Empat Cara Berinteraksi dengan Al-Qur’an
Inspirasi dari KH. Ahmad Dahlan

Dalam ceramahnya, M. Husnaini, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM DI Yogyakarta, pada Ahad (10/08/2025) di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menyoroti pentingnya interaksi yang mendalam dengan Al-Qur’an, melampaui sekadar hafalan. Ia prihatin dengan fenomena banyaknya penghafal Al-Qur’an, terutama anak-anak, yang tidak memahami makna dari ayat yang mereka hafal.
Teladan dari KH. Ahmad Dahlan
Husnaini menjadikan pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, sebagai contoh nyata dari pengamalan keempat tahapan tersebut. KH. Ahmad Dahlan tidak hanya membaca Surah Al-Ma’un berulang kali, tetapi juga merenungkan maknanya (tadabbur) hingga melahirkan sebuah gerakan nyata.
Pemahamannya terhadap perintah untuk peduli pada fakir miskin dan anak yatim dalam surat tersebut diwujudkan dengan mendirikan amal usaha Muhammadiyah. Ini adalah contoh bagaimana Al-Qur’an menjadi inspirasi untuk sebuah “tafsir transformatif” yang solutif.
Menurut Husnaini, ada empat tahapan untuk berinteraksi secara baik dan benar dengan Al-Qur’an. Empat tahapan interaksi dengan Al-Qur’an, yang mengubahnya dari sekadar teks menjadi panduan hidup yang transformatif. Ini adalah sebuah perjalanan spiritual dan intelektual yang bergerak dari lisan, menuju akal, meresap ke dalam hati, dan akhirnya terwujud dalam perbuatan.
1. Tilāwah ( تِلَاوَة) – Menyuarakan Wahyu dengan Benar
Tilāwah adalah fondasi dari interaksi kita dengan Al-Qur’an. Ini adalah seni dan ibadah dalam melafalkan ayat-ayat suci sesuai dengan cara ia diturunkan. Tahap ini bukan sekadar membaca, melainkan sebuah koneksi spiritual melalui suara.
Fokus Utama: Kesempurnaan lafal dan adab. Ini mencakup:
- Tajwid: Ilmu yang mengatur kaidah pengucapan setiap huruf, panjang-pendeknya bacaan, dengung, dan pemberhentian (waqaf). Tujuannya adalah untuk membaca Al-Qur’an persis seperti yang diajarkan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
- Makharijul Huruf: Memastikan setiap huruf diucapkan dari titik artikulasi yang tepat, sehingga tidak mengubah makna.
- Tartil: Membaca secara perlahan, tenang, dan tidak tergesa-gesa, yang memungkinkan lisan dan hati untuk bersinergi.
Tujuan Tahap Ini:
- Menjaga Otentisitas: Melestarikan kemurnian lafal Al-Qur’an dari generasi ke generasi.
- Mendapatkan Keberkahan (Pahala): Setiap huruf yang dibaca dengan benar dinilai sebagai ibadah yang mendatangkan pahala, bahkan jika pembacanya belum memahami artinya.
- Menciptakan Ketenangan: Getaran suara dari bacaan Al-Qur’an yang benar terbukti memiliki efek menenangkan jiwa (syifa’), baik bagi yang membaca maupun yang mendengarkan.
Analogi sederhananya, tilawah ibarat memainkan sebuah komposisi musik mahakarya. Seorang musisi harus memainkan setiap not dengan presisi dan tempo yang tepat untuk menghasilkan harmoni yang indah, meskipun pendengarnya tidak memahami teori musik di baliknya.
2. Qirā’ah (قراءة) – Membaca Sambil Memahami Makna Literal
Setelah lisan terbiasa melafalkan, tahap selanjutnya adalah melibatkan akal untuk memahami apa yang dikatakan oleh ayat tersebut. Qirā’ah adalah jembatan yang menghubungkan suara dengan makna.
Fokus Utama: Memahami terjemahan dan makna dasar.
- Membaca Terjemahan: Menggunakan terjemahan yang tepercaya dalam bahasa yang dipahami sebagai alat utama untuk menangkap pesan harfiah dari setiap ayat.
- Mengenali Kosakata Dasar: Secara bertahap mempelajari arti dari kata-kata kunci dalam Al-Qur’an (misalnya: ṣalāt, zakāt, taqwā, īmān).
Tujuan Tahap Ini:
- Mengetahui Perintah dan Larangan: Memahami instruksi dasar dari Allah, seperti apa yang diperintahkan, apa yang dilarang, kisah-kisah umat terdahulu, dan janji-janji-Nya.
- Menggeser dari Ritual ke Pemahaman: Mengubah aktivitas membaca dari sekadar rutinitas berpahala menjadi sebuah proses penyerapan informasi ilahi.
- Membangun Fondasi untuk Pendalaman: Pemahaman literal adalah dasar yang mutlak diperlukan sebelum melangkah ke analisis yang lebih dalam.
