertempuran langsung, karena musuh mundur. Peristiwa ini disebutkan dalam QS al-Taubah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ

Wahai orang-orang beriman! Mengapa apabila dikatakan kepadamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah’, kamu merasa berat dan ingin tinggal di bumi?” (QS. At-Taubah: 38)

4) Hukum Perang dalam Islam
Para ulama sepakat bahwa perang dalam Islam diperbolehkan dengan syarat tertentu, terutama untuk membela diri, menghentikan kezaliman, dan melindungi kebebasan beragama. Para nabi yang diutus oleh Allah SWT ketika menghadapi situasi politik yang mengancam kehidupan dan dalam rangka untuk mempertahankan dakwah, juga menggunakan kekuatan peperangan. Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi permusuhan orang-orang kafir, juga mempersiapkan pasukan yang kuat untuk maju di medan peperangan. Di dalam Alquran, ada banyak dalil yang mengizinkan peperangan dengan alasan tertentu.

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ. الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِم بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ ۗ

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dizalimi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata: Tuhan kami adalah Allah.” (QS. Al-Hajj: 39–40)

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ…

Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita maupun anak-anak…” (QS. An-Nisa: 75)
Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa perang diperbolehkan dengan syarat untuk melakukan pembelaan diri terhadap kezaliman yang terjadi demi untuk melindungi masyarakat yang lemah dan terancam kehormatan jiwa, harta benda, dan keluarga mereka.

5) Prinsip-prinsip Perang dalam Islam
Islam memperbolehkan perang dalam kondisi tertentu, dengan etika dan batasan yang tegas. Tujuannya adalah keadilan, perlindungan, dan penjagaan agama, bukan ekspansi atau pemaksaan. Dalam fiqh siayasah, disebutkan beberapa prinsip penting dalam peperangan, yaitu: 1) Perang hanya dibenarkan untuk membela diri dan menolak kezaliman; 2) Harus di bawah otoritas pemimpin (pemerintahan/negara); 3) Harus menghindari kerusakan dan kezaliman; 4) Musuh harus diberi kesempatan damai lebih dahulu (QS. Al-Anfal: 61); 5) Tawanan harus diperlakukan manusiawi (QS. Muhammad: 4). Selain itu ada beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan dalam peperangan, yaitu: a) Larangan melampaui batas saat perang

اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ، اغْزُوا وَلَا تَغْدِرُوا، وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تُمَثِّلُوا، وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا

Berperanglah kalian dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah. Perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah, tapi jangan berkhianat, jangan merampas (ghulul), jangan mencincang (musuh), dan jangan membunuh anak-anak.” (HR. Muslim, no. 1731)

b) Perlindungan terhadap non-kombatan.
Islam melarang untuk melakukan penyerangan dan pembunhan kepada orang-orang sipil yang tidak terlibat perang secara langsung, seperti orang tua, anak-anak, dan kaum wanita.

لَا تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا، وَلَا طِفْلًا صَغِيرًا، وَلَا امْرَأَةً

Janganlah kalian membunuh orang tua yang renta, anak kecil, dan wanita.” (HR. Abu Dawud, no. 2614)

6) Ragam Peperangan dan Alasanya
Dalam Islam, perang (jihad dalam bentuk qital) dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan tujuan dan hukum pelaksanaannya.

1. Perang Difā‘ī (الدِّفَاعِيّ) – Perang Defensif, yaitu perang untuk membela diri, membela agama, nyawa, harta, dan tanah air dari serangan musuh. Hukumnya adalah fardhu ‘Ain jika musuh sudah masuk wilayah Islam. Dalam QS al-Hajj disebutkan: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dizalimi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. (QS. Al-Hajj: 39)

2. Perang Thalabī (الطَّلَبِيّ) – Perang Ofensif, yaitu perang yang dilakukan untuk menghilangkan kezaliman, membuka jalan dakwah, dan membebaskan kaum tertindas, bukan karena diserang terlebih dahulu. Hukumnya adalah fardhu Kifāyah, dilakukan atas izin imam atau otoritas pemimpin.
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ…
Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak…” (QS. An-Nisā’: 75)

3. Perang terhadap Orang Murtad (حرْبُ الرِّدَّةِ), yaitu perang terhadap orang-orang yang keluar dari Islam dan memberontak terhadap negara Islam. Ini tidak dilakukan sembarangan, hanya oleh negara (pemerintah sah) dengan hukum syar’i yang kuat.
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Barangsiapa yang mengganti agamanya (keluar dari Islam), maka bunuhlah dia. (HR. Bukhari, no. 3017)

4. Perang Melawan Kaum Bughat (الْبُغَاةُ) – Pemberontak. Perang terhadap kaum Muslimin yang memberontak kepada pemimpin sah dengan kekerasan.
فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي…
Jika salah satu dari dua golongan itu melampaui batas terhadap yang lain, maka perangilah yang melampaui batas…” (QS. Al-Hujurat: 9)

5. Perang Melawan Pengkhianat Perjanjian (ناقِضُو العُهُود). Jika pihak musuh melanggar perjanjian damai, maka umat Islam boleh memerangi mereka.
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِن قَوْمٍ خِيَانَةً فَانبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَىٰ سَوَاءٍ
Jika kamu khawatir akan pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka secara terbuka.” (QS. Al-Anfal: 58)

7) Penutup
Dengan melihat paparan pembahasan di atas, peperangan sekalipun diperbolehkan oleh syariat, tetapi ini adalah jalan terakhir yang ditempuh. Dan peperangan diperkenankan karena alasan yang sangat darurat untuk melindungi kepentingan masyarakat, agama, negara dan bangsa. Oleh karena itu, peperangan tidak boleh dilakukan oleh pribadi ataupun kelompok, dengan alasan yang bersifat indivual.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Check Also
Close
Back to top button