Tabligh Menjawab

Hukum Menshalati Jenazah Orang Yang Tidak Shalat

Pertanyaan :

Assallammualaikum…
Bismillah…
Maap pak ustad,
Mau tanya terkait tentang taziah…pertanyaannya…
Apabila kita mengetahui orang yg meninggal itu kafir ,tdk sholat semasa hidupnya dan disholati jenazah juga..bagaimna hukumnya yg menghadiri taziyah apakah ikut dosa meskipun tdk mengikuti sholat jenazah ?
Jazakillah khair ๐Ÿ™๐Ÿ™

Jawaban :
Jumhur ulama dari kalangan Ahlussunnah wal jamaah berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak dihukumi kafir, selama ia masih meyakini kewajiban shalat.

Jumhur ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i (dan sebagian Hambali) berpendapat bahwa meninggalkan shalat, meskipun secara sengaja dan terus-menerus, tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir (murtad), selama ia masih meyakini bahwa shalat itu wajib. Mereka menganggap perbuatan meninggalkan shalat sebagai dosa besar (kabirah) dan kefasikan, namun tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam.

Dalil-Dalil Jumhur Ulama:
1. Hadis tentang Syahadat sebagai Pemisah Islam dan Kufur:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ุฃูู…ุฑุช ุฃู† ุฃู‚ุงุชู„ ุงู„ู†ุงุณ ุญุชู‰ ูŠุดู‡ุฏูˆุง ุฃู† ู„ุง ุฅู„ู‡ ุฅู„ุง ุงู„ู„ู‡ุŒ ูˆุฃู† ู…ุญู…ุฏุงู‹ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ุŒ ูˆูŠู‚ูŠู…ูˆุง ุงู„ุตู„ุงุฉุŒ ูˆูŠุคุชูˆุง ุงู„ุฒูƒุงุฉุŒ ูุฅุฐุง ูุนู„ูˆุง ุฐู„ูƒ ุนุตู…ูˆุง ู…ู†ูŠ ุฏู…ุงุกู‡ู… ูˆุฃู…ูˆุงู„ู‡ู… ุฅู„ุง ุจุญู‚ ุงู„ุฅุณู„ุงู…ุŒ ูˆุญุณุงุจู‡ู… ุนู„ู‰ ุงู„ู„ู‡

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukan itu, maka mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka ada pada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Penjelasan: Hadis ini menunjukkan bahwa ikrar syahadat merupakan inti keislaman yang membedakan antara Muslim dan kafir. Meskipun shalat dan zakat disebutkan, sebagian ulama memahami bahwa syahadat adalah yang paling fundamental. Jika seseorang sudah bersyahadat, ia telah masuk Islam. Meninggalkan shalat adalah pelanggaran, tetapi tidak membatalkan syahadatnya.

2. Hadis tentang Syafaat bagi Ahli Tauhid:
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“ูŠุฃุชูŠ ุฃู‚ูˆุงู… ูŠูˆู… ุงู„ู‚ูŠุงู…ุฉ ู…ู† ุฃู…ุชูŠ ู„ู‡ู… ุฐู†ูˆุจ ูƒุงู„ุฌุจุงู„ ููŠุบูุฑู‡ุง ุงู„ู„ู‡ ู„ู‡ู…”

“Akan datang pada hari kiamat beberapa kaum dari umatku yang memiliki dosa-dosa sebesar gunung, lalu Allah mengampuni mereka.” (HR. Muslim)

Penjelasan: Hadis-hadis yang menyebutkan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa besar bagi orang-orang yang bertauhid (mengesakan Allah) menunjukkan bahwa dosa besar (termasuk meninggalkan shalat) tidak serta merta mengeluarkan pelakunya dari Islam, sehingga ia masih berhak mendapatkan syafaat atau ampunan Allah. Jika ia kafir, ia tidak akan mendapatkan syafaat.

3. Hadis tentang Keimanan yang Berkurang dan Bertambah:
Iman dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah keyakinan dalam hati, perkataan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan, yang bisa bertambah dan berkurang. Meninggalkan shalat dianggap mengurangi keimanan, tetapi tidak menghilangkannya secara total.

4. Kisah-kisah Sahabat dan Tabi’in:

Tidak ada riwayat yang pasti bahwa para sahabat menghukumi kafir dan memperlakukan orang yang meninggalkan shalat seperti layaknya orang murtad (misalnya, membunuh mereka sebagai murtad, atau tidak memandikan/menshalati jenazahnya). Justru mereka tetap memperlakukan mereka sebagai Muslim, meskipun dengan celaan keras atas dosanya.