Qirā’ah ibarat membaca subtitle dari sebuah film berbahasa asing. Anda mulai memahami alur cerita, dialog antar tokoh, dan pesan utama yang ingin disampaikan, yang merupakan lompatan besar dari sekadar mendengar bahasanya.
3. Tadārus (تدارس) – Mempelajari dan Mendiskusikan Konteks
Kata Tadārus berasal dari akar kata darasa (mempelajari), dengan pola kata yang menyiratkan adanya interaksi atau kegiatan timbal balik. Ini adalah tahap pendalaman intelektual yang dilakukan secara bersama-sama untuk memahami mengapa dan bagaimana sebuah ayat diturunkan.
Fokus Utama: Analisis kontekstual dan studi mendalam.
- Mempelajari Tafsir: Merujuk pada karya-karya para ulama tafsir untuk memahami penjelasan, nuansa bahasa, dan hikmah di balik ayat.
- Asbāb al-Nuzūl (Sebab Turunnya Ayat): Mengetahui konteks historis, sosial, atau peristiwa spesifik yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat. Ini sangat krusial untuk menghindari pemahaman yang kaku atau salah kaprah.
- Diskusi dan Dialog: Belajar dalam sebuah kelompok atau di bawah bimbingan seorang guru (halaqah). Proses tanya jawab dan berbagi pemahaman membantu menjernihkan keraguan dan membuka wawasan baru.
Tujuan Tahap Ini:
- Menghindari Salah Tafsir: Konteks adalah kunci. Dengan tadarus, kita memahami bahwa sebuah ayat tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari sebuah dialog ilahi yang utuh dan relevan dengan situasi tertentu.
- Menangkap Pesan Universal: Menggali prinsip-prinsip universal di balik sebuah hukum atau kisah yang spesifik pada zaman Nabi.
- Memperkaya Perspektif: Mendengar pemahaman orang lain akan memperkaya dan mengoreksi pemahaman pribadi.
Tadārus seperti sebuah seminar atau bedah buku di universitas. Peserta tidak hanya membaca novelnya (Qirā’ah), tetapi juga mendiskusikan latar belakang pengarang, konteks zaman, dan analisis para kritikus untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
4. Tadabbur (تدبر) – Merenungkan dan Mengamalkan
Tadabbur adalah puncak dari interaksi dengan Al-Qur’an, di mana pesan wahyu tidak lagi menjadi objek studi, tetapi menjadi cermin bagi jiwa dan panduan untuk bertindak. Ini adalah proses internalisasi pesan Al-Qur’an hingga meresap ke dalam hati dan mengubah cara pandang serta perilaku.
Fokus Utama: Refleksi personal dan aplikasi praktis.
- Kontemplasi (Tafakkur): Bertanya pada diri sendiri: “Apa pesan ayat ini untukku pribadi?”, “Bagaimana ini relevan dengan masalah yang sedang kuhadapi?”, “Perubahan apa yang harus kulakukan setelah mengetahui ini?”.
- Internalisasi Nilai: Menjadikan nilai-nilai Qur’ani (seperti kesabaran, keadilan, kasih sayang, dan kejujuran) sebagai bagian tak terpisahkan dari karakter.
- Transformasi Perilaku: Mengubah pemahaman menjadi aksi nyata. Contohnya, setelah merenungkan ayat tentang anak yatim, seseorang tergerak untuk menyantuni mereka secara aktif.
Tujuan Tahap Ini:
- Menjadikan Al-Qur’an Solusi: Menggunakan Al-Qur’an sebagai kerangka berpikir untuk menyelesaikan masalah pribadi, keluarga, dan masyarakat.
- Menghidupkan Al-Qur’an: Menjadi “Al-Qur’an berjalan”, di mana akhlak dan tindakan kita mencerminkan ajaran yang telah dipelajari.
- Mencapai Tujuan Utama Wahyu: Merealisasikan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan), pembeda (furqan), dan rahmat bagi seluruh alam.
Tadabbur adalah ibarat seorang dokter ahli yang tidak hanya hafal buku teks kedokteran, tetapi mampu menggunakan seluruh ilmunya untuk mendiagnosis penyakit seorang pasien secara spesifik dan memberikan resep pengobatan yang paling efektif untuk menyembuhkannya. Pengetahuan telah menjadi kearifan yang aplikatif dan menyelamatkan.
Kritik dan Ajakan
Husnaini mengkritik kebiasaan menjadikan Al-Qur’an sebatas ritual, seperti menyewa orang untuk mengkhatamkan Al-Qur’an tanpa ada interaksi personal. Ia menegaskan bahwa interaksi sejati adalah dengan memahami dan mengamalkannya sendiri.
Sebagai penutup, ia mengajak jemaah untuk terus meningkatkan level interaksi mereka dengan Al-Qur’an, dari sekadar tilawah menuju qiraah, tadarus, dan puncaknya, tadabbur, agar Al-Qur’an benar-benar berfungsi sebagai petunjuk dalam menghadapi tantangan zaman.