Artikel

Ketika Keringat Tak Selalu Disorot Kamera

Dalam setiap organisasi, komunitas, atau bahkan lingkup kerja kecil, selalu ada pola yang muncul berulang kali: ada orang-orang yang bekerja diam-diam, tanpa sorotan, tanpa banyak bicara, tapi memastikan roda tetap berputar.

Mereka hadir sejak pagi, bereskan kekacauan, urus detail teknis, jaga komunikasi tetap jalan—padahal tak satu pun dari itu yang tampak di permukaan. Sementara itu, di sisi lain, ada figur-figur yang justru tampil sebagai “wajah” keberhasilan. Mereka muncul saat momen sudah rapi, proyek tinggal launching, acara sudah siap jalan.

Mereka tahu timing bicara yang tepat, tahu pose terbaik untuk difoto, tahu kalimat apa yang pas untuk status media sosial. Hasil kerja keras orang lain, dibungkus dengan narasi yang seolah berasal dari satu sumber: mereka sendiri.

Ini bukan sekadar soal iri. Ini soal keadilan. Soal bagaimana pengakuan seringkali hanya datang pada mereka yang piawai bersuara, bukan pada mereka yang setia bekerja. Capek? Iya. Apalagi saat kontribusi nyata malah dibayangi pencitraan orang lain.

Lama-lama bukan cuma lelah fisik, tapi juga lelah hati. > Dakwah Mencerahkan Namun Allah tidak pernah luput.

“Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”(QS. At-Taubah: 120)

Dan Nabi SAW pun mengingatkan:

“Sesungguhnya Allah mencintai apabila salah seorang dari kalian melakukan suatu pekerjaan, ia menyempurnakannya.” (HR. al-Baihaqi)

Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Ketulusan adalah ketika engkau merasa cukup Allah yang tahu—meski manusia tidak.” Maka kita dihadapkan pada pilihan: berhenti atau lanjut? Kalau kita berhenti, pekerjaan benar-benar akan berantakan.

Kita tahu itu. Karena sebagian besar keberhasilan bukan berdiri di atas panggung, tapi dibangun oleh tangan-tangan yang tak kelihatan. Kita adalah tangan-tangan itu. Mungkin kita tidak butuh sorotan, tapi kita butuh keberpihakan.

Butuh ruang yang adil untuk menyuarakan realita. Butuh sistem yang menghargai kerja nyata lebih dari kerja kamera. Dan kalau tidak bisa mengubah sistem besar, setidaknya kita bisa mulai dari hal kecil: saling mengakui sesama rekan kerja yang benar-benar kerja. Menyebut mereka, menguatkan mereka, memberi apresiasi secara langsung meski tak viral.

“Barang siapa tidak bersyukur kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.”(HR. Abu Daud, sahih)

Karena di balik pencitraan yang palsu, selalu ada kerja keras yang tulus. Dan di situlah sebenarnya nilai sejati seseorang: *bukan dari apa yang dia katakan, tapi dari apa yang dia lakukan—walau tanpa disorot.

Dan sungguh, “Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”*(QS. Al-Hujurat: 13) > Dakwah Mencerahkan

Abdul Aziz Alwaany

Korps Mubaligh Muda Muhammadiyah PCM Sirampog

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Check Also
Close
Back to top button