5. Perbedaan antara Mengingkari Kewajiban dan Meninggalkan Karena Malas:
Ijma’ (konsensus) ulama menyatakan bahwa siapa saja yang mengingkari kewajiban shalat, maka ia dihukumi kafir (murtad). Karena mengingkari salah satu rukun Islam adalah mendustakan syariat Allah.
Namun, jika seseorang meninggalkan shalat karena malas, lalai, atau sibuk, sementara ia masih meyakini bahwa shalat itu wajib, maka ia tidak dihukumi kafir. Ini adalah perbedaan kunci yang dipegang oleh jumhur ulama.
Tentu, ada beberapa kaidah fikih yang relevan dan bisa dijadikan pijakan dalam memahami persoalan hukum terkait meninggalkan shalat dan statusnya, serta hukum takziah.

Kaidah Fikih Terkait Hukum Meninggalkan Shalat dan Status Keislaman:
1. ุงู„ุฃูŽุตู’ู„ู ูููŠ ุงู„ุฃูŽุดู’ูŠูŽุงุกู ุงู„ุฅูุจูŽุงุญูŽุฉู ุฅูู„ุงูŽู‘ ู…ูŽุง ุฏูŽู„ูŽู‘ ุงู„ุฏูŽู‘ู„ููŠู„ู ุนูŽู„ูŽู‰ ุชูŽุญู’ุฑููŠู…ูู‡ู
Artinya: “Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh (mubah) kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Relevansi: Kaidah ini sering digunakan dalam masalah muamalah, tetapi dalam konteks ibadah, kaidah asalnya adalah “ibadah itu haram (tidak boleh dilakukan) kecuali ada dalil yang memerintahkannya.” Namun, untuk masalah status keimanan seseorang, asal muasalnya adalah bahwa seorang Muslim tetap Muslim sampai ada dalil yang jelas dan qath’i (pasti) yang mengeluarkannya dari Islam. Status keislaman seseorang tidak mudah dicabut hanya karena satu dosa besar, kecuali dosa syirik atau mengingkari rukun iman/Islam yang disepakati.

2. ุงู„ูŠูŽู‚ููŠู†ู ู„ุงูŽ ูŠูุฒูŽุงู„ู ุจูุงู„ุดูŽู‘ูƒูู‘
Artinya: “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.”
Relevansi: Jika seseorang telah meyakini (yakin) akan keislaman seseorang, maka keyakinan tersebut tidak bisa dihilangkan hanya dengan keraguan (syak) bahwa ia telah keluar dari Islam karena melakukan dosa besar seperti meninggalkan shalat. Untuk menyatakan seseorang kafir, dibutuhkan dalil yang sangat kuat dan keyakinan yang sama. Selama masih ada kemungkinan dia Muslim (misalnya, dia masih beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, meskipun malas shalat), maka status keislamannya tetap terjaga. Ini mendukung pandangan jumhur ulama.

3. ุฏูŽุฑู’ุกู ุงู„ู’ู…ูŽููŽุงุณูุฏู ู…ูู‚ูŽุฏูŽู‘ู…ูŒ ุนูŽู„ูŽู‰ ุฌูŽู„ู’ุจู ุงู„ู’ู…ูŽุตูŽุงู„ูุญู
Artinya: “Menolak kerusakan (mafsadat) lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan (manfaat).”
Relevansi: Dalam konteks ini, menyatakan seseorang kafir karena meninggalkan shalat tanpa dalil yang sangat kuat dan ijma’ yang jelas dapat menimbulkan mafsadat yang besar, seperti perpecahan umat, pengkafiran sesama Muslim, dan konsekuensi hukum yang berat (misalnya tidak boleh dinikahi, tidak diwarisi, tidak dishalati jenazahnya). Kemaslahatan dari vonis kafir mungkin ada (seperti membuat jera), tetapi mafsadat yang ditimbulkan jauh lebih besar. Oleh karena itu, lebih baik menahan diri dari vonis kafir kecuali jika dalilnya sangat gamblang.

Kaidah Fikih Terkait Takziah dan Hubungan Sosial:
1. ุงู„ุฃูู…ููˆุฑู ุจูู…ูŽู‚ูŽุงุตูุฏูู‡ูŽุง
Artinya: “Segala urusan (hukum) itu tergantung pada tujuannya.”
Relevansi: Hukum menghadiri takziah sangat tergantung pada niat dan tujuannya.
๏‚ง Jika tujuannya adalah menghibur keluarga yang berduka, menunjukkan simpati kemanusiaan, menjaga hubungan sosial, dan tidak ada niat untuk mengamini atau mengikuti ritual non-Muslim, maka hukumnya dibolehkan.
๏‚ง Jika tujuannya adalah untuk mengikuti ibadah atau ritual keagamaan non-Muslim, maka hukumnya haram.
๏‚ง Begitu pula takziah bagi Muslim yang tidak shalat, tujuannya adalah menghibur keluarga, mendoakan kebaikan bagi mayit (sesuai syariat), dan mengingatkan akan kematian.

