Artikel

Akhlak Mulia

Fondasi Misi Kenabian, Pilar Kejayaan Bangsa, dan Jawaban Atas Krisis Moral

Akhlak—yaitu karakter, moralitas, dan perilaku yang terinternalisasi—adalah substansi ajaran Islam dan ruh dari kemajuan peradaban. Ia bukan sekadar tata krama artifisial, melainkan cerminan iman yang menghujam kuat dalam sanubari. Tanpa akhlak, ibadah menjadi hampa, ilmu menjadi bumerang, dan kekuasaan menjadi sumber kerusakan.
Pentingnya akhlak dalam Islam ditegaskan langsung oleh Nabi Muhammad SAW sebagai misi utama diutusnya beliau. Rasulullah SAW bersabda:

إنَّما بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكارِمَ الْأَخْلاقِ

(“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”) (Hadis riwayat Imam Malik dalam Al-Muwatta’, dan Imam Ahmad)

Hadis ini menempatkan perbaikan akhlak sebagai tujuan sentral risalah kenabian. Seluruh perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, mulai dari salat, puasa, zakat, hingga haji, pada hakikatnya dirancang untuk membentuk pribadi yang berakhlak mulia. Ibadah yang tidak menghasilkan peningkatan akhlak—seperti salat tapi masih berdusta atau menzalimi orang lain—dianggap gagal dalam mencapai esensinya.
Allah SWT menjadikan akhlak Rasulullah SAW sebagai teladan sempurna:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

(“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang agung.”) (Q.S. Al-Qalam: 4)

Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan tertinggi seorang Nabi terletak pada keagungan akhlaknya. Oleh karena itu, bagi umatnya, meneladani Rasulullah SAW berarti meneladani akhlaknya.

Kejayaan suatu bangsa dan peradaban tidak diukur semata-mata dari tingginya gedung pencakar langit atau pesatnya pertumbuhan ekonomi. Sejarah membuktikan bahwa banyak peradaban besar runtuh bukan karena serangan musuh dari luar, melainkan karena kerusakan moral dan etika dari dalam.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ

(“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”) (Q.S. Ar-Ra’d: 11)

Perubahan pada “diri mereka” (akhlak, niat, dan perilaku) adalah prasyarat fundamental. Ketika suatu bangsa mempertahankan kejujuran, keadilan, dan amanah, Allah akan memberikan keberkahan dan keberlanjutan kekuasaan. Namun, ketika kezaliman, kecurangan, dan kerusakan merajalela, kehancuranlah yang menanti.

Ungkapan yang beredar di masyarakat—”Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang yang berakhlak”—adalah refleksi kritis yang sangat tajam. Bangsa ini melahirkan banyak intelektual, ilmuwan, dan profesional berprestasi. Namun, kecerdasan kognitif yang tinggi seringkali gagal membendung nafsu egois dan keserakahan.
Penyakit akut yang paling menonjol sebagai bukti merosotnya akhlak adalah korupsi yang merajalela.

Korupsi yang merajalela merupakan bukti nyata merosotnya akhlak pejabat, di mana amanah yang diberikan oleh rakyat diinjak-injak demi keuntungan pribadi atau kelompok. Korupsi adalah manifestasi dari:
1. Khianat: Melanggar janji dan kepercayaan.
2. Kezaliman: Mengambil hak milik rakyat miskin.
3. Ketamakan: Cinta dunia yang melampaui batas.
4. Ketiadaan Muraqabah: Hilangnya kesadaran bahwa Allah SWT Maha Mengawasi.

Secara tegas, Islam melarang perbuatan khianat terhadap amanah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

(“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”) (Q.S. Al-Anfal: 27)

Pejabat yang korupsi telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya (karena melanggar ajaran keadilan), dan amanah rakyat. Harta hasil korupsi adalah sutuh (memakan harta secara batil) yang dilarang keras, sebagaimana firman Allah:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ

(“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.”) (Q.S. Al-Baqarah: 188)

Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan sosial dan keadilan ekonomi, yang merupakan pilar-pilar penting dalam menjaga keberlangsungan sebuah bangsa.

