Nabi Muhammad SAW : Sosok Teladan dan Pribadi Mulia

Nabi Muhammad SAW: Sosok Teladan dan Pribadi Mulia
Oleh: Agus Priyadi, S.Pd.I
(Anggota MT Cabang Merden dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengahdi Banjarnegara)
Nabi Muhammad SAW merupakan nabi yang istimewa karena memiliki ahklak dan pribadi yang mulia. Oleh karenanya, beliau merupakan panutan dan teladan bagi ummatnya. Oleh karenanya, pada tiap bulan Robiul Awwal, kelahiran beliau diperingati sebagai momen untuk mengambil pelajaran terhadap akhlak dan pribadi beliau yang mulia tersebut agar dapat diinternalisasikan pada setiap pribadi ummat Islam.
Tepatnya tanggal 12 Rabi`ul Awal diperingati sebagai Maulid Nabi SAW. Peringatan ini bukanlah sekadar perayaan seremonial, melainkan momentum untuk kembali merenungkan, mengenal, dan meneladani pribadi agung beliau. Memperingati Maulid berarti menyelami kembali kisah hidup seorang manusia sempurna yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Maka pada edisi bulan Robi`ul Awal ini, penulis coba suguhkan potret kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Pertama, Muhammad SAW merupakan rahmatan lil`alamin. Al-Qur’an secara tegas menyebutkan tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Ayat ini menegaskan bahwa kehadiran beliau di dunia adalah wujud kasih sayang Allah SWT yang tak terbatas. Rahmat ini tidak hanya ditujukan kepada manusia, tetapi juga seluruh makhluk, termasuk hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Pribadi beliau mencerminkan rahmat ini dalam setiap laku dan perkataannya.
Sebagai contoh, dalam sebuah hadis, Aisyah RA pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW. Beliau menjawab, “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” (HR. Muslim). Jawaban ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an, yang merupakan sumber segala kebaikan, terwujud secara nyata dalam setiap sendi kehidupan beliau. Maulid adalah pengingat untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, sebagaimana yang beliau contohkan.
Kedua, Beliau merupakan pribadi yang jujur dan terpercaya (Al Amin). Jauh sebelum diangkat menjadi nabi, Muhammad muda sudah dikenal oleh masyarakat Makkah dengan gelar Al-Amin, yang berarti “yang dapat dipercaya”. Kejujuran dan integritas beliau telah teruji sejak lama. Kisah beliau saat memimpin perdagangan, menyelesaikan perselisihan antar kabilah dalam peletakan Hajar Aswad, hingga kejujuran beliau dalam berdakwah, semuanya menunjukkan betapa kuatnya karakter beliau.
Kejujuran adalah pondasi utama dalam membangun hubungan, baik dengan Allah SWT maupun sesama manusia. Rasulullah SAW bersabda: “Hendaklah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di tengah maraknya ketidakjujuran dan janji palsu, pribadi Nabi Muhammad SAW menjadi mercusuar yang menuntun kita kembali kepada kebenaran. Peringatan Maulid mengajarkan kita untuk mengutamakan integritas dalam setiap ucapan dan perbuatan, karena itulah kunci keberkahan.
Ketiga, sederhana dan rendah hati. Meskipun memimpin sebuah peradaban besar, Rasulullah SAW hidup dalam kesederhanaan yang luar biasa. Pakaiannya sederhana, makanannya secukupnya, dan tempat tinggalnya jauh dari kemewahan. Anas bin Malik RA, pelayan Rasulullah SAW selama sepuluh tahun, bersaksi: “Rasulullah SAW tidak pernah makan di meja makan, tidak pernah memakai saringan, tidak pernah makan roti yang lembut, dan tidak pernah makan dengan piring yang besar.” (HR. Bukhari)
Kesederhanaan beliau bukan karena ketidakmampuan, melainkan karena pilihan hidup yang zuhud. Beliau tidak terikat pada gemerlap dunia, melainkan fokus pada tujuan akhirat. Kerendahan hati beliau tampak dari bagaimana beliau berinteraksi dengan siapa pun, tanpa membedakan status sosial. Beliau menyapa anak-anak, mengunjungi orang sakit, dan tidak segan membantu pekerjaan rumah tangga.
Sikap rendah hati dan tidak sombong adalah akhlak mulia yang harus kita contoh. Allah SWT berfirman: “…Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan dapat menjulang setinggi gunung.” (QS. Al-Isra: 27)
Peringatan Maulid mengajak kita untuk menimbang kembali prioritas hidup. Apakah kita lebih mengejar kemewahan dunia ataukah kebahagiaan hakiki di sisi Allah?
Keempat, teguh dan sabar dalam berdakwah. Jalan dakwah Rasulullah SAW tidaklah mudah. Beliau menghadapi penolakan, cemoohan, bahkan ancaman pembunuhan. Namun, beliau menghadapinya dengan kesabaran dan keteguhan yang tak tergoyahkan.
Ketika pamannya, Abu Thalib, menawarinya untuk berhenti berdakwah dengan iming-iming kekuasaan dan harta, beliau menjawab dengan tegas: “Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini (dakwah), niscaya tidak akan aku tinggalkan sehingga Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya.” (HR. Baihaqi)
Keteguhan ini menunjukkan keyakinan penuh beliau pada risalah yang dibawanya. Ia mengajarkan kepada kita bahwa dalam menghadapi tantangan hidup, kita harus memiliki prinsip dan keyakinan yang kuat. Kesabaran beliau juga tercermin dalam menghadapi perlakuan buruk kaum musyrikin. Alih-alih membalas dendam, beliau justru mendoakan kebaikan untuk mereka, bahkan saat penaklukan Makkah. Sebagaimana firman Allah SWT: “…Dan jika kamu bersabar, maka sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126)
Maulid Nabi adalah waktu yang tepat untuk merefleksikan kembali tingkat kesabaran kita. Sejauh mana kita mampu bersabar dalam menghadapi ujian, godaan, dan tantangan di era modern ini?
Berdasarkan paparan di atas, sudah sepatutnya bulan Rabi`ul Awal ini kita jadikan sebagai momen untuk kembali kepada esensi ajaran Islam, yang terwujud dalam pribadi Sang Nabi. Maulid adalah kesempatan untuk mengevaluasi diri: sudahkah kita meneladani akhlak mulia beliau dalam kejujuran, kesederhanaan, keteguhan, dan kasih sayang?
Mempelajari Sirah Nabawiyah (sejarah kehidupan Nabi) adalah cara terbaik untuk mengenal beliau secara mendalam. Buku-buku seperti Ar-Rahiq Al-Makhtum karya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri dan kitab-kitab hadis shahih adalah sumber yang tak ternilai. Membaca kisah hidup beliau membuat kita jatuh cinta pada sosok yang sempurna ini.
Mari jadikan setiap hari sebagai “Maulid” dalam arti yang sesungguhnya, yaitu dengan menghidupkan kembali sunnah dan akhlak beliau di dalam hati dan kehidupan kita. Dengan demikian, kita akan menjadi bagian dari umat yang pantas mendapatkan syafa`atnya kelak di hari kiamat. Semoga!