Wakaf sebagai Investasi Abadi di Jalan Ilahi

Oleh: Tri Wuryanto Susanto, S.P.
(Sekretaris PRM Gumiwang dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara)
Dalam ajaran Islam, harta bukan sekadar alat pemuas kebutuhan duniawi, melainkan juga jembatan menuju kebahagiaan abadi. Salah satu bentuk investasi terbaik yang menghubungkan kita dengan kebaikan tak terputus setelah kematian adalah wakaf. Secara bahasa, wakaf berarti menahan atau berhenti. Dalam terminologi syariat, wakaf adalah menahan harta yang pokoknya (zatnya) tetap ada dan kekal, lalu menyalurkan manfaatnya untuk kepentingan umum atau kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Wakaf berbeda dengan sedekah biasa yang habis sekali pakai. Harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Ia dibekukan kepemilikannya (menjadi milik Allah), dan hanya hasilnya yang dimanfaatkan. Inilah yang menjadikannya sebagai Shadaqah Jariyah (sedekah yang terus mengalir pahalanya).
Meskipun kata wakaf tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, para ulama sepakat bahwa banyak ayat yang menjadi landasan umum bagi pensyariatan wakaf, karena wakaf adalah bentuk amal kebaikan (al-khair) dan infak di jalan Allah (fī sabīlillāh).
Salah satu ayat yang menjadi dalil kuat anjuran berwakaf adalah firman Allah SWT dalam Surah Ali ‘Imran ayat 92:
لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 92)
Ayat ini mendorong umat Islam untuk menginfakkan harta terbaik yang mereka cintai. Wakaf, yang seringkali berasal dari harta terbaik (seperti kebun, tanah, atau bangunan strategis), adalah manifestasi nyata dari pelaksanaan ayat ini, demi mencapai al-Birr (kebajikan/kebaikan yang paripurna).
Landasan utama wakaf secara khusus terdapat dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Hadis yang paling terkenal berkaitan dengan amal jariyah (yang termasuk di dalamnya wakaf) adalah:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Artinya: “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalnya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim, No. 1631)
Para ulama sepakat bahwa Sedekah Jariyah dalam hadis ini merujuk kepada wakaf. Harta wakaf adalah modal yang tidak habis dan terus menghasilkan manfaat, sehingga pahalanya terus mengalir kepada wakif (orang yang berwakaf) meski ia telah meninggal dunia.
Dalil yang secara sharih (jelas) menjelaskan praktik wakaf adalah hadis tentang wakaf yang dilakukan oleh Sahabat Umar bin Khattab RA:
أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا، فَتَصَدَّقَ عُمَرُ، أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ…
Artinya: “Umar mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia mendatangi Nabi SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang aku belum pernah mendapatkan harta yang lebih aku sukai darinya. Apa yang engkau perintahkan kepadaku mengenainya?’ Beliau bersabda: ‘Jika engkau mau, engkau tahan pokoknya dan engkau sedekahkan hasilnya (manfaatnya).’ Lalu Umar menyedekahkan (mewakafkan) tanah itu dengan syarat pokoknya tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan…” (HR. Bukhari, No. 2772 dan Muslim, No. 1632)
Hadis ini adalah dalil fundamental wakaf. Pokok harta (tanah) ditahan, sementara hasilnya disalurkan untuk kepentingan sosial, seperti yang dilakukan Umar RA yang menyalurkannya kepada fakir miskin, kerabat, budak, dan ibnu sabil.
Secara umum, mayoritas ulama (jumhur fuqahā’) dari berbagai mazhab (Syafi’i, Maliki, Hambali) bersepakat tentang keabsahan dan keutamaan wakaf. Mereka mendefinisikan wakaf adalah menahan harta benda yang mungkin diambil manfaatnya, dengan tetap menjaga kelestarian zatnya, dan menyalurkan manfaat tersebut kepada pihak yang dibenarkan syariat sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah SWT).
Perkembangan fiqih kontemporer menunjukkan perluasan pemahaman wakaf, terutama mengenai objeknya. Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal (Hambali), awalnya berpendapat bahwa objek wakaf haruslah harta yang tetap (tsābit) dan tidak bergerak (seperti tanah, bangunan) agar zatnya lestari dan manfaatnya terus mengalir.
Sedangkan Imam Abu Hanifah (Hanafi) dan Imam Malik (Maliki) memberikan kelonggaran. Mazhab Hanafi, khususnya melalui pendapat ulama mutaqaddimīn mereka, dan sejalan dengan fatwa Imam Az-Zuhri (seorang tabi’in terkemuka, w. 124 H), membolehkan Wakaf Uang (Tunai). Uang tersebut dijadikan modal usaha (mudhārabah), dan keuntungannya disalurkan sebagai manfaat wakaf.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui fatwa terbarunya, menegaskan bahwa Wakaf Uang hukumnya jawāz (boleh). Para pakar hukum Islam dan ekonomi syariah kontemporer, seperti Prof. Dr. Didin Hafidhuddin dan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, mendukung Wakaf Uang karena melihat besarnya potensi dan kemaslahatan umat yang bisa dicapai melalui model ini.
Dengan Wakaf Uang, masyarakat dengan dana terbatas tetap bisa berpartisipasi, dan aset wakaf menjadi lebih fleksibel untuk diinvestasikan dan dikembangkan, menghasilkan manfaat yang lebih luas dan berkelanjutan (misalnya, untuk modal usaha mikro, beasiswa, atau pembangunan sarana kesehatan).
Wakaf memiliki peran sentral dalam membangun peradaban dan kesejahteraan umat, baik secara individu maupun kolektif. Diantaranya menjadi penjamin amalan yang terus mengalir setelah kematian. Selain itu, hasil wakaf (misalnya dari produktivitas tanah atau investasi dana) disalurkan untuk kemaslahatan sosial, membantu fakir miskin, anak yatim, dan kebutuhan umum lainnya.
Sejak zaman Nabi, wakaf telah digunakan untuk membangun masjid, sekolah, rumah sakit, sumur, dan sarana publik lainnya yang menopang kehidupan umat. Wakaf juga dapat dialokasikan untuk membiayai pondok pesantren, madrasah, dan kegiatan dakwah, menjaga keberlangsungan ilmu syar’i.
Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah perintah kebaikan yang termuat dalam Al-Qur’an dan dicontohkan secara jelas oleh Rasulullah SAW serta para sahabat. Di era modern ini, praktik wakaf semakin bervariasi. Tidak hanya tanah dan bangunan, kini kita juga mengenal wakaf uang, wakaf saham, atau wakaf hak kekayaan intelektual (HKI).
Dengan kemudahan berwakaf di zaman sekarang, marilah kita jadikan diri kita bagian dari investasi abadi ini. Mulailah dari yang termudah dan yang paling kita cintai, sebagaimana tuntunan Ilahi. Menahan harta pokok untuk selama-lamanya demi mengalirkan manfaat yang tak berkesudahan adalah bentuk ketaatan tertinggi dan persiapan terbaik untuk kehidupan akhirat. Wakaf bukan mengurangi harta, melainkan melipatgandakan keberkahan harta kita di dunia dan akhirat.




