Artikel

Malu Pada Allah Dengan Malu Yang Sebenar-benarnya

Oleh : Didi Eko Ristanto

Ada sebuah hadis yang begitu indah dan mendalam maknanya. Rasulullah ﷺ bersabda:

اِسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
قَالُوا: إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ،
قَالَ: لَيْسَ ذَاكَ، وَلَكِنِ الِاسْتِحْيَاءُ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ، أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَتَذْكُرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ.

(HR. At-Tirmidzi, no. 2458)

Artinya:

“Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.”
Para sahabat berkata, “Sesungguhnya kami telah malu (kepada Allah), wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Bukan itu yang dimaksud. Malu yang sebenar-benarnya kepada Allah adalah engkau menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya, menjaga perut dan apa yang dimasukkan ke dalamnya, serta mengingat kematian dan kehancuran. Barang siapa menginginkan akhirat, maka ia meninggalkan perhiasan dunia. Barang siapa melakukan itu, sungguh ia telah malu kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.”

Hadis ini menggambarkan bahwa rasa malu bukan sekadar rasa malu di hadapan manusia, melainkan rasa gentar yang lahir dari kesadaran bahwa Allah selalu melihat. PenglihatanNya tidak terhalang apapun. Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

Malu yang hakiki bermula dari kepala. Tempat berkumpulnya pandangan, pendengaran, lisan, dan pikiran. Banyak amal perbuatan terjadi di area kepala. Apakah perbuatan baik ataukah perbuatan buruk.

Maka siapa yang benar-benar malu kepada Allah, ia akan menjaga matanya dari pandangan yang haram, menahan telinganya dari mendengar yang sia-sia, mengendalikan lisannya dari ucapan dusta, ghibah, dan celaan, serta membersihkan pikirannya dari bisikan kotor dan lintasan dosa.

Begitu pula perut. Tempat manusia memenuhinya dengan kenikmatan sementara. Malu kepada Allah membuat kita berhati-hati terhadap setiap yang masuk ke dalam perut kita, memastikan tidak ada yang haram, syubhat, atau diperoleh dengan cara yang curang. Sebab setiap suapan akan menjadi bagian dari diri kita, yang kelak dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya. Bukan hanya itu, bahkan daging yang tumbuh dari yang haram bisa menjadi sebab terkena api Neraka.

Rasulullah ﷺ juga mengingatkan kita untuk selalu mengingat mati dan kehancurannya. Karena rasa malu sejati tumbuh dari kesadaran bahwa dunia ini akan berakhir. Bahwa jasad yang kita rawat akan hancur di tanah, dan hanya amal yang akan menemani di kubur. Orang yang benar-benar malu kepada Allah tidak akan lalai menyiapkan perbekalan untuk perjalanan panjang setelah kematian.

Malu kepada Allah juga menuntun hati untuk memilih akhirat di atas dunia. Ia tidak tertipu oleh gemerlap fana, karena hatinya tahu: kehidupan abadi yang sesungguhnya ada di sisi Allah. Maka setiap langkah, ucapan, dan niatnya ia arahkan menuju ridha-Nya.

Malu yang sebenar-benarnya kepada Allah bukan hanya perasaan, tapi mempengaruhi cara hidup. Ia menjadikan pandangan kita tertunduk karena takut dosa, menjadikan hati kita ikhlas karena sadar selalu diawasi, dan menjadikan diri kita selalu rindu untuk diperhatikan oleh Allah dengan kasih sayang-Nya.

Marilah kita tanyakan pada diri sendiri: apakah kita telah benar-benar malu kepada Allah? Malu atas pandangan yang tak dijaga, atas makanan yang tak halal, atas dosa yang kita ulang, dan atas lalainya hati dari mengingat mati. Malu kepada Allah jika tidak memprioritaskan akhirat di atas dunia padahal masa depan kita adalah akhirat.

Cilacap, 03 November 2025

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button