
Agus Miswanto, MA (Anggota Dewan Pengawas Syariah Lazismu Jawa Tengah dan Dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah UNIMMA)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ ﴿المائدة: ١﴾
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS al-Maidah: 1)
Dalam ayat di atas, Allah SWT memerintahkan orang-orang beriman untuk memenuhi syarat dan rukun dalam setiap transaksi muamalah yang dilakukannya. Dan kebalikan dari perintah itu adalah larangan pengurangan setiap syarat dan rukun transaksi. Dengan ungkapan lain, pengurangan syarat dan rukun transaksi adalah haram, yang menyebabkan rusak dan batalnya suatu transaksi. Dan diantara rukun transaksi adalah objek akad yang harus halal, bukan bersumberkan pada sesuatu yang haram. Dan dalam ayat ini, objek akad yang halal adalah diantaranya binatang ternak (bahimatul an’am). Selain objek akad yang halal, ada bentuk akad (sighat akad) yang disyaratkan untuk dilakukan dengan proses yang halal, dan jauh dari unsur yang dilarang oleh syariat seperti maysir, gharar, dan riba yang kemudian sering disingkat MAGHRIB.
Sehingga setiap bentuk transaksi yang mengandung tiga unsur ini diharamkan dalam islam.
Maysir (الميسر) – Judi
Maysir secara bahasa berasal dari kata yasara-yasiru yang bermakna mudah. Sedangkan secara syariat, maysir adalah segala bentuk transaksi yang mengandung unsur spekulasi, untung-untungan dan perjudian, di mana ada pihak yang diuntungkan dan pihak lain dirugikan secara tidak adil. Islam mengharamkan setiap bentuk transaksi untung-untungan yang merugikan salah satu pihak tanpa dasar yang jelas dan adil. Setiap bentuk transaksi atau aktivitas ekonomi yang mengandung unsur judi, spekulasi berlebihan, dan ketidakpastian hasil, di mana satu pihak mendapat keuntungan dengan mengorbankan pihak lain dihukumi sebagai perbuatan haram. Dan diantara judi adalah undian berhadiah, dan spekulasi. Adapun ketentuan hukum maisir disebutkan dalam Alquran seperti:
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Sesungguhnya khamr, maysir (judi), berhala, dan anak panah undian adalah perbuatan keji dari perbuatan syaitan. Maka jauhilah itu agar kamu beruntung.”(QS. Al-Ma’idah: 90)
Dalam ayat ini, khamr (minuman keras), judi, berhala, dan mengundi nasib disifati dengan najis (kotor), perbuatan syaitan dan perintah menjauhi. Kotor menunjukan ketidakpantasan bagi seorang muslim untuk menggunakanya dan memanfaatkanya. Dan perbuatan syaitan menunjukan tentang prilaku yang harus dihindari oleh seorang muslim, bukan untuk ditiru dan diikuti. Dan perintah menjauhi menegaskan bahwa maisir (judi) adalah sesuatu haram (dilarang) bagi seorang muslim. Dari ayat ini, para ulama sepakat bahwa hukum maisir (judi atau prilaku spekulatif) adalah haram (dilarang) dalam kegiatan muamalah.
Dalam kehidupan praktis, ada banyak contoh transaksi jual beli yang mengandung Maysir, yaitu:
1. Undian berhadiah yang mensyaratkan pembelian yang harganya lebih tinggi dari pasaran. Contoh: seseorang membeli produk kopi seharga Rp 12.000 padahal harga produk itu sebenarnya hanya Rp. 10.000 dengan iming-iming mendapatkan hadiah mobil atau motor melalui undian. Transaksi ini mengandung unsur maysir karena tujuan utama pembelian bukan barangnya, tapi mengejar hadiah, serta transaksi bergantung pada peluang menang, bukan nilai barang.
2. Jual beli “mystery box” (kotak misteri). Contoh: seseorang membeli “mystery box” online seharga Rp 100.000 tanpa tahu isi pastinya. Bisa berisi barang murah atau sangat mahal. Transaksi ini mengandung maysir dan gharar sekaligus karena: 1) Ada unsur untung-untungan; 2) Ketidakjelasan barang yang dibeli; 3) Merugikan salah satu pihak dan menguntungkan secara spekulatif pihak lain.
3. Pembelian item game secara loot box (berisi random item). Contoh: seseorang membeli item barang seharga Rp 50.000 dengan peluang mendapatkan barang yang berharga 200 ribu kalau beruntung, tetapi kalau tidak beruntung memperoleh barang yang berharga kurang dari 50 ribu. Transaksi ini bersifat spekulatif, sangat mirip judi dan tidak tahu pasti apa yang dibeli—berharap pada nasib baik (keberuntungan).
