
Hutang (pinjaman) adalah akad tolong-menolong yang mulia dalam Islam. Ia berfungsi sebagai jembatan bagi kaum muslimin yang sedang dalam kesulitan. Namun, kemuliaan akad ini dapat berubah menjadi jerat yang berbahaya, baik di dunia maupun di akhirat, jika kewajiban untuk melunasinya diabaikan atau ditunda-tunda tanpa alasan yang dibenarkan.
Islam memandang hutang bukan hanya sekadar urusan finansial, melainkan masalah integritas, amanah, dan hak sesama manusia (haqqul adami) yang memiliki konsekuensi spiritual yang sangat berat. Tidak melunasi hutang, padahal mampu, adalah bentuk kezaliman. Keseriusan masalah hutang ditegaskan langsung dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Rasulullah saw mengajarkan bahwa hutang dapat menghalangi seorang mukmin mendapatkan ketenangan setelah kematian.
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin masih tergantung (terhalang) karena hutangnya, sampai hutang itu dilunaskan.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)
Hadits ini menunjukkan bahwa ruh seorang mukmin yang meninggal dunia, meskipun ia ahli ibadah, akan terkatung-katung dan terhalang dari tempatnya yang mulia di surga hingga hutangnya dilunasi. Ini adalah peringatan yang paling menakutkan tentang betapa besarnya hak sesama manusia. Bahkan status mati syahid—derajat tertinggi dalam Islam yang menghapuskan segala dosa—tidak mampu menghapus dosa hutang.
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ
“Semua dosa orang yang mati syahid diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim)
Dosa yang berkaitan dengan hak Allah (haqqullah), seperti shalat atau puasa yang terlewat, dapat diampuni melalui syahadah. Namun, dosa yang berkaitan dengan hak manusia (haqqul adami) hanya bisa gugur dengan pelunasan atau kerelaan dari pihak yang dihutangi. Bagi mereka yang berhutang dengan niat buruk, yaitu tidak ingin melunasi padahal mampu, ancamannya disamakan dengan tindak pidana terberat.
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَّيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُؤَدِّيَهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada Hari Kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah)
Bagi orang yang telah memiliki kemampuan finansial untuk membayar hutangnya, namun sengaja menunda-nunda, perbuatannya dikategorikan sebagai kezaliman.
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda-nunda (pembayaran) bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kekhawatiran terhadap hutang sudah menjadi perhatian utama para ulama dan sahabat Nabi. Mereka memberikan nasihat-nasihat yang mendalam tentang bahaya beban ini. Khalifah kedua, Umar bin Khattab, memberikan nasihat tentang dampak psikologis hutang di dunia:
“إِيَّاكُمْ وَالدَّيْنَ، فَإِنَّهُ هَمٌّ بِالنَّهَارِ وَسَبٌّ بِاللَّيْلِ”
“Hati-hatilah kalian terhadap hutang, karena sesungguhnya hutang itu adalah kehinaan di siang hari dan keresahan di malam hari.”
Ungkapan ini menggambarkan bahwa hutang yang menumpuk akan merusak integritas dan kehormatan seseorang saat berinteraksi (siang), serta mengganggu ketenangan dan tidur malamnya (malam). Ulama tabi’in yang terkenal, Imam Hasan Al-Bashri, berpesan agar hutang hanya dijadikan pilihan terakhir:
“لَا تَسْتَدِنْ إِلَّا وَأَنْتَ مُضْطَرٌّ، فَإِنَّ الدَّيْنَ قَيْدٌ يُقَيِّدُ حُرِّيَّتَكَ”
“Janganlah engkau berhutang kecuali dalam keadaan terpaksa (darurat), karena sesungguhnya hutang adalah rantai yang membelenggu kebebasanmu.”
Nasihat ini menekankan bahwa hutang dapat mencabut kemerdekaan seseorang. Segala keputusan dan langkah hidupnya terikat dan terbatasi oleh kewajiban pelunasan yang harus ia tanggung. Hutang adalah amanah yang dipertaruhkan dengan pahala di akhirat. Tidak ada pelarian dari hutang, kecuali dengan melunasinya atau mendapatkan kerelaan dari pemilik harta. Bagi seorang mukmin, ia wajib memegang teguh niat untuk melunasi sejak awal berhutang. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ”
“Barang siapa mengambil harta orang lain (berhutang) dengan niat ingin melunasinya, maka Allah akan memudahkan dia untuk melunasinya. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan niat ingin merusaknya (tidak melunasi), maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa berdoa memohon perlindungan dari hutang dan bersungguh-sungguh melunasi setiap kewajiban, agar kita tidak menjadi muflis (orang yang bangkrut) di akhirat, di mana yang tersisa hanyalah penyesalan abadi.
(KH. Wahyudi Sarju Abdirrahim, Lc. M.M, Anggota Majelis Tabligh PWM Jateng dan Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Muflihun Temanggung)




