Artikel

Tanggungjawab Seorang Suami

Oleh: Mu`abas

(Anggota MT PCM Sigaluh dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara)

Pernikahan dalam Islam bukan hanya ikatan biologis atau kontrak sosial, melainkan sebuah “mitsaqan ghalizhan” (perjanjian yang kuat) yang disaksikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Di dalam ikatan suci ini, seorang suami mengemban peran sentral: pemimpin (Qawwam). Tanggung jawab ini bukanlah hak untuk mendominasi, melainkan amanah besar yang menuntut pengorbanan, kearifan, dan bimbingan. Melaksanakan tanggung jawab suami dengan benar adalah salah satu jalan terbaik untuk menguatkan keimanan, karena seluruh amal dalam rumah tangga tercatat sebagai ibadah yang pahalanya berkelanjutan.

Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan suami sebagai pemimpin keluarga dengan tanggung jawab yang jelas. Kepemimpinan ini didasarkan pada dua pilar: keunggulan alami yang diberikan Allah, dan kewajiban menafkahi secara materi. Alah SWT berfirman dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 34):

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Artinya: “Laki-laki (suami) adalah pemimpin (qawwamun) bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Ayat ini menegaskan bahwa kepemimpinan suami terikat pada kewajiban memberi nafkah. Artinya, suami memimpin bukan karena superioritas ego, melainkan karena tugasnya dalam menopang kebutuhan lahiriah dan spiritual keluarga. Menunaikan nafkah (memberi yang halal dan terbaik) adalah jihad yang secara langsung menguatkan keimanan.

Tanggung jawab suami dapat dikelompokkan menjadi tiga dimensi utama yang semuanya berperan sebagai penguat iman:

Tanggungajwab Materi dan Fisik

Suami wajib memastikan kebutuhan dasar keluarga terpenuhi dengan baik dan halal. Memberi nafkah ini adalah sedekah terbaik. Nabi SAW bersabda:

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

Artinya: “Satu dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau berikan kepada seorang hamba sahaya, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu. Yang paling besar pahalanya adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim).

Mengutamakan nafkah keluarga di atas sedekah untuk orang lain menunjukkan bahwa menjalankan tanggung jawab rumah tangga adalah ibadah wajib yang pahalanya paling utama. Kesadaran ini memotivasi suami untuk bekerja dengan jujur dan menjauhi yang haram, sehingga memperkuat iman.

Tanggungjawab Spiritual dan Pendidikan

Tanggung jawab suami tidak berhenti pada urusan perut, tetapi yang terpenting adalah urusan akhirat. Suami adalah imam dalam rumah tangga, bertanggung jawab membimbing istri dan anak-anak menuju ketaatan.

Dalil Al-Qur’an (QS. At-Tahrim: 6):

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”

Menjaga keluarga dari api neraka dilakukan dengan pendidikan agama yang konsisten: mengajarkan salat, mengenalkan Al-Qur’an, menanamkan akhlak mulia, dan menjadi teladan hidup dalam ketaatan. Menjadi teladan yang baik bagi keluarga adalah latihan jiwa yang intensif bagi suami untuk terus menjaga keimanan dan konsistensinya.

Tanggungjawab Emosional dan Sosial

Suami wajib memperlakukan istri dengan baik, penuh kasih sayang, dan adil (Mu’asyarah bil Ma’ruf). Rumah harus menjadi tempat sakinah (ketenangan) dan mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang). Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 19):

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Artinya: “…Dan pergaulilah mereka (istri-istri) dengan cara yang patut (ma’ruf). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Tanggung jawab ini menuntut kesabaran dan pembinaan diri (mujahadah) dari suami. Kesabaran menghadapi kekurangan pasangan dan menjaga lisan dari perkataan buruk adalah bukti nyata dari keimanan yang matang. Rasulullah sendiri bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian kepada istriku.”

Menjadi suami yang bertanggung jawab adalah jalan tol menuju keimanan yang kokoh. Setiap nafkah yang dikeluarkan, setiap pelajaran yang diberikan, setiap kesabaran yang ditunjukkan, dan setiap kelembutan yang diucapkan, adalah rantai amal saleh yang terus-menerus memupuk keimanan.

Seorang suami yang sadar akan amanahnya akan senantiasa termotivasi untuk memperbaiki diri. Ia tahu bahwa kepemimpinannya adalah ujian, dan keberhasilannya di dunia dan akhirat sangat bergantung pada kemampuannya membimbing perahu rumah tangga menuju ridha Allah. Semoga kita dijadikan suami-suami yang mampu menjalankan amanah ini dengan Ihsan, sehingga keluarga kita menjadi sumber ketenangan dan penguat keimanan yang tak pernah padam.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button