Artikel

Memperbaiki Tanpa Menyakiti

Oleh:  Dr. Hermawan, M.Pd.I

Praktik kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah lepas dari interaksi dengan orang lain. Ada kalanya kita melihat sesuatu yang kurang tepat, baik dalam sikap, ucapan, maupun perbuatan. Naluri kita mungkin ingin segera memperbaiki, memberi masukan, atau bahkan menegur. Namun, sering kali niat baik ini justru menimbulkan luka ketika disampaikan dengan cara yang salah. Memperbaiki bukan hanya soal menyampaikan kebenaran, tetapi bagaimana cara kita menjaga perasaan orang lain. Karena kebaikan sejati bukan hanya membuat orang berubah, tetapi juga membuat mereka merasa dihargai. Maka, bagaimana caranya kita bisa mengingatkan tanpa menyakiti, menegur tanpa melukai, dan mengajak tanpa memaksa? Mari kita bahas tentang seni memperbaiki tanpa menyakiti.

Dasarnya adalah Hadist Riwayat Abu Dawud dari Samurah bin Jundub tentang kisah dirinya dengan seorang laki-laki Anshar. Samurah memiliki pohon kurma kecil yang berada di dalam kebun seorang Anshar. Setiap kali ia hendak mengunjungi pohonnya, ia harus memasuki kebun tersebut. Hal ini menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pemilik kebun dan keluarganya. Laki-laki Anshar itu pun berusaha menyelesaikan masalah dengan cara baik: ia menawarkan untuk membeli pohon tersebut, bahkan meminta agar dipindahkan, tetapi Samurah menolak. Akhirnya, perkara ini disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi tidak serta-merta mengambil keputusan yang merugikan salah satu pihak. Beliau memulai dengan pendekatan persuasif: meminta Samurah menjual pohon itu, kemudian menawarkan agar ia memindahkannya. Ketika Samurah tetap menolak, Rasulullah bahkan memberikan tawaran imbalan yang lebih baik. Semua upaya ini menunjukkan betapa Nabi berusaha memperbaiki keadaan tanpa menyakiti. Namun, ketika semua cara baik tidak berhasil dan satu pihak tetap bersikeras hingga menimbulkan mudarat, Rasulullah pun memutuskan dengan tegas demi kemaslahatan umum: “Cabutlah pohon kurmanya!”

Kisah tersebut mengajarkan kita bahwa dalam menyelesaikan masalah, Islam menekankan dialog, empati, dan solusi yang tidak menyakiti hati. Akan tetapi, jika semua cara damai gagal, keadilan harus ditegakkan demi kebaikan bersama. Prinsip ini relevan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari: perbaikan harus dilakukan dengan kelembutan, namun ketegasan tetap diperlukan ketika kemaslahatan terancam. Satu poin kebaikan yang dapat diambil dari kisah tersebut adalah memperbaiki seseorang dilakukan tanpa menyakiti perasaanya. Hal tersebut telah dicontohkan oleh lelaki Anshar yang mengadukan langsung permasalahannya ke Samurah, lelaki Anshar tidak menceritakan aib atau keburukan Samurah ke sabahat-sahabat lain, tapi justru langsung menegurnya. Akhlak terpuji lelaki Anshar ini dapat kita ikuti dalam bersosial di dunia maya dan nyata, ketika saudara atau teman kita berbuat kesalahan maka jadilah seperti lelaki Anshar yang menegur langsung kepada Samurah dan jangan sampai kita membuka aib atau kesalahan saudara kita kepada. Dan ketika cara tersebut belum membuahkan hasil, maka kita meminta bantuan kepada seseorang yang lebih berwenang, dalam konteks hadist di atas, lelaki Anshar mengadukan kepada Nabi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bahwa memperbaiki keadaan bukan berarti harus menyakiti, melainkan mendahulukan akhlak, kesabaran, dan dialog. Namun, ketika kebuntuan terjadi, keberanian untuk mengambil keputusan yang adil menjadi keniscayaan. Hidup ini akan selalu dipenuhi perbedaan kepentingan, tetapi Islam mengajarkan kita untuk mencari jalan yang mendamaikan, bukan yang memecah belah. Maka, sebelum kita memutuskan, tanyakan pada diri: “Apakah langkah ini memperbaiki keadaan tanpa menorehkan luka?” Sebab sejatinya, perbaikan yang sejati adalah yang melahirkan kebaikan, bukan sekadar menghapus masalah.

*Dr. Hermawan, M.Pd.I (Wakil Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng dan Dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button