Berhari Raya Tanpa Kehilangan Jati Diri
Oleh : Masyhuda Darussalam,S.Pd,M.Pd. (Alumni Sekolah Tabligh PWM Jateng

Berhari Raya Tanpa Kehilangan Jati Diri
(Masyhuda Darussalam,S.Pd,M.Pd : 1558269, Alumni Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah)
Kita bersyukur kepada Allah sudah diberikan anugerah menyelesaikan dengan sempurna seluruh rangkaian ibadah di bulan Ramadan.Tentu ini kita syukuri karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan. Rasulullah SAW memberikan tuntunan kepada kita sekalian ketika berjumpa dengan saudara kita setelah menunaikan salat Idul Fitri supaya kita saling mengucapkan doa “Taqobalallahu Minna wa minkum” mudah-mudahan Allah mengabulkan, menerima ibadah kita dan kamu sekalian. Disini menarik sekali ucapan yang dituntunkan oleh Nabi, sangat ringkas tetapi mencakup keseluruhannya. Artinya tidak diuraikan secara detail yang mohon dikabulkan itu apa saja, tetapi justru ringkasnya kalimat itu menjadikan luasnya cakupan yang kita mohonkan. Seluruh rangkaian kegiatan, amal sholeh kita selama bulan Ramadan dimohonkan kepada Allah supaya diterima sebagai ibadah yang bermakna bagi kita sekalian. Sejak kita bangun tidur, kemudian kalau ibu-ibu yang menyiapkan makan sahur dan lain-lain. Sampai kita bermasyarakat itu bagian dari dimohonkan kepada Allah supaya termasuk bagian dari nilai tambah bagi kemuliaan hidup kita.
Kemudian yang kedua meskipun ucapan itu hanya dilakukan oleh satu orang dengan satu orang, tetapi pada doa ini kita diajarkan tetap menggunakan dhomir Nahnu dan Antum, kami dan kamu sekalian artinya seolah-olah Nabi berpesan kepada kita sekalian supaya kebahagiaan dan kenyamanan hidup berhari Raya itu tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, tetapi kita betul-betul didorong oleh Rasulullah supaya hidup kita bermakna baik tidak hanya untuk diri kita tetapi baik untuk semuanya. Maka, berhari Raya itu juga bermakna supaya kita menyayangi semuanya bukan hanya menyayangi sesama sahabat kita. Sabda Rasulullah SAW yang artinya “Kamu tidak dikatakan sebagai orang beriman sampai kamu saling menyayangi”. Lalu para sahabat mengatakan, “ Diantara kami sudah saling menyayangi wahai Nabi”. Tapi Nabi mengatakan “Bukan itu maknanya saling menyayangi, bukan hanya sesama saudara, bukannya sesama kerabat, tetapi menyayangi seluruh manusia bahkan seluruh makhluk semuanya. Hal tersebut luar biasa, Nabi memberi pelajaran kepada kita supaya kasih sayang itu jangan dibatasi oleh faktor-faktor primordial, oleh faktor-faktor kekerabatan, oleh faktor-faktor kesamaan profesi, atau yang lain-lain yang kemudian membatasi. Kita diperintahkan supaya menyayangi semua manusia, supaya saling menyayangi bahkan bukan hanya sesama manusia, tetapi seluruh makhluk Allah.
Apabila kita terapkan, insyaallah orang orang yang sukses didalam menunaikan ibadah di bulan Ramadan, kemudian memasuki hari raya itu sebagai pembuktian saja bahwa kita sudah berhasil karena pelajaran utama dari ibadah puasa bagi setiap individu itu perpaduan antara menunaikan kewajiban dengan mewujudkan kepantasan. Perpaduan antara pemenuhan kewajiban dan perwujudan kepantasan itu melahirkan kebijaksanaan. Maka, kita menjadi orang yang bijaksana yaitu orang yang lapang dada. Diibaratkan seperti laut yang menampung apa saja yang tertampung lewat itu, tetapi laut tidak pernah kehilangan jati diri, tidak pernah kehilangan identitas. Maka, berhari raya berarti menjadi orang yang menampung semuanya, bisa menyayangi semuanya, tetapi tidak kehilangan jati dirinya, justru merupakan perwujudan keimanan kita. Mudah-mudahan kita sekalian dapat merawat kasih sayang, merawat kebersamaan, mewujudkan kearifan, sehingga betul-betul dunia ini menjadi nyaman ditempati oleh semuanya. Dan menjadi tugas orang beriman, menjaga kenyamanan, agar dunia ini bisa ditempati dengan aman, tentram dan Sentosa.