Krisis moral yang ditandai dengan merajalelanya korupsi dan hilangnya integritas tidak dapat diselesaikan hanya dengan retorika. Diperlukan upaya sistematis yang menyentuh akar permasalahan di tiga lini utama: pendidikan, kepemimpinan, dan penegakan hukum. Ketiga pilar ini harus bekerja sinergis, saling menguatkan, bukan berjalan sendiri-sendi.

1. Pilar Pendidikan: Menanamkan Akhlak sebagai Kurikulum Seumur Hidup

Pendidikan Akhlak yang Intensif adalah investasi jangka panjang. Pendidikan moral tidak boleh lagi dianggap sebagai mata pelajaran ‘pelengkap’ atau sekadar ceramah musiman. Akhlak harus menjadi ruh dari seluruh proses belajar mengajar, dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, bahkan dalam pendidikan informal di rumah.
Penanaman nilai harus dilakukan secara ekstensif dan aplikatif. Fokusnya adalah pada nilai-nilai inti seperti:

• Kejujuran (Siddiq): Bukan hanya tidak berbohong, tetapi juga jujur pada diri sendiri, pada ilmu, dan pada profesi. Ini membentuk fondasi integritas ilmiah dan profesional.
• Tanggung Jawab (Amanah): Mengajarkan bahwa setiap hak datang dengan kewajiban, dan setiap posisi memiliki beban pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.
• Empati (Rahmah): Menumbuhkan kepekaan sosial agar peserta didik tidak tumbuh menjadi individu yang cerdas tetapi egois dan tidak peduli pada penderitaan sesama.

Pendidikan akhlak yang intensif harus didukung oleh metode keteladanan guru dan pembiasaan (habituasi), mengubah pengetahuan moral menjadi kebiasaan berperilaku.

2. Pilar Kepemimpinan: Menegakkan Keteladanan sebagai Mesin Perubahan

Keteladanan Para Pemimpin adalah katalisator tercepat bagi perubahan moral suatu bangsa. Perubahan sejati harus dimulai dari puncak (top-down), sebab masyarakat cenderung meniru apa yang dilakukan oleh para elit dan pemegang kekuasaan. Jika pemimpin bermoral buruk, mustahil mengharapkan rakyatnya berakhlak mulia.
Para pemimpin di semua tingkatan—eksekutif, legislatif, yudikatif, militer, hingga tokoh masyarakat—wajib kembali menginternalisasi Sifat-Sifat Kenabian (Sifatul Mustahil) yang merupakan standar moralitas tertinggi:
• Siddiq (Jujur): Konsisten antara perkataan dan perbuatan, tidak memanipulasi fakta, dan transparan dalam kebijakan.
• Amanah (Dapat Dipercaya): Menjaga jabatan dan fasilitas publik sebagai titipan, bukan hak milik pribadi, dan menggunakannya sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
• Tabligh (Menyampaikan Kebenaran): Berani berbicara apa adanya, mengakui kesalahan, dan tidak menyembunyikan keburukan (korupsi/kebatilan).
• Fathanah (Cerdas/Profesional): Cerdas dalam membuat kebijakan yang solutif, adil, dan berorientasi pada masa depan bangsa, bukan cerdas dalam mencari celah hukum untuk memperkaya diri.
Keteladanan adalah metode dakwah yang paling efektif karena ia berbicara melalui aksi, bukan hanya kata-kata. Pemimpin yang berintegritas akan menciptakan budaya integritas di bawahnya.

3. Pilar Hukum: Menjamin Penegakan Hukum yang Adil dan Tegas

Penegakan Hukum yang Adil dan Tegas adalah benteng terakhir untuk melindungi masyarakat dari kerusakan moral. Tanpa sanksi yang adil dan konsisten, pendidikan dan keteladanan akan terasa hampa, dan pelaku kejahatan moral akan merasa impunitas.
Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu (equality before the law), tidak peduli status sosