Artikel

Sosialisasi KHGT Dengan Pendekatan Soft Power

Oleh : M. Abdurrasyid (Sekolah Tabligh PWM Jateng Di Banjarnegara)

Setelah melalui serangkaian proses panjang akhirnya Muhammadiyah memilih KHGT sebagai basis penanggalan ilslaminya. Hal ini semakin  memantapkan identitas Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang menjunjung tinggi prinsip tajdid. Terlebih, KHGT memang sejalan dengan pedoman sebelumnya yang menggunakan metode hisabiah yang terinspirasi dari Q.S. Yunus ayat 5:

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu, kecuali dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada kaum yang mengetahui.”

Sementara dikarenakan belum ada kalender KHGT secara fisik, wargapersyarikatan dan khalayak umum diberi opsi untuk memgakses  aplikasi digitalnya melalui laman resmi yang sudah ramai tersebar di jejaring sosial media. Sedangkan bagi mereka yang mau lebih mengerti dasar teorinya juga bisa melihat website persyarikatan. Semuanya bebas dan terbuka sebagai bentuk pertanggungjawaban secara moral yang bersifat ilmiah.

Hanya saja, tatkala memasuki ranah sosialisasi, ada pekerjaan rumah yang cukup besar. Terutama bagi para juru dakwah di kalangan akar rumput. Asumsi penulis mungkin bersifat skeptis bahwa belum semua warga Muhammadiyah berani berbicara secara terbuka. Apalagi bersuara di mimbar yang bukan resmi milik persyarikatan. Semisal kegiatan khutbah jumat di masjid yang jamaahnya berbeda latar belakang.

Hal yang paling mudah dalam menyuarakan KHGT tentu tatkala menjawab pertanyaan tanggal berapa hari ini dalam kalender hijriah. Baru kita bisa bicara dengan membawa nama Muhammadiyah atau KHGT itu sendiri. Sehingga skalanya tentu akan sangat terbatas dan bersifat personal, seperti dicontohkan oleh KH. Fahmi Salim, Lc.MA dalam forum dai alumnus Al-Azhar beberapa waktu yang lalu.

Oleh karena itu perlu pendekatan yang lebih arif dan bijaksana tanpa harus mengedepankan ego golongan di kalangan ummat Islam. Meskipun sedikit banyak kalau mau jujur pasti ini tidak bisa dihindari. Menyuarakan KHGT saja itu bukannya bagian dari dakwah mengenai persyarikatan? Begitu kurang lebih sentimen yang mungkin akan muncul tapi tidak perlu ditanggapi.

Kalau kita hendak membahas KHGT secara terbuka, tentu saja tidak semua orang bisa menerima. Apalagi jika kita membicarakannya dalam forum majemuk. Kesannya bisa dianggap seperti orang “umuk”. Tapi kalau kita tetap diam maka keberanian mensosialisasikan KHGT hanya akan berhenti di pusaran level atas atau berkeliaran di media sosial saja. Kita akhirnya pasif dan menjadi penonton yang menunggu momen dalam ruang kegamangan.

Penulis pribadi juga pernah mengalami kegamangan yang sama. Meskipun akhirnya penulis menyadari bahwa membicarakan KHGT layaknya mensosialisasikan undang-undang yang baru di sahkan oleh dewan. Perlu proses panjang tapi tidak boleh berhenti di tengah jalan. Oleh karenanya memupuk keberanian dalam menyiarkan KHGT dengan pendekatan soft power mungkin bisa menjadi sebuah solusi menarik.

Istilah soft power sebenarnya lebih cenderung pas di pakai pada konteks militer atau hubungan internasional.  Namun mendengungkan KHGT di ranah umum juga sebenarnya tidak begitu berbeda. Hanya konteksnya adalah perang ego. Mirip ketika kita mau menentukan awal bulan Ramadhan saja. Oleh karena itu pendekatan soft power  menjadi cara yang patut dijajaki.