4. Investasi dengan janji profit tinggi tanpa risiko, padahal sangat beresiko (bodong). Contoh: seseorang melakukan investasi emas digital atau kripto tanpa aset jelas ataupun underlying asset, dengan janji keuntungan 10% per minggu. Transaksi ini termasuk jual beli jasa atau produk dengan unsur spekulasi tinggi dan menyebabkan kerugian besar jika prediksi salah. Maka transaksi ini mengandung unsur spekulasi (maysir) karena lebih mirip judi karena tidak didukung oleh transaksi riil atau kepemilikan aset.
Gharar (الغرر) – Ketidakjelasan.
Kata gharar dari kata gharra-gharrah yang mengandung makna tidak jelas, menipu, dan mengelabui, secara syariat, gharar adalah ketidakjelasan atau ketidakpastian dalam akad, baik menyangkut objek, harga, waktu penyerahan, maupun syarat-syarat lain. Transaksi seperti ini bisa merugikan salah satu pihak. Gharar adalah ketidakjelasan atau spekulasi berlebihan dalam transaksi, baik menyangkut: Objek akad (jenis, ukuran, jumlah), Harga, Penyerahan barang, Atau syarat-syarat lain yang tidak pasti. Adapun ketentuan Hukum gharar disebutkan di dalam hadis Nabi ﷺ:
عن أبي هريرة قال نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ melarang jual beli yang mengandung gharar (ketidakjelasan).” (HR. Muslim)
Hadis ini mengungkapan kata naha yang mengandung makna melarang atau mencegah. Sekalipun hadis ini bersifat khabari tetapi mengandung makna larangan (insyai), sehingga secara hukum larangan atau mencegah bermakna hukum haram. Sehingga orang-orang beriman diharamkan untuk melakukan perbuatan muamalah yang mengandung gharar (ketidakjelasan, ketidakpastian), karena berpotensi merugikan pihak lain.
Dalam kehidupan praktis, banyak praktik-praktik Gharar dalam Jual Beli, diantaranya:
1) Menjual ikan yang masih di laut. Misalnya seseorang menyatakan: “Aku jual ikan yang masih di jaring lautku, ambil nanti setelah ditarik.”. Barangnya belum pasti bisa ditangkap, serta jumlah dan jenis tidak jelas. Transaksi ini trmasuk gharar karena objek belum bisa dijamin keberadaannya.
2. Menjual barang tanpa menyebutkan spesifikasinya. Misalnya seseorang menyatakan: “Saya jual baju dengan harga Rp100.000, tapi tidak disebutkan ukuran, warna, atau jenis kainnya.” Dikatan gharar karena pembeli tidak tahu apa yang dibeli secara detail dan rawan perselisihan karena informasi tidak lengkap.
3. Menjual barang yang tidak dimiliki (bai al-ma’dum). Contoh: seseorang menjual mobil milik orang lain atau barang yang belum dibeli atau belum dipesan, padahal tidak ada proses menitipkan ataupun mewakilkan dari si pemilik untuk dijualkan. Dengan demikian, penjual belum punya kontrol penuh atas barang sehingga transaksi seperti ini termasuk dalam kategori bai’ ma’dum (menjual sesuatu yang tidak ada).
4. Asuransi konvensional (dalam jual beli jasa). Contoh: seseorang harus membayar premi asuransi secara rutin tanpa tahu apakah akan dapat klaim atau tidak, serta berapa besar manfaatnya. Akad ini mengandung unsur gharar tinggi karena ketidakjelasan risiko, manfaat, dan syarat pembayaran klaim.
5. Jual beli online tanpa deskripsi jelas dan tanpa garansi. Contoh: Membeli barang dari media sosial hanya dengan melihat foto, tanpa informasi ukuran, bahan, garansi, dan kebijakan pengembalian. Jual beli ini termasuk gharar jika tidak dijelaskan dengan rinci dan transparan. Dan ini diperbolehkan jika ada kejelasan dan hak khiyar (hak untuk mengembalikan jika terdapat ketidaksesuian).
Adapun cara menghindari gharar, dalam setiap transaksi harus: 1) transparansi total dalam informasi barang; 2) Barang harus dimiliki dan dikuasai oleh penjual; 3) Spesifikasi, harga, waktu, dan syarat harus jelas. Dan diperbolehkan gharar ringan yang tidak dominan karena faktor kesulitan untuk menghindarinya, seperti membeli buah dalam kemasan tertutup yang standar.
Riba (الربا) – Bunga
Riba secara bahasa berasal dari raba-yarbu yang bermakna bertambah atau bertumbuh. Secara syariat, riba adalah tambahan yang diambil tanpa adanya imbalan yang setara dalam transaksi pinjaman atau jual beli. Dan umumnya riba muncul dalam transaksi utang-piutang atau penukaran barang ribawi. Adapun ketentuan hukum riba, terdapat dalam berbagai dalil yang ada di dalam Alquran dan sunnah.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan karena (tekanan) penyakit gila…”(QS. Al-Baqarah: 275)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu benar-benar beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278)
Dari dalil di atas, para ulama berkesimpulan bahwa hukum riba adalah haram. Dalam QS al-Baqarah: 278, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk meninggalkan praktek-praktek riba. Meninggalkan berarti larangan untuk menggunakan dan memanfaatkanya dalam beragam akad bisnis. Kemudian di dalam QS al-Baqarah: 275, Allah SWT mensifati orang-orang yang memakan riba sebagai orang yang kerasukan syaitan. Ini menunjukan bahwa riba itu berbahayanya bagi kehidupan seorang muslim.
Secara praktis, riba dalam jual beli umumnya termasuk dalam kategori Riba Al-Fadl (riba dalam pertukaran barang sejenis dengan kelebihan), dan Riba An-Nasi’ah (penundaan waktu penyerahan barang). Pertama, Riba Al-Fadl (رِبَا الْفَضْل) yaitu kelebihan dalam pertukaran barang sejenis. Contoh: Menukar 1 kg beras jenis A dengan 1,2 kg beras jenis A secara tunai. Meskipun sama jenis dan dilakukan tunai, kelebihan timbangan (0,2 kg) dihukumi riba fadhl, karena barang ribawi (beras termasuk kategori makanan pokok) harus ditukar dengan takaran yang sama.
عن أبي سعيد الخدري قال رسول الله صعلم: الذَّهَبُ بالذَّهَبِ، والْفِضَّةُ بالفِضَّةِ، والْبُرُّ بالبُرِّ، والشَّعِيرُ بالشَّعِيرِ، والتَّمْرُ بالتَّمْرِ، والْمِلْحُ بالمِلْحِ، مِثْلًا بمِثْلٍ، يَدًا بيَدٍ، فمَن زادَ، أوِ اسْتَزادَ، فقَدْ أرْبى، الآخِذُ والْمُعْطِي فيه سَواءٌ. [وفي رواية]: الذَّهَبُ بالذَّهَبِ، مِثْلًا بمِثْلٍ، فَذَكَرَ بمِثْلِهِ. • [صحيح] • أخرجه مسلم (١٥٨٤) والبخاري (٢١٧٧)
Dari Abu Said al-Khudrim Rasrullah SAW bersabda: (jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam harus sama dan tunai. Siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka dia telah melakukan riba. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, Riba An-Nasi’ah (رِبَا النَّسِيْئَة) yaitu, penundaan waktu dalam pertukaran barang yang berakibat pada riba. Dan praktik riba ini dalam dunia bisnis (jual beli) sangat banyak, diantaranya: Pertama, Menukar 1 kg emas sekarang dengan 1 kg emas nanti bulan depan tanpa ada tambahan. Meskipun jumlah sama, tapi penyerahan tidak langsung (tidak tunai). Dalam pertukaran barang ribawi sejenis, syaratnya harus tunai dan setara. Jika salah satu ditunda, maka terjadi riba nasi’ah. Kedua, jual beli barang secara kredit dengan harga jauh lebih tinggi tanpa akad yang jelas. Contoh: Seseorang membeli motor secara kredit seharga Rp 20 juta, padahal harga tunai Rp 12 juta — tanpa kejelasan akad dan tanpa risiko penjual (penjual hanya menjadi pihak yang meminjamkan uang). Jika akadnya bukan murabahah (jual beli), tetapi hanya modus pemberian pinjaman dengan bunga, maka transaksi ini tergolong riba. Tetapi ketika penjual menyebut harga beli 12 juta dan mengemukakan keuntungan penjualan 8 juta, sehingga motor itu dijual dengan harga 20 juta dengan angsuran 2 juta perbulan selama 10 bulan, maka jual beli yang demikian itu diperkenankan. Karena 8 juta adalah keuntungan penjualan motor, bukan bunga dari pinjaman 12 juta. Dalam ekonomi syariah, transaksi model ini dikenal dengan murabahah.