Artikel

Indahnya Rumah Tangga Nabi SAW

Oleh: Tri Wuryanto Susanto, S.P. (Sekretaris PRM Gumiwang dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara)

Rumah tangga Rasulullah SAW adalah baiti jannati (rumahku surgaku) yang sesungguhnya, menjadi sumber inspirasi tak terbatas bagi umat Islam. Beliau, yang merupakan pemimpin negara dan panglima perang, menunjukkan kemuliaan akhlaknya yang paripurna justru di tempat yang paling intim: di tengah keluarganya.

Indahnya rumah tangga Nabi SAW dirangkum dalam sabda beliau sendiri:

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR. At-Tirmidzi)

Berikut adalah beberapa pilar utama yang menjadikan rumah tangga Nabi SAW sebagai teladan keindahan dan keberkahan:

Kebaikan yang dimulai dari dalam rumah
Rasulullah SAW menetapkan standar tertinggi bagi seorang suami. Bagi beliau, kebaikan seseorang tidak diukur dari jabatan atau kekuasaan di luar rumah, melainkan dari cara dia memperlakukan pasangannya. Meski memiliki kedudukan mulia, Nabi SAW tidak pernah merasa tinggi hati untuk membantu istrinya.

Ketika Sayyidah Aisyah RA ditanya tentang apa yang Nabi SAW lakukan di rumah, beliau menjawab: “Beliau ikut membantu melaksanakan pekerjaan keluarganya. Beliau menambal sandalnya sendiri, menjahit bajunya, dan memerah susu kambing.” (HR. Bukhari).

Sikap ini mengajarkan kepada kita bahwa membantu pasangan di rumah bukanlah merendahkan martabat, melainkan bentuk ibadah dan kemuliaan seorang suami.

Romantisme dan kelembutan yang mendidik
Hubungan Nabi SAW dengan istri-istri beliau dipenuhi dengan kelembutan, canda, dan panggilan mesra, membantah anggapan bahwa agama membatasi kasih sayang. Nabi SAW memiliki panggilan sayang untuk Aisyah RA, yaitu “Ya Humaira’” (Wahai yang pipinya kemerah-merahan), sebagai bentuk pujian atas kecantikannya.

Beliau juga sering meluangkan waktu untuk bergurau, seperti berlomba lari: Beliau pernah berlomba lari dengan Aisyah RA di padang pasir. Aisyah pernah menang, dan di lain waktu Rasulullah SAW menang, sambil bersabda: “Ini balasan untuk kemenangan yang lalu!” (HR. Abu Dawud). Ini menunjukkan beliau menghargai permainan dan menghibur pasangannya.

Beliau dan istri-istri beliau biasa mandi dari satu bejana yang sama, menunjukkan tingkat kedekatan dan keintiman yang luar biasa.
Dalam sejarah hidup beliau, tidak pernah tercatat beliau memukul seorang pun dari istrinya, bahkan saat terjadi konflik rumah tangga. Aisyah RA bersaksi: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul istrinya meskipun hanya sekali.” (HR. Muslim).

Ini adalah teladan nyata bahwa kekuatan seorang pemimpin terletak pada kelembutan dan pengendalian diri, bukan pada kekerasan.
Keadilan dan kebijaksanaan. Rumah tangga Nabi SAW sebagai manusia biasa tidak luput dari konflik dan cemburu di antara para istri. Namun, beliau selalu menyelesaikannya dengan keadilan dan kebijaksanaan sempurna.
Meskipun beristri lebih dari satu, beliau berusaha seadil mungkin dalam pembagian waktu dan giliran, sambil mengajarkan bahwa adil dalam cinta adalah hal yang berada di luar kuasa manusia. Beliau berdoa: “Ya Allah, inilah pembagian yang aku mampu terhadap apa yang aku miliki. Maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau miliki dan aku tidak memilikinya (yaitu urusan hati).” (HR. Abu Dawud).

Saat terjadi pertengkaran atau kecemburuan di antara istri-istri beliau, beliau menghadapinya dengan diam, memberi waktu untuk berpikir, atau bahkan memilih uzlah (memisahkan diri sementara) di masjid, bukan dengan marah-marah atau membalas.

Ketika istri-istri beliau pernah meminta tambahan nafkah (dunia), Rasulullah SAW menanggapi dengan turunnya QS. Al-Ahzab [33]: 28-29 (Ayat Takhkyir / Memilih), yang memberi pilihan kepada mereka untuk tetap bersama Nabi SAW dalam kesederhanaan, atau memilih jalan hidup yang lain. Semua istri beliau memilih Allah dan Rasul-Nya, menunjukkan kemuliaan pilihan mereka dan keagungan bimbingan beliau.

Bahwa indahnya rumah tangga Nabi SAW mengajarkan kita bahwa pondasi keharmonisan adalah akhlak mulia. Seorang suami harus menjadi pemimpin yang melayani, pasangan yang romantis dan menjadi guru spiritual dengan senantiasa mengajak pasangan meraih surga bersama, bukan hanya mengejar dunia.

Dengan meneladani beliau, kita berharap dapat mewujudkan rumah tangga yang tidak hanya damai di dunia, tetapi juga berkumpul kembali di Jannah-Nya.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button