
Pendahuluan
Ummul Mukminin Aisyah -raḍiyallāhu ‘anhā- berkata,
“Tidaklah Rasulullah ﷺ diberi dua pilihan kecuali beliau pasti memilih yang paling mudah, selama tidak merupakan dosa. Jika yang mudah itu dosa, beliau pasti orang yang paling jauh darinya. Rasulullah ﷺ tidak pernah melakukan pembalasan untuk dirinya kecuali kalau sesuatu yang diharamkan oleh Allah dilanggar, maka beliau membalasnya karena Allah Ta’ala.”
(Muttafaq ‘alaihi)
Berdasar hadis di atas, memilih kemudahan termasuk dalam beragama merupakan sunnah Nabi SAW dan juga selaras dengan tuntunan Alquran, di mana Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Namun perlu dibedakan antara mencari kemudahan dengan mencari yang mudah-mudah, tentu beda.
Dalam dinamika kehidupan umat Islam yang semakin kompleks, pendekatan fikih yang berorientasi pada kemudahan (taisir) menjadi semakin relevan dan mendesak. Fikih taisir bukanlah bentuk pelonggaran hukum secara serampangan, melainkan refleksi dari prinsip-prinsip maqāṣid al-syarī‘ah yang menempatkan kemaslahatan, keringanan, dan keadilan sebagai poros utama. Dalam konteks ini, taisir menjadi jembatan antara teks dan realitas, antara idealitas hukum dan keterbatasan manusia.
Adanya berbagai kemudahan dalam ajaran Islam ini agar memastikan umat Islam dapat menjalankan agama tanpa susah payah dalam dimensi ruang dan waktu, dan mendorong agar rajin menjalankan agama, lantaran bisa dilakukan dengan mudah dan tanpa kesulitan. Sebaliknya jika umat merasa terlalu berat dan membebani, di samping menyusahkan dan menyulitkan juga bisa-bisa ajaran itu dijauhi dan “kapok” untuk melakukan kembali.
Ada ditemukan di suatu tempat, akad nikah terpakasa diulang-ulang karena pengantinyya keliru mengucapkan qabul karena terburu-buru dan juga grogi, namun usut punya usut ternyata alasannya bukan hanya itu. Ia terburu-buru sehingga bisa keliru karena ada paham kalau ijab kabul harus dilakukan dalam satu tarikan nafas. Jika sampai bernafas lagi maka akadnya tidak sah. Ada juga orang salat baca ushalli dengan agak keras dan diulang-ulang sampai imam mau rukuk, karena punya keyakinan niat harus bareng dengan takbiratul ihram tidak boleh mendahului atau terlambat. Sehingga ia dihantui keraguan dan takut niatnya tidak sah. Ini adalah sebagian kecil fikih yang tidak berorientasi semangat at-taisir.
Landasan normatif dan Konseptual
Beberapa ayat dan hadis mengajak untuk menempuh kemudahan dalam beragama seperti mislanya ditunjukkan dalam ayat :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [Al Hajj/22:78].
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [Al Baqarah/2:185].
Rasulullah SAW juga menegaskan :
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ
Sesungguhnya agama ini sangat mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah. [HR Al Bukhari].
Fikih taisir berakar dari sejumlah prinsip ushul fikih dan kaidah-kaidah hukum Islam yang telah mapan, seperti:
Al-masyaqqah tajlibu al-taysīr (kesulitan mendatangkan kemudahan)
Lā ḥaraj fī al-dīn (tidak ada kesulitan dalam agama)
Al-ḍarūrāt tubīḥu al-maḥẓūrāt (kondisi darurat membolehkan yang terlarang)
Yurā‘ā fī al-fatwā al-zamān wa al-makān wa al-ḥāl (fatwa mempertimbangkan waktu, tempat, dan kondisi)
Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang rigid, melainkan agama yang adaptif terhadap perubahan sosial, geografis, dan psikologis umatnya.
Praktik dan Manifestasi
Fikih taisir telah diaplikasikan dalam berbagai bidang kehidupan, antara lain:
Ibadah: Keringanan dalam tayammum bagi yang tidak menemukan air, jamak dan qashar dalam perjalanan, serta rukhsah bagi orang sakit atau lanjut usia.
Muamalah: Kemudahan dalam akad-akad kontemporer seperti leasing, fintech syariah, dan akad hybrid yang menggabungkan beberapa bentuk transaksi.
Fatwa Global: Majelis Ulama dan lembaga fatwa internasional seperti European Council for Fatwa and Research (ECFR) sering mengeluarkan fatwa berbasis taisir untuk komunitas Muslim minoritas di Barat.
Taisir dalam Konteks Kontemporer
Dalam era digital, urbanisasi, dan globalisasi, fikih taisir menjadi instrumen penting untuk menjawab tantangan baru. Misalnya:
Digitalisasi Ibadah: Penggunaan aplikasi penentu arah kiblat, jadwal salat, dan zakat online.
Kesehatan dan Pandemi: Fatwa tentang salat berjamaah di rumah, penggunaan masker saat salat, dan vaksinasi halal.
Kritik dan Kehati-hatian
Meski membawa kemudahan, fikih taisir tidak lepas dari kritik. Sebagian menganggapnya sebagai bentuk liberalisasi hukum Islam. Oleh karena itu, pendekatan taisir harus tetap berpijak pada metodologi yang sahih, otoritas keilmuan, dan pertimbangan maslahat yang terukur. Taisir bukan berarti mengabaikan hukum, melainkan mengaktualisasikannya secara relevan dan manusiawi.
Penutup
Fikih taisir adalah manifestasi dari rahmat Islam yang senantiasa menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan kemampuan umat. Ia bukan sekadar metode, tetapi juga etos keilmuan yang mengedepankan kemudahan tanpa mengorbankan prinsip. Dalam dunia yang terus berubah, fikih taisir menjadi jalan tengah antara ketegasan hukum dan kelembutan realitas, antara idealisme teks dan dinamika konteks.


