ArtikelWacana Pemikiran Islam

Makanan: Kekuasaan Allah dan Siklus Alam

Tadabbur Quran Surat Abasa: 23-34

Manusia modern kerap memandang makanan sekadar sebagai bahan bakar tubuh. Ia menjadi komoditas, disusun dalam angka-angka kalori, dipasarkan secara masif, dan dikonsumsi tanpa renungan. Padahal, dalam perspektif Al-Qur’an, khususnya Surat ‘Abasa ayat 23–34, makanan bukan sekadar objek konsumsi, melainkan ayat—tanda kebesaran Allah—yang seharusnya memantik kesadaran spiritual, intelektual, dan ekologis. Ayat tersebut menuntun kita untuk yatadabbar, merenung dengan penuh kesadaran: “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.” Perintah ini bukan ajakan biasa, melainkan ajakan mendalam untuk menggunakan akal sehat dalam menilai apa yang kita telan sehari-hari.

Ayat-ayat ini mengisyaratkan keterkaitan erat antara manusia, makanan, dan seluruh sistem alam semesta. Tidak ada sebutir gandum pun yang tumbuh tanpa kehendak dan mekanisme penciptaan yang terukur. Air yang turun dari langit, bumi yang terbelah, biji-bijian yang bertunas, serta buah-buahan yang ranum—semuanya adalah bagian dari skenario agung yang dirancang Sang Khalik. Makanan bukanlah hasil instan atau produk pabrik semata, tetapi rangkaian panjang yang melibatkan hujan, tanah, mikroorganisme, matahari, hingga kerja makhluk-makhluk kecil yang tak kasatmata. Maka, dalam setiap suapan makanan, seharusnya kita menemukan jejak langit dan bumi yang saling bekerja sama dalam harmoni.

Ironisnya, modernitas sering kali memutus rantai spiritual ini. Keterpesonaan terhadap teknologi pertanian dan industrialisasi pangan justru membuat manusia melupakan bahwa tanah yang subur dan air yang mengalir bukan hasil upaya manusia semata, melainkan amanah dari Tuhan. Ketika makanan direduksi menjadi produk massal dan alat akumulasi laba, kesadaran ekologis perlahan menghilang. Hutan ditebang, sungai tercemar, dan tanah kehilangan kesuburannya demi memenuhi permintaan konsumsi yang tak pernah selesai. Semua ini bermula dari sikap tamak terhadap nikmat yang seharusnya dijaga.

Makanan yang Allah ciptakan adalah amanah, bukan hanya anugerah. Jika kita memahami bahwa makanan lahir dari proses alam yang panjang dan kompleks, maka pemborosan dan kerakusan adalah bentuk pengkhianatan terhadap sistem itu sendiri. Dalam konteks ini, ayat-ayat Al-Qur’an bukan hanya menyentuh sisi spiritualitas pribadi, tetapi juga memberi arah moral bagi peradaban. Islam tak pernah memisahkan ibadah dari kesadaran ekologis. Konsumsi yang berlebihan, eksploitasi tanah yang melampaui batas, serta hilangnya keadilan dalam distribusi pangan adalah bentuk ketidakadilan struktural yang bertentangan dengan nilai tauhid.

Lebih dalam, memahami ayat-ayat tentang makanan dalam Al-Qur’an bukan hanya tugas para ahli tafsir, tapi juga pekerjaan rumah bagi semua insan modern yang hidup dalam krisis lingkungan. Ketika manusia melupakan bahwa makanan adalah bagian dari ciptaan Allah yang agung, ia cenderung berlaku sewenang-wenang terhadap alam. Padahal, seperti ditegaskan dalam ayat tersebut, makanan tidak hanya untuk manusia, tapi juga bagi hewan ternak—yang menjadi bagian dari rantai kehidupan. Ketika kita merusak satu bagian dari sistem ini, seluruh tatanan akan ikut terganggu. Tidak berlebihan jika kemudian krisis pangan dan kerusakan lingkungan saat ini dipandang sebagai akibat dari ketidakadilan manusia terhadap makanan itu sendiri.

Dalam tadabbur ini, kita didorong untuk kembali menata ulang cara kita memandang makanan. Makanan bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk direnungi. Ia adalah wujud konkret dari rahmat Allah, yang jika dikelola dengan kesadaran, akan mengantarkan manusia pada keberlanjutan hidup, bukan kehancuran. Kesadaran ini bukan utopia, tapi keniscayaan yang harus diperjuangkan—dari dapur rumah tangga hingga kebijakan negara. Dengan itu, kita bukan hanya menumbuhkan rasa syukur, tetapi juga membangun tatanan dunia yang lebih adil, berkelanjutan, dan sesuai dengan amanat khalifah di muka bumi.

Akhiron, ayat-ayat dalam Surat ‘Abasa bukan hanya ajakan untuk memperhatikan isi piring kita, tetapi juga ajakan untuk memperhatikan seluruh sistem yang memungkinkan isi piring itu ada. Makanan adalah representasi dari kerja alam, kehendak Tuhan, dan tanggung jawab manusia. Di dalamnya tersimpan potensi syukur sekaligus ancaman azab, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Jika kita mampu mengelola nikmat ini dengan bijak, maka makanan bisa menjadi jembatan spiritual yang menuntun kita kembali pada Tuhan dan kesadaran ekologis yang luhur. Sebaliknya, jika kita lalai, makanan justru bisa menjadi jalan menuju kehancuran yang kita ciptakan sendiri.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button