
Hari ini, Senin (14/7/2025) merupakan hari pertama sekolah. Anak-anak dan orang tua menyambutnya dengan suka cita. Aura gembira terpancar jelas pada para siswa saat memasuki gerbang sekolah. Hal itu wajar karena seusai libur panjang selama tiga minggu lamanya. Boleh jadi karena itu, rasa rindu terhadap sekolah membuncah.
Anak-anak merindukan teman, guru dan suasana sekolah yang penuh kenangan. Begitu juga para guru, mereka juga merindukan siswa didiknya dengan segala keunikannya.
Kerinduan antara siswa dan guru merupakan kerinduan yang dibangun atas cinta dan kasih sayang. Guru sebagai orang tua di sekolah tidak hanya bertugas mengajar yang notabene transfer of knowledge semata, namun juga menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah.
Maka pada saat yang bersamaan, naluri sebagai orang tua berharap pada peserta didiknya kelak pada saatnya menjadi orang sukses. Untuk itu, para guru berupaya melakukan tugasnya tidak hanya profesional tapi juga dilandasi cinta yang tulus.
Guru adalah sosok yang mulia. Pada dirinya melekat tugas dan tanggungjawab yang berat. Pasalnya, selain mengajar, guru juga mendidik siswa dengan menanamkan nilai-nilai spiritual agar kelak mereka menjadi insan yang berakhlak mulia.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, guru tidak bisa hanya menggunakan kata-kata saja. Akan tetapi guru mesti harus melakukan upaya-upaya yang lebih mendalam, membutuhkan waktu lama, proses yang terus menerus serta ketelatenan dan kesabaran.
Harus kita pahami bersama bahwa mendidik anak zaman sekarang berbeda dengan mendidik anak zaman dulu. Pola pendidikan mesti harus disesuaikan dengan konteks zamannya. Pola pendidikan tempo dulu dipandang tepat untuk zaman dulu. Begitu pula sebaliknya, pola pendidikan saat ini, juga harus mengikuti perkembangan masa kini. Dengan demikian, pendidikan akan selalu up to date dan tidak kehilangan relevansinya.
Mendidik anak zaman sekarang tidak cukup hanya dengan nasehat. Akan tetapi perlu ada sentuhan cinta dan kasih sayang. Pendekatan yang humanis dan kelembutan. Guru tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan meski berkedok kedisiplinan. Guru harus mentransfer energi cintanya kepada siswa. Seperti dengan senyuman, sapaan, sentuhan kasih sayang, pujian yang tulus dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan dalam kerangka agar siswa merasa nyaman.
Guru bukanlah “dewa” yang serba tahu dan serba benar. Namun ia adalah orang tua di sekolah yang mempunyai tugas dan tanggungjawab mendidik, membimbing, mengarahkan dan melatih siswa agar ia menjadi anak yang sholih dan sholehah sebagaimana yang diharapkan oleh semua orang tua siswa.
Guru merupakan pengayom yang melindungi siswa dari tindakan dan perilaku yang tidak baik. Untuk itu, guru semestinya memberikan perhatian dan pelayanan sebaik mungkin kepada siswa agar siswa dapat tumbuh dan berkembang sesuai minat, bakat dan potensinya.
Guru yang mendidik dengan sentuhan cinta akan memberikan dorongan kepada siswa untuk terus berusaha mencapai apa yang menjadi cita-citanya. Guru juga mengerti dan menyadari bahwa setiap anak memiliki keunikan dan karakteristiknya masing-masing. Oleh karenanya, guru tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada siswa. Selain itu, guru juga tidak dapat menyamaratakan antara anak yang satu dengan anak yang lain. Sebab, pada prinsipnya semua anak adalah hebat, semua anak adalah pintar.
Sentuhan cinta yang diberikan guru laksana air yang disiram pada tanah yang tandus. Ia menyegarkan, menyuburkan serta menumbuhkan semangat belajar. Sentuhan cinta guru menjadi energi yang menggerakkan para siswa menemukan jati dirinya. Cinta dan kasih sayang merekatkan hubungan antara guru dan siswa seperti orang tua dengan anaknya. Dengan demikian, pola hubungan yang dibangun pun bukan lagi sekedar hubungan formal, akan tetapi hubungan emosional yang penuh kehangatan dan keakraban.
Sentuhan cinta dari seorang guru dapat membuat para siswa lebih percaya diri. Selain itu, ia juga merasa diakui dan dihargai, diperlakukan dengan baik dan penuh ketulusan. Ia tidak merasa didikte ataupun dipaksa. Akan tetapi ia merasa diposisikan sebagai orang penting dan istimewa.
*) Penulis adalah ketua MT Ranting Danaraja, anggota MT Cabang Merden, dan Santri Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara.




