Lebih Dari Sekedar Pintar: Adab Menuntut Ilmu

Oleh: Arif Saefudin, S.Ag. (Pimpinan Pengembangan Cabang dan Ranting PCM Blambangan dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara)
Dalam Islam, ilmu (’ilm) memiliki kedudukan yang sangat tinggi, namun ia tidak dapat diraih hanya dengan kecerdasan otak semata. Para ulama terdahulu mengajarkan bahwa ilmu adalah cahaya ilahi (Nūr) yang hanya akan diberikan kepada hati yang suci dan dipancarkan melalui adab yang mulia. Adab dalam menuntut ilmu jauh lebih penting daripada sekadar kecepatan menghafal atau ketajaman berpikir.
Mengutip nasihat para ulama besar seperti Imam Al-Ghazali dan Imam An-Nawawi, artikel ini akan mengupas pilar-pilar adab yang wajib dimiliki oleh setiap penuntut ilmu agar ilmunya berkah dan bermanfaat.
Adab pertama dan terpenting adalah memperbaiki kondisi internal diri, karena ilmu tidak akan singgah di hati yang keruh.
Niat adalah fondasi dari seluruh amalan. Ilmu harus dicari semata-mata untuk meraih keridaan Allah dan beramal, bukan untuk mencari popularitas, kekayaan, atau pujian manusia.
Imam Al-Ghazali dalam Bidāyatul Hidāyah menekankan bahwa jika niat penuntut ilmu adalah untuk mencari kedudukan atau berbangga diri, maka ia telah merusak niatnya. Sebaliknya, ilmu harus dicari untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan orang lain, serta menghidupkan syariat.
Para ulama meyakini bahwa maksiat adalah kegelapan, dan ilmu adalah cahaya. Keduanya tidak akan bersatu dalam satu hati. Maksiat akan mematikan daya ingat dan menghalangi pemahaman.
Kisah terkenal datang dari Imam Asy-Syafi’i. Beliau pernah mengeluh kepada gurunya, Waki’ bin Al-Jarrāh, tentang buruknya hafalan beliau:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي، فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي، وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ، وَنُورُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي
Artinya: “Aku mengeluhkan kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, maka beliau menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”
Pesan ini sangat mendalam: disiplin spiritual (menjaga diri dari dosa) adalah prasyarat utama untuk mendapatkan ilmu yang benar-benar bermanfaat.
Hubungan antara murid dan guru (Syaikh) adalah kunci utama keberkahan ilmu (barakah). Ilmu akan lebih mudah meresap jika disampaikan melalui jalur yang penuh penghormatan.
Murid wajib bersikap rendah hati (tawāḍu’) di hadapan guru, bahkan jika ia merasa lebih pintar dalam bidang lain. Sifat rendah hati ini akan membuka pintu ilmu. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmū’ Syarḥ al-Muhadhdhab menjelaskan bahwa murid harus mendengarkan guru dengan penuh perhatian, tidak memotong pembicaraannya, dan tidak mengajukan pertanyaan yang menunjukkan upaya menguji guru.
Ketaatan dan pelayanan tulus kepada guru adalah tradisi para ulama salaf. Mereka meyakini bahwa pelayanan itu jauh lebih bermanfaat daripada sekadar duduk mendengarkan pelajaran.
Imam Az-Zarnūji dalam Ta’limul Muta’allim menasihati bahwa murid harus berbakti kepada guru, mengurusinya, dan menghormati keluarga guru. Penghormatan ini adalah jalan tercepat untuk mengambil manfaat dari ilmunya.
Murid yang beradab selalu mendoakan gurunya agar diberikan kesehatan, kebaikan, dan keberkahan usia. Doa ini adalah bentuk terima kasih spiritual. Ilmu harus dimuliakan layaknya benda suci, sebagaimana diajarkan oleh ulama. Ilmu tidak didapat dengan bersantai. Murid harus bersungguh-sungguh (jiddiyah), memiliki kesabaran tinggi (ṣabr), dan siap melewati kesulitan dalam waktu yang lama.
لَا يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ بِجِسْمٍ مُتْرَفٍ
Artinya: “Ilmu tidak akan didapatkan oleh tubuh yang bersantai-santai (hidup mewah).”
Nasihat ini menegaskan bahwa penuntut ilmu harus siap meninggalkan zona nyaman, begadang, dan berkorban waktu serta harta untuk menuntut ilmu.
Tujuan akhir menuntut ilmu adalah beramal. Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon tanpa buah. Setelah mengamalkan, tugas selanjutnya adalah menyebarkan ilmu tersebut.
Hadis Nabi SAW menyebutkan:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
Artinya: “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” (HR. Bukhari)
Perintah untuk menyampaikan (mengajarkan) ilmu menuntut murid untuk memiliki tanggung jawab sosial; ilmunya harus bermanfaat bagi umat.
Murid harus menghormati kitab-kitabnya, tidak meletakkannya di lantai, tidak mengotori, dan selalu membacanya dalam keadaan suci jika itu adalah Al-Qur’an atau hadis. Ini adalah bentuk pengagungan terhadap ilmu yang diyakini sebagai warisan para Nabi.
Adab adalah pakaian bagi ilmu. Seorang penuntut ilmu yang cerdas namun minim adab, ilmunya dikhawatirkan akan menjadi bumerang, membawa kesombongan, dan tidak berkah. Sebaliknya, seorang penuntut ilmu yang mungkin biasa saja kecerdasannya, namun memiliki adab yang tinggi, ilmunya akan menjadi berkah, bermanfaat, dan mengalirkan kebaikan bagi dirinya dan masyarakat. Maka, mari kita utamakan adab di atas ilmu, karena dengan adab yang baik, ilmu yang sedikit pun akan membawa manfaat yang besar.