Artikel

Kunci Agar Anak Penurut Menurut Ajaran Islam

Oleh: Arif Saefudin, S.Ag.

(Pimpinan Pengembangan Cabang dan Ranting PCM Blambangan dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara)

Setiap orang tua mendambakan anak yang penurut atau taat—baik taat kepada orang tua maupun kepada perintah Allah SWT. Namun, dalam pandangan Islam, ketaatan sejati bukanlah hasil dari paksaan atau ketakutan, melainkan buah dari cinta, keteladanan yang konsisten, dan pendidikan berbasis keyakinan (iman).

Islam mengajarkan bahwa seorang anak adalah bibit suci (fitrah) yang tumbuh subur di bawah naungan kasih sayang dan petunjuk yang lembut. Artikel ini akan mengupas tiga pilar utama dalam mendidik anak agar penurut dan memiliki kesalehan batin yang berkelanjutan.

Ketaatan anak berakar pada rasa aman dan penghargaan yang ia dapatkan dari orang tuanya. Anak akan lebih mudah menuruti orang yang ia yakini mencintainya tanpa syarat.

Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama dalam memperlakukan anak-anak dengan penuh kasih sayang dan penghormatan. Beliau tidak pernah membentak atau meremehkan mereka, bahkan saat mereka melakukan kesalahan. Sebuah hadis mencatat kelembutan beliau:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ:

خَدَمْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ، فَمَا قَالَ لِي أُفٍّ قَطُّ، وَمَا قَالَ لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ لِمَ صَنَعْتَهُ، وَلَا لِشَيْءٍ تَرَكْتُهُ لِمَ تَرَكْتَهُ

Artinya: Dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Aku melayani Nabi SAW selama sepuluh tahun. Beliau tidak pernah mengatakan ‘Ah’ kepadaku sama sekali, tidak pula mengatakan terhadap sesuatu yang aku lakukan, ‘Mengapa kamu lakukan ini?’ dan tidak pula terhadap sesuatu yang aku tinggalkan, ‘Mengapa kamu tinggalkan ini?'” (HR. Muslim)

Hadis ini mengajarkan kita bahwa pendekatan terbaik untuk memancing ketaatan adalah melalui komunikasi yang positif dan tidak menghakimi. Lingkungan yang penuh penghargaan membuat anak merasa aman dan termotivasi untuk menuruti arahan.

Ketaatan yang bersumber dari iman akan langgeng. Orang tua perlu menyeimbangkan antara cinta dan tanggung jawab agama. Allah SWT berfirman:

يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواقُواأَنفُسَكُمْوَأَهْلِيكُمْنَارًا…

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Taḥrīm: 6)

Ayat ini adalah dasar bahwa mendidik ketaatan adalah bagian dari misi penyelamatan. Anak harus mengerti bahwa aturan dan batasan (seperti salat, mengaji, dan adab) adalah bentuk cinta terbesar orang tua, bukan sekadar hukuman.

Anak adalah peniru ulung. Ketaatan mereka sebagian besar adalah cerminan dari perilaku yang mereka saksikan pada orang tua. Kepatuhan tidak bisa diperintahkan, tetapi harus dicontohkan.

Jika orang tua ingin anak menaati perintah Allah (seperti salat tepat waktu atau jujur), maka mereka harus menjadi pelaku utama dari perintah tersebut.

Imam Al-Ghazali menekankan bahwa keteladanan (uswah) adalah metode pendidikan terkuat. Seorang anak yang melihat ayahnya buru-buru meninggalkan pekerjaan demi salat di masjid akan merekam pentingnya ibadah lebih dalam, daripada hanya mendengar ceramah tentang salat.

Ketaatan anak seringkali hilang karena orang tua tidak konsisten. Hari ini boleh, besok dilarang. Hari ini marah, besok cuek. Rasulallah SAW bersabda:

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Artinya: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka [jika tidak salat] ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Abu Dawud)

Hadis ini mengajarkan tahapan dan konsistensi. Tujuh tahun adalah fase pembiasaan lembut. Sepuluh tahun adalah fase penegasan disiplin, dilakukan setelah bertahun-tahun pembiasaan, bukan langsung dipaksa. Ketaatan harus dilatih secara bertahap dan terukur.

Meskipun orang tua telah berusaha keras, pada akhirnya yang membolak-balikkan hati anak adalah Allah SWT. Oleh karena itu, ketaatan anak tidak akan sempurna tanpa bantuan ilahiah.

Do`a adalah intervensi spiritual yang paling dahsyat. Orang tua yang sholeh dan sholehah selalu menggunakan doa sebagai senjata utama mereka. Do`a yang paling dicontohkan dalam Al-Qur’an adalah do`a Nabi Ibrāhīm AS:

رَبِّاجْعَلْنِيمُقِيمَالصَّلَاةِوَمِنذُرِّيَّتِيۚرَبَّنَاوَتَقَبَّلْدُعَاءِ

Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap melaksanakan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrāhīm: 40)

Do`a ini mengajarkan dua hal: doa untuk diri sendiri (agar istikamah) dan doa untuk keturunan. Ketaatan pada anak adalah anugerah, yang harus senantiasa diminta.

Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengingatkan bahwa keberhasilan mendidik anak adalah pertolongan dari Allah. Setelah orang tua memberikan usaha terbaik (pendidikan, kasih sayang, dan keteladanan), langkah selanjutnya adalah bertawakal penuh kepada-Nya. Ibnu Qayyim berkata: “Orang tua yang paling berhasil mendidik anak adalah mereka yang paling banyak meminta pertolongan Allah dalam pendidikan tersebut.”

Melatih anak agar penurut berarti membimbingnya menuju ketaatan tertinggi, yaitu ketaatan kepada Allah. Ketaatan kepada orang tua hanyalah jembatan awal menuju ketaatan kepada Sang Pencipta.

Agar anak penurut, orang tua harus menjadi pemimpin yang penuh kasih, konsisten dalam keteladanan, dan gigih dalam berdoa. Jangan pernah menggunakan paksaan yang berlebihan yang justru merusak harga diri anak, karena ketaatan sejati bersumber dari hati yang damai, bukan hati yang takut. Untuk itu, mari kita jadikan rumah kita sebagai madrasah pertama yang mengajarkan ketaatan dengan cinta.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button