Jikalau di bidang hubungan internasional soft power kerap diidentikkan dengan seni budaya, pendidikan, literasi, dan bantuan sosial kemanusiaan, maka Muhammadiyah sudah memiliki modal besar untuk melakukannya.

Melalui AUM di bidang pendidikan jelas genderang sosialisasi KHGT bisa ditabuh secara serentak. Begitu juga dengan optimalisasi keberadaan Lazismu yang cenderung aktif bergerak di segala lini. Atau yang bisa dilakukan secara personal  dengan mengaktifkan budaya literasi. Kesemuanya dimulai dengan langkah kecil yang nyata. Yaitu, menempatkan tanggal hijriah di depan tanggal miladiah.

Menempatkan posisi tanggal hijriyah terlebih dahulu di depan tanggal miladiah juga bukan perkara mudah. Karena hal tersebut akan melabrak kebiasaan di masyarakat. Namun hal ini sebetulnya tidak akan memantik perhatian secara mencolok seperti halnya menempatkan angsa hitam di kalangan angsa putih.Dengan catatan kita yang menjadi penggerak kegiatannya. Terlebih masyarakat kita yang memiliki perhatian terhadap tanggal hijriah bisa dibilang  hanya segelintir orang saja.

Langkah di atas bagi kader dakwah bisa diperlebar cakupannya. Misalkan dengan memproduksi karya kreatif baik itu berupa flyer, video, atau karya lainnya yang tetap mensublimasi tanggal hijriah versi KHGT di dalamnya. Jikalau dalam forum pengajian, sebaiknya kita juga menanyakan tanggal hijriah kepada jamaah yang kemudian diikuti dengan penyebutan KHGT.

Tapi adakalanya kita harus menyampaikan secara halus bahwa sebagai pengguna KHGT bisa saja terjadi perbedaan waktu pelaksanaan ibadah tertentu  karena terkait perbedaan konsensus mengenai ketetapan tanggalnya saja. Hal ini sebenarnya sudah biasa kita alami sebagai warga Muhammadiyah. Namun perlu juga kita memberikan edukasi pada masyarakat umum bahwa keberadaan KHGT itu tujuan aslinya adalah baik. Berusaha menyatukan umat Islam seluruh dunia meskipun baru sebatas simbolik.

Apabila ada pertentangan atau minimal dahi yang berkenyit di depan mata maka bisa kita hiasi kampanye KHGT dengan penjelasan singkat mengapa kita kerap berbeda soal tanggal hijriah. Seperti permasalahan ikhtilaful mathla’i yang dari dulu sudah terjadi sejak zaman shahabi karena faktor dasarnya  adalah lokalitas mathla’i. Sedangkan KHGT berdasarkan pada ittihadul mathla’i yang bisa disepakati secara global meskipun mungkinvdi tempat kita hilal belum juga terlihat. Sehingga awal hari juga berubah tidak lagi setelah matahari terbenam tapi lewat tengah malam seperti pada kalender miladiah.

Penjelasan diatas belum tentu diterima dan masih bisa memicu perdebatan yang membuat kita dipinggirkan. Oleh karena itu untuk meredakan tensi yang terjadi, maka kita juga harus mengiringi sosialisasi KHGT dengan ajakan  mempertebal  tasamuh di antara kaum muslimin. Pemakaian istilah tasamuh yang kemudian diartikan sebagai toleransi jauh lebih bisa diterima untuk menjelaskan letak perbedaan yang ada. Oleh karena itu antara kampanye KHGT dengan pembiasaan tasamuh dalam praktik sehari-hari haruslah seiring sejalan. Harapannya kita masih bisa istiqomah berani memijakkan diri dengan KHGT dari hati yang lapang nan senang serta tetap bisa terus bergerak melakukan pencerahan tanpa dicederai oleh perbedaan. Wallahu a’lam bishowab.

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button