2. ุงู„ุถูŽู‘ุฑูŽุฑู ูŠูุฒูŽุงู„ู
Artinya: “Bahaya (kerusakan) itu harus dihilangkan.”
Relevansi: Jika tidak menghadiri takziah dapat menimbulkan bahaya berupa putusnya silaturahim, permusuhan, atau perasaan tersinggung yang kuat pada pihak keluarga (terutama jika ada hubungan kekerabatan atau tetangga), maka kaidah ini bisa menjadi pertimbangan untuk menghadirinya demi menghilangkan bahaya tersebut, selama tidak ada pelanggaran syariat yang lebih besar.

3. ู„ุงูŽ ุถูŽุฑูŽุฑูŽ ูˆูŽู„ุงูŽ ุถูุฑูŽุงุฑูŽ
Artinya: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.”
Relevansi: Berkaitan dengan kaidah di atas, kehadiran dalam takziah tidak boleh mendatangkan bahaya bagi diri sendiri (misalnya, membuat akidah goyah karena terpapar ritual kufur) dan tidak boleh mendatangkan bahaya bagi orang lain (misalnya, menyebabkan permusuhan jika tidak hadir tanpa alasan syar’i).

Apakah jika meninggal wajib dishalati?
Menshalati jenazah sesama Muslim adalah salah satu hak seorang Muslim atas Muslim lainnya. Ini merupakan kewajiban yang sangat ditekankan dalam Islam, dan hukumnya adalah fardhu kifayah. Sekiranya sudah ada yang menshalati maka gugur kewajiban semua jamaah. Namun jika tidak ada yang menshalati maka semua terkena dosa. Hadisnya sebagaimana berikut ini:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ยซ ุญูŽู‚ูู‘ ุงู„ู’ู…ูุณู’ู„ูู…ู ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ู’ู…ูุณู’ู„ูู…ู ุณูุชูŒู‘ ยป ู‚ููŠู„ูŽ ู…ูŽุง ู‡ูู†ูŽู‘ ูŠูŽุง ุฑูŽุณููˆู„ูŽ ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ูุŸ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ยซ ุฅูุฐูŽุง ู„ูŽู‚ููŠุชูŽู‡ู ููŽุณูŽู„ูู‘ู…ู’ ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ูุŒ ูˆูŽุฅูุฐูŽุง ุฏูŽุนูŽุงูƒูŽ ููŽุฃูŽุฌูุจู’ู‡ูุŒ ูˆูŽุฅูุฐูŽุง ุณู’ุชูŽู†ู’ุตูŽุญูŽูƒูŽ ููŽุงู†ู’ุตูŽุญู’ ู„ูŽู‡ูุŒ ูˆูŽุฅูุฐูŽุง ุนูŽุทูŽุณูŽ ููŽุญูŽู…ูุฏูŽ ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ูŽ ููŽุดูŽู…ูู‘ุชู’ู‡ูุŒ ูˆูŽุฅูุฐูŽุง ู…ูŽุฑูุถูŽ ููŽุนูุฏู’ู‡ูุŒ ูˆูŽุฅูุฐูŽุง ู…ูŽุงุชูŽ ููŽุงุชู’ุจูŽุนู’ู‡ู

“Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ada enam.” Dikatakan (ditanyakan): “Apa saja itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Apabila kamu bertemu dengannya, maka ucapkanlah salam kepadanya; apabila dia mengundangmu, maka penuhilah undangannya; apabila dia meminta nasihatmu, maka berilah nasihat kepadanya; apabila dia bersin dan memuji Allah (mengucapkan ‘Alhamdulillah’), maka doakanlah dia (dengan ‘Yarhamukallah’); apabila dia sakit, maka jenguklah dia; dan apabila dia meninggal dunia, maka iringilah (jenazahnya).” (HR. Muslim)

Kesimpulan, selama dia masih yakin kewajiban shalat, maka dia tetap dianggap muslim. Ketika meninggal tetap wajib dishalatkan. Kecuali jika ia inkar dengan kewajiban shalat maka dia kafir dan ketika meninggal tidak boleh dishalati. Wallahu aโ€™lam.

(KH. Wahyudi Sarju Abdurrahim, Lc. M.M, Majelis Tabligh PWM Jateng)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button