Artikel

Melakukan Atau Mendirikan Sholat?

Masyhuda Darussalam,M.Pd (PRM Gunungpring)

Pada artikel yang pernah kita sampaikan bahwa untuk merawat Taqwa itu yang pertama percaya kepada yang gaib, dengan seluruh perwujudannya. Kemudian yang kedua orang-orang yang senantiasa mendirikan salat.Mari kita merenungkan selama ini kita sudah termasuk orang yang mendirikan salat atau baru melakukan salat.

Ada bedanya, kalau orang yang baru melakukan salat itu belum berdampak bagi perubahan kepribadiannya. Tetapi kalau sudah berdampak artinya kehidupan kita berubah menjadi lebih baik. Insyaallah itulah yang disebut dengan orang yang mendirikan salat.
Jadi misalnya ketika salat itu secara kaifiyah sudah baik bahkan nilainya sempurna, tetapi ketika belum berdampak bagi kehidupannya yaitu baru namanya melaksanakan salat.

Selanjutnya yang bisa kita jadikan indikator supaya kita itu termasuk golongan yang sudah mendirikan salat sekurang-kurangnya ada 3. Pertama senantiasa ingat kepada Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Thaha ayat 15 :

اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

Artinya : Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku.
Ingat Allah itu bukan hanya ketika salat saja justru dilanjutkan dalam kehidupan sehari-hari di luar kegiatan ibadah, salatnya itu senantiasa ingat Allah. Sekarang wujud orang yang senantiasa ingat Allah itu adalah sekurang-kurangnya yang pertama adalah hidupnya selalu berhati-hati. Karena kita terus diawasi oleh Allah, dan Allah itu tidak pernah tidur sehingga tidak ada jeda dalam mengawasi kita. Kalau kita itu diawasi pimpinan saja kita itu tidak berani melawan. Apalagi yang mengawasi itu Allah, kalau sampai berani melawan itu ampuh banget. Jadi yang pertama orang yang selalu ingat Allah itu selalu berhati-hati.

Kemudian yang kedua percaya diri, karena punya Allah. Jadi menghadapi persoalan serumit apapun tetap percaya diri, punya optimisme yang tinggi karena punya perlindungan dari Allah. Kita mempunyai lindungan dari Allah itu senantiasa membuat percaya diri dan optimis. Selanjutnya yang ketiga orang yang selalu ingat Allah itu rendah hati. Rendah hati selalu kita ungkapkan dimanapun, karena itu perkara yang sangat penting dan perkara yang terus harus kita perjuangkan.

Orang itu kalau rendah hati kemuliaannya akan terpelihara. Karena ketika kita mendapatkan keberhasilan tidak mungkin terjadi kalau Allah tidak menghendaki. Maka, orang yang senantiasa ingat Allah adalah orang yang rendah hati. Kemudian tanda orang yang disebut mendirikan salat adalah tidak berani berbuat maksiat setelah salat.

Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al Ankabut Ayat 45 :

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

Artinya : Bacalah (Nabi Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Apabila kita menghayati, sesungguhnya kita dengan salat lima waktu saja sudah diberi benteng yang kuat untuk tidak berbuat maksiat. Misalnya pada jam 10 siang punya niat untuk berbuat maksiat, ingat baru saja salat subuh dan seterusnya. Maka, apalagi kita itu salatnya ditambahi salat sunnah, salat dhuha, salat rawatib, salat tahajud, semakin banyak yang mengendalikan kita sehingga semakin jauh dari perbuatan maksiat. Maka kalau ada orang sudah salat tetapi masih nekat berbuat maksiat itu namanya orang yang ampuh di hadapan Allah.

Kemudian yang ketiga orang yang disebut mendirikan salat itu ketika sudah tidak pelit. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-ma’arij ayat 19-23 :

اِنَّ الْاِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًاۙ
اِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًاۙ
وَّاِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًاۙ
اِلَّا الْمُصَلِّيْنَۙ

Artinya : Sesungguhnya manusia diciptakan dengan sifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa keburukan (kesusahan), ia berkeluh kesah. Apabila mendapat kebaikan (harta), ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan salat.

Maksud dari ayat tersebut artinya orang yang sudah salat itu pasti dia tidak pelit atau kikir untuk mendharma bhaktikan kepada orang lain. Kita ketahui yang disebut Allah ini berurutan, bisa menjadi prasyarat kalau orang itu bisa mewujudkan apa yang kita sampaikan terkait perwujudan dari mendirikan salat itu hanya bisa dilakukan ketika kita sudah percaya kepada yang ghaib.

Kalau kita percaya kepada yang ghaib kita bisa mendirikan salat dengan indikator seperti yang sudah kita sampaikan. Maka kita bisa masuk ke tahap yang ketiga yaitu orang-orang yang menginfakkan menafkahkan sebagian dari rezeki yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Rezeki itu adalah pemberian Allah baik melalui usaha maupun tidak melalui usaha baik yang bersifat material maupun yang non material yang bermanfaat. Sehingga kalau kita itu mendapatkan anugerah dari Allah tetapi tidak bermanfaat, maka itu bukan rezeki namanya.

Contoh, uang itu bagi ahli waris rezeki tapi bagi pewaris bukan rezeki karena pewaris sudah mati sudah tidak bisa menggunakan uang. Maka itu menjadi bukan rezeki, kemudian makna selanjutnya adalah agar rezeki kita itu memberikan rezeki bagi lainnya. Jadi ada kemanfaatannya bagi orang lain supaya anugerah Allah itu berputar bermanfaat tidak berhenti. Bentuk memberikan rezeki itu bisa dengan transaksi hutang piutang.

Hutang piutang itu tetap bagian dari jalur untuk rezeki kita memberikan rezeki. Sehingga orang yang punya kelebihan dana itu bisa disalurkan kepada orang yang membutuhkan. Kemudian yang membutuhkan itu bisa memanfaatkan untuk produksi, kalau bisa dimanfaatkan untuk produksi nanti bisa dibeli oleh orang dan lain-lain. Jadi rezeki itu bertukar terus mengalir sehingga kemanfaatannya semakin luas, bisa juga melalui jalur sedekah, infaq, zakat, hadiah dan lain-lain. Maka kalau ada orang hutang kemudian sudah waktunya bayar tidak untuk membayar itu namanya menghentikan rezeki dan tidak mengamalkan yang namanya menginfakkan sebagian rezeki dan itu berarti ketakwaannya masih perlu ditingkatkan.

Kita bisa menghayati ini luar biasa, Allah menjadikan rezeki yang dianugerahkan itu supaya beredar tidak hanya berhenti. Apabila berhenti tidak sesuai dengan kehendak Allah, bahkan kalau anak dan istri itu juga rezeki, maka harus diberi ruang supaya potensinya berkembang, supaya potensinya bermanfaat bagi sesama.Itulah namanya menginfakkan sebagian rezeki yang Allah kepada kita.

Selanjutnya bagi kita yang punya ilmu, dalam konteks ini yang dilakukan adalah menularkan ilmunya kepada orang lain. Sehingga kalau ada orang berilmu tidak ingin mengajarkan ilmunya, dipakai untuk dirinya sendiri, itu namanya juga orang-orang yang tidak menginfakkan sebagian rezeki yang dianugerahkan kepadanya. Juga perlu diingat yang diperintahkan saja hanya sebagaian, tapi kita masih enggan, itu namanya keterlaluan.

Mudah-mudahan kita sekalian termasuk orang-orang yang di ringankan untuk berbagi rezeki sehingga rezeki itu mengalir. Katakanlah anda memberi uang kepada kita, dengan uang itu kita bisa membeli sesuatu kepada pedagang sehingga pedagang itu dagangannya laku. Apabila dagangnya laku dia bisa belanja lagi besok dagang lagi. Sehingga hidup menjadi dinamis, ini konsepnya memang sederhana. Mereka menginfakkan, mensedekahkan sebagian dari rezeki yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka tapi perwujudannya luas sekali.

Dari sisi pendidikan proses transformasi ilmu pengetahuan itu berjalan dengan lancar dari sisi ekonomi sangat berkembang dengan dinamis. Jadi prinsipnya itu memberi manfaat kepada orang lain tanpa mencelakakan. Sebab ada yang memberi manfaat tapi mencelakakan. Kita betul-betul sedih, ada orang cerita bahwa meminjam uang kepada tetangganya itu disuruh mengembalikan lebih dari yang dipinjamnya.

Hal tersebut merupakan niat menjadi lintah darat. Itu bukan memberikan rezeki kepada tetangga tapi palah mencekik tetangganya. Peristiwa seperti itu tidak boleh terjadi, orang bertakwa tidak seperti itu. Maka kalau ketakwaan ini betul-betul kita pelihara yang istilahnya Buya Hamka di negeri kita itu yang dikembangkan adalah kebudayaan takwa. Jadi orang itu semakin dinamis terus meningkat prestasinya.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button