AqidahIbadahMu'amalahTuntunan

Menapaki Jalan Hidup Islam Tadabbur al-Fatihah

Tafsir At-Tanwir

Sumber Gambar: https://bqmi.kemenag.go.id/koleksi/p/mushaf-al-quran-12

Menapaki Jalan Hidup Islami dalam Tadabbur al-Fatihah

Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd/ Majelis Tabligh PWM Jateng, Penulis Buku Menafsir Muhammadiyah

Dalam kehidupan seorang Muslim, tidak cukup hanya berjalan mengikuti arus dunia. Ia harus memiliki pandangan hidup yang kokoh dan jalan hidup yang terang. Dua hal ini merupakan fondasi utama dalam merumuskan arah hidup yang bukan hanya benar menurut akal, tetapi juga sesuai dengan kehendak Ilahi. Alquran sebagai petunjuk hidup umat Islam telah memberikan pedoman ini secara jelas. Dan salah satu surat paling utama yang menjadi panduan mendasar tentang orientasi hidup tersebut adalah Surat al-Fatihah.

Al-Fatihah bukan sekadar bacaan pembuka dalam sholat. Ia adalah inti dari seluruh pesan Alquran. Seorang Muslim membaca surat ini minimal 17 kali dalam sehari. Namun, seberapa sering surat ini direnungi secara mendalam? Tafsir At-Tanwir menyajikan pandangan mendalam tentang bagaimana al-Fatihah mengajarkan manusia untuk menyusun cara pandang dan jalan hidup yang lurus, berorientasi pada Allah semata.

Pandangan Hidup yang Tauhidik

Ayat pertama, Bismillahirrahmanirrahim, bukan hanya kalimat pembuka yang biasa. Ia adalah fondasi yang menegaskan bahwa setiap langkah harus dilandasi dengan nama Allah, Sang Maha Pengasih dan Penyayang. Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pandangan hidup yang dimulai dari kesadaran spiritual: bahwa hidup ini bukan milik kita, tetapi amanah dari Sang Khalik.

Lanjut ke ayat Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, kita diajak merenungi hakikat alam semesta yang teratur, bukan terjadi secara kebetulan. Ini adalah penolakan terhadap teori chaos dan evolusi kebetulan. Pandangan hidup seorang Muslim harus menyadari bahwa segala ciptaan ada dalam pengaturan Rabb, dan karena itu seluruh makhluk wajib bersyukur kepada-Nya. Tak sekadar menciptakan, Allah juga memelihara dan menetapkan akhir dari segala sesuatu.

Pandangan hidup dalam Islam tidak bersifat irasional. Ia bisa dijangkau oleh akal, namun sebagian dimensi hidup tetap berada di wilayah supra-rasional—sesuatu yang tak terjangkau oleh pengalaman empiris manusia, tetapi diterima karena datang dari sumber wahyu yang terpercaya.

Jalan Hidup Seorang Muslim

Setelah pandangan hidup dibangun, Al-Fatihah kemudian mengarahkan pada jalan hidup: Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan). Kalimat ini bukan hanya ekspresi ibadah, tetapi peneguhan bahwa hidup seorang Muslim adalah perjalanan ibadah—baik yang bersifat ritual maupun sosial. Semua bentuk aktivitas hidup haruslah berujung pada bentuk pengabdian kepada Allah.

Doa berikutnya, Ihdinash shiratal mustaqim, adalah inti permohonan agar jalan yang kita tempuh adalah jalan para Nabi, para pencinta kebenaran, para syuhada, dan orang-orang saleh. Jalan hidup yang tak tersesat dan tidak dimurkai. Ini memperkuat bahwa jalan hidup seorang Muslim bukan bebas nilai, tetapi memiliki arah dan teladan yang telah ditetapkan dalam sejarah kenabian.

Kematian: Akhir Sekaligus Awal

Arah hidup seorang Muslim tidak berhenti di dunia. Sebab hidup ini adalah perjalanan menuju akhirat. Allah menegaskan dalam ayat Maliki yaumiddin—bahwa Allah adalah Raja di Hari Pembalasan. Ini bukan sekadar dogma eskatologis, tetapi peringatan bahwa setiap amal akan dipertanggungjawabkan. Maka jalan hidup kita harus mempertimbangkan orientasi akhir ini.

Refleksi paling dalam atas arah hidup seorang Muslim bisa ditemukan dalam QS. al-Fajr ayat 27–30. Saat Allah menyeru, “Hai jiwa yang tenang (nafsul muthmainnah), kembalilah kepada Tuhanmu…”—ini adalah puncak dari seluruh perjalanan hidup manusia. Kehidupan yang selama ini dijalani dengan pandangan hidup yang benar dan jalan hidup yang lurus, akan berakhir dalam panggilan penuh kasih untuk kembali kepada Sang Pencipta.

Dari Allah, Untuk Allah, dan Kembali kepada Allah

Semua ini kembali merujuk pada prinsip dasar dalam kalimat istirja’: Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun. Bahwa manusia berasal dari Allah, hidup untuk Allah, dan kelak akan kembali kepada-Nya. Inilah poros utama dalam dakwah Islam: mengingatkan umat bahwa hidup tidak berhenti di dunia, dan bahwa kebahagiaan sejati hanya akan diraih jika orientasi hidup selaras dengan nilai-nilai Ilahiah.

Karena itu, dakwah hari ini perlu mengembalikan umat kepada makna hidup yang hakiki. Bahwa Islam bukan hanya identitas, tetapi cara pandang dan jalan hidup yang menyeluruh. Dan al-Fatihah, sebagai induk dari kitab suci ini, telah mengajarkan semuanya dengan ringkas namun padat makna.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Check Also
Close
Back to top button