
Perempuan Berdaya, Bukan Sekadar Konco Wingking
Oleh: Agus Priyadi, S.Pd.I.*)
Zaman pra Islam, perempuan ibarat benda yang tidak ada harganya. Mereka diperlakukan semena-mena sesuai kehendak nafsu dan keinginannya sendiri. Perempuan tidak memiliki kemerdekaan dan kemandirian untuk mengatur dirinya sendiri sesuai dengan pilihannya.
Keberadaan perempuan sepenuhnya berada dalam cengkeraman kaum laki-laki sehingga kreatifitas dan kemandiriannya tidak berkembang dengan baik sehingga kehidupan perempuan boleh dibilang hanya sebagai pelengkap penderita, pasif dan tidak memiliki ruang untuk mengatur sektor kehidupan yang strategis.
Perempuan diposisikan sebagai konco wingking yang selalu menuruti apa yang menjadi kehendak kaum laki-laki. Dengan demikian, peran perempuan hanya disektor domestik yang notabene berkutat pada dapur sumur dan kasur.
Peran – peran publik dan kebijakan strategis lainnya menjadi ranah kaum laki-laki. Mereka sebagai pengendali kebijakan strategis serta memiliki otoritas sepenuhnya bahkan tanpa pertimbangan perempuan sedikitpun.
Bukan hanya itu, bahkan, perempuan kerap mendapat perlakuan dan tindakan yang tidak selayaknya. Adakalanya perempuan menjadi hadiah dalam suatu perjudian. Adakalanya perempuan menjadi budak. Bahkan yang paling miris, perempuan dijadikan sebagai pemuas seks belaka.
Pada masa jahiliyah, keberadaan perempuan benar-benar tidak ada harganya. Kehormatannya terkoyak oleh sistem patriarkhi yang hanya menguntungkan laki-laki. Sedangkan perempuan dipandang sebagai makhluk rendahan yang tidak pantas dihormati. Oleh karenanya, bila ada orang yang melahirkan bayi perempuan, mereka merasa malu. Buru-buru bayi tersebut dibunuh atau bahkan dikubur hidup-hidup.
Baginya, bayi perempuan adalah pembawa sial. Lantaran tidak bisa diandalkan sebagai penerus suku dan atau kelompoknya. Perempuan juga dinilai sebagai makhluk lemah yang tidak bisa berbuat banyak untuk menjamin eksistensi suku/kelompoknya di tengah perebutan kekuasaan antar suku kala itu.
Di sisi lain, bila yang lahir adalah bayi laki-laki, mereka menyambutnya dengan bersuka ria. Baginya, bayi laki-laki adalah harapan dan kebanggaan. Bayi laki-laki diyakini sebagai simbol kekuatan dan keperkasaan yang dapat membawa kejayaan sukunya.
Ketika Islam datang, kedudukan perempuan berbalik 180 derajat. Betapa tidak, bahwa dalam Islam, eksistensi perempuan diakui sebagai makhluk yang mulia dan harus dimuliakan. Islam memandang bahwa perempuan dan laki-laki memiiki kedudukan yang sama dan sederajat. Baik dalam sektor domestik maupun sektor publik. Yang membedakan adalah ketaqwaannya.
Islam menempatkan laki-laki dan perempuan memiliki hak dan peran yang sama dalam semua aspek kehidupan selama tidak meninggalkan fitrahnya. Laki-laki dan perempuan diberi ruang yang leluasa untuk berekpresi dan aktualisasi diri sesuai dengan potensi yang dimilikinya untuk maju dan berkembang dengan baik.
Dalam kitab al Mu`jam al Kabir, Rasulalah bersabda bahwa surga itu di bawah telapak kakai ibu (HR. Ibnu Majah, Nasai, Ahmaddan At Thabrani). Pernyataan dalam hadits ini merupakan kiasan. Maksudnya bahwa orang yang ingin mendapatkan kemuliaan (surga), maka seseorang wajib menghormati perempuan terutama ibunya yang telah mengandung selama kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari.
Dalam al qur`an digambarkan bahwa seorang ibu mengandung dalam keadaan payah dan bertambah payah seiring dengan umur kandungannya. Namun dalam keadaan demikian, seorang ibu tidak pernah mengeluhkan akan keadaannya tersebut. Adanya rasa cinta dan kasih sayang yang tulus menjadi energi bagi seorang ibu untuk menjalaninya dengan ihlas.
Rasulallah SAW dalam sabdanya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori menyatakan bahwa suatu ketika adaseorang sahabat yang bertanya padanya, “siapa yang terlebih dahulu saya hormati ya Rasulallah? “Ibumu” jawab Rasul. “Kemudian siapa lagi ya Rasulallah?” tanya sahabat. “Ibumu” jawab Rasulallah. “Kemudian siapa lagi ya rasulalah?” Rasul menjawab dengan kata yang sama, “Ibumu”. “Kemudan siapa lagi ya Rasulallah?” tanya sahabat. “baru kemudian Ayahmu”, jawab Rasulallah.
Hadits ini menjelaskan pada kita bahwa posisi perempuan sangat terhormat dan mulia dalam Islam. Sehingga ketika sahabat bertanya tentang siapa yang terlebih dahulu dihormati, Rasulallah SAW menjawab “Ibumu” hingga berulang sebanyak tiga kali. Pengulangan ini menegaskan bahwa perempuan, terutama ibu, memiliki kedudukan sangat mulia dan harus dihormati.
Pada masa modern saat ini, gerakan emansipasi wanita gencar digalakkan. Di Indonesia, gerakan emansipasi wanita dipelopori oleh RA. Kartini. Beliau melalui pikiran – pikirannya coba mendobrak kejumudan kaumnya yang belum berpihak pada kaum perempuan.
Buah pikiran beliau kemudian didokumentasikan dalam bentuk buku dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku tersebut akhirnya mengisnpirasi perempuan generasi setelahnya untuk berperan aktif pada kehidupan yang lebih luas. Bukan sekedar konco wongking.
Atas jas RA Kartini, kini perempuan Indonesia banyak yang mengisi posisi strategis seperti menjadi guru, polwan, manajer, pengawai, dan lain sebagainya. Kini perempuan tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang hanya berkutat di rumah dengan segala kompleksitasnya. Namun perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berkiprah pada posisi-posisi penting pada semua sektor kehidupan. Baik pada bidang pendidikan, kesehatan, seni, budaya, ekonomi bahkan dalam bidang politik sekalipun.
Emansipasi wanita tidak berlawanan dengan hukum Islam, karena Islam membolehkan perempuan melakukan peran-peran tersebut selama tidak meningkari kodratnya sebagai perempuan. Baik sebagai istri maupun sebagai ibu.
Sebagai istri, perempuan wajib berbakti kepada suaminya. Perempuan harus melayani suaminya dengan ihlas sebagai wujud ketaatan dan ibadah. Sedangkan sebagai ibu, perempuan melakukan tugas-tugas kefitrahannya seperti mengandung, melahirkan, menyusui, mendidk dan membimbing anak-anaknya sebaik mungkin agar lahir generasi sholeh sholehah.
Selama tugas dan kewajiban tersebut dapat ditunaikan, maka perempuan tidak dilarang melakukan tugas dan profesi lain sebagai bagian dari tuntutan zaman. Sebab, bila perempuan tidak mengambil peran tersebut, maka harkat dan martabat perempuan bisa-bisa termarjinalkan. Untuk itu, perempuan harus aktif dan senantiasa berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan yang maju dan sejahtera.
*) Penulis adalah anggota KMM PDM Banjarnegara dan Santri Sekolah Tabligh PWM Jateng di Banjarnegara.