
*HOBIKAN TAUBAT*
Oleh: Didi Eko Ristanto
Seorang Muslim yang ingin hatinya seperti hati Nabi Muhammad ﷺ, tidak cukup hanya dengan semangat dan hafalan. Ia harus membiasakan diri dalam satu hal yang sangat mendasar: bertaubat. Bukan sesekali, tapi terus-menerus. Taubat bukan hanya bagi yang baru kembali dari lembah maksiat. Taubat adalah jalan hidup dan rutinitas harian.
Tak peduli sebanyak apa dosa yang telah dilakukan. Bahkan jika seseorang merasa hidupnya bersih dari maksiat, ia tetap perlu memperbanyak istighfar dan taubat.
Mengapa? Karena itulah teladan Nabi ﷺ. Beliau, manusia paling sempurna, yang dosanya telah diampuni seluruhnya—yang bahkan tidak pernah berbuat salah—bersumpah bahwa dalam sehari beliau bertaubat kepada Allah sebanyak seratus kali.
Coba kita renungkan: Beliau yang tak berdosa saja mengakui kebutuhan untuk terus kembali kepada Allah, bagaimana dengan kita?
Inilah hati yang bersih. Hati yang suci bukanlah hati yang merasa telah cukup, melainkan hati yang selalu merasa kurang di hadapan Tuhan. Hati yang sadar, bahwa meskipun tak tampak berbuat dosa secara kasat mata, tetap saja tak mampu mengagungkan Allah sebagaimana layaknya. Kita ini terlalu kecil untuk memuliakan-Nya dengan sempurna, terlalu lemah untuk menjalankan semua perintah-Nya sebagaimana seharusnya.
Lihatlah para malaikat. Ada yang diciptakan hanya untuk sujud, terus-menerus hingga hari kiamat. Ada pula yang hanya ruku’, tak pernah berhenti, sejak diciptakan. Namun, di hari kiamat nanti, saat mereka diizinkan mengangkat kepala, mereka berkata: “Ya Allah, kami belum menyembah-Mu sebagaimana Engkau layak disembah.”
Jika malaikat saja mengaku belum mampu menyembah dengan sempurna, bagaimana dengan kita—manusia yang umur ibadahnya pendek, amalnya sedikit, dan itupun sisa-sisa. Sisa waktu, sisa tenaga, sisa pikiran.
Lihatlah tubuh kita.
Mata ini—berapa banyak dosa yang telah ia saksikan?
Telinga ini—berapa banyak maksiat yang ia dengar?
Mulut ini—berapa banyak kalimat buruk, gibah, bohong, dan celaan yang ia lontarkan?
Pikiran dan hati kita pun tak luput dari debu-debu dosa.
Dosa kita banyak—bahkan terlalu banyak untuk kita ingat dan hitung.
Kalau Nabi Muhammad ﷺ yang tanpa dosa saja bertaubat 100 kali sehari, bagaimana dengan kita yang laksana lautan dosa, tapi masih merasa baik-baik saja?
Saudaraku, taubat bukan sekadar penyesalan sesaat. Taubat adalah bentuk cinta. Taubat adalah tanda bahwa kita tidak ingin menjauh dari Allah. Bahwa kita sadar siapa diri ini—hamba yang penuh kekurangan.
Allah mencintai hamba yang bertaubat.
Karena dalam taubat, ada rasa mengaku salah.
Ada hati yang tunduk, ada jiwa yang bersimpuh.
Ada air mata malu, ada kepala yang tertunduk hina.
Dan justru dari kerendahan itulah, Allah turunkan cinta-Nya.
Jangan malu untuk sering-sering bertaubat. Malulah jika kita jarang merasa bersalah.
Biasakan taubat.
Biasakan istighfar.
Hobikan kembali kepada Allah.
Karena sejatinya, kita ini tak punya tempat kembali selain kepada-Nya.
Cilacap, 22 Juni 2023