Artikel

Hidup di Dunia Hanya Sekali

Tulisan Pertama dari Refleksi dari Buku Pelajaran Hidup dari KH. Ahmad Dahlan

Hidup di Dunia Hanya Sekali[1]

(Tulisan Pertama, dari Tujuh Tulisan selanjutnya )

#Tulisan Pertama

Oleh: Alvin Qodri Lazuardy

Dalam perjalanan hidup manusia, ada pertanyaan mendasar yang seharusnya selalu menyertai: untuk apa hidup ini dijalani, dan ke mana akhirnya akan bermuara? Pertanyaan ini tak sekadar filosofis, melainkan spiritual dan eksistensial. KH Ahmad Dahlan, seorang ulama dan pembaru pemikiran Islam Indonesia, pernah menyampaikan pernyataan yang begitu mendalam dan menggugah hati:

Kita, manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh: sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraankah?

Kalimat ini adalah refleksi tajam yang mengajak manusia untuk merenungkan arti hidup secara mendalam. Dalam pandangan beliau, hidup ini adalah kesempatan satu-satunya yang diberikan Allah kepada manusia untuk menentukan nasibnya kelak di akhirat. Maka, pertaruhannya bukan kecil: bahagia atau sengsara selama-lamanya.

Kemudian KH Ahmad Dahlan berfatwa:

Manusia itu semuanya mati (mati perasaannya) kecuali para ulama, yaitu orang-orang yang berilmu. Dan ulama-ulama itu dalam kebingungan, kecuali mereka yang beramal. Dan mereka yang beramal pun semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas atau bersih.

Kutipan ini menegaskan bahwa tidak cukup hanya menjadi berilmu. Ilmu yang tidak diiringi dengan amal adalah kegelisahan. Dan amal yang tidak dilandasi dengan keikhlasan adalah kekhawatiran. Maka, jalan keselamatan ada pada kesatuan antara ilmu, amal, dan keikhlasan. Inilah jalan para nabi dan orang-orang shaleh.

Namun, realitas menunjukkan hal yang berbeda. Kebanyakan manusia tenggelam dalam rutinitas dunia hingga melupakan tujuan hidup yang hakiki. Setiap individu seolah hidup dalam kepentingan masing-masing, dipenuhi oleh keasyikan akan kesenangan atau duka duniawi. Mereka sibuk merasakan apa yang melingkupi dirinya saat ini, sehingga lalai memikirkan nasibnya di kemudian hari. Akibatnya, banyak di antara mereka yang mati perasaannya—tak mampu lagi merenungi bahwa suatu saat akan meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat.

Ada sebuah perumpamaan yang menggambarkan dengan tajam kelalaian manusia dalam menyikapi hidup. Dikisahkan, ada seorang yang berdiri di atas pagar sebuah sumur. Tanah di bawahnya telah runtuh, dan di dalam sumur itu ada seekor ular besar yang mengancam. Ia berpegangan pada tali timba yang sudah tua dan hampir putus karena digerogoti tikus. Namun, orang itu justru menengadah, menjilati madu yang menetes dari atas, menikmati manisnya, dan lupa pada bahaya yang mengintai. Ia tidak menyadari bahwa tali itu sebentar lagi akan putus, dan ia akan jatuh ke dalam sumur dan menjadi santapan ular.

Beginilah kehidupan dunia. Banyak manusia hanya tertarik menikmati “madu” yang sementara—kenikmatan sesaat dari dunia—dan lupa bahwa waktu terus berjalan, umur semakin berkurang, dan kematian makin mendekat. Bahaya besar yang mengintai—yakni azab akhirat—diabaikan, sementara kenikmatan dunia dipeluk erat.

Dalam menyikapi hidup dan mati, manusia terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang menolak ajaran agama atau belum mendapatkan cahaya petunjuk. Mereka beranggapan bahwa setelah mati, manusia hanya akan menjadi tanah. Tidak ada kehidupan setelah itu, tidak ada pengadilan, dan tidak ada balasan. Maka, tidak ada urgensi untuk mempersiapkan diri menghadapi akhirat.

Kelompok kedua adalah mereka yang meyakini ajaran para nabi, terutama Nabi Muhammad Saw. Dalam ajaran Islam, manusia diciptakan dari asal-usul yang jelas dan akan kembali kepada Tuhannya untuk dimintai pertanggungjawaban. Setiap amal perbuatan akan dihisab, dan akan ada ganjaran atau siksa sebagai balasannya. Jika seseorang keliru dalam hidupnya—salah dalam kepercayaan dan tindakannya—maka sesudah mati ia akan menyesal dalam penderitaan yang abadi.

KH Ahmad Dahlan kembali berfatwa:

Kita, manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh: sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraankah?

Hidup ini adalah satu kali kesempatan yang tidak dapat diulang. Karenanya, kita dituntut untuk menggunakan hidup ini dengan penuh kesadaran, penuh tanggung jawab, dan tidak tertipu oleh gemerlap dunia. Taruhannya sangat besar: keselamatan abadi atau kesengsaraan abadi.

Hidup yang hanya sekali ini bukan untuk disia-siakan. Ia harus diisi dengan pencarian ilmu, amal yang nyata, dan keikhlasan hati. Jangan sampai kita salah bertaruh. Sebab, jika keliru dalam hidup yang hanya sekali ini, tidak akan ada kesempatan kedua. Yang ada hanyalah penyesalan yang tak berujung di akhirat kelak.

[1] Refleksi dari Buku Pelajaran Hidup dari KH. Ahmad Dahlan Tulisan Pertama dari Tujuh Tulisan selanjutnya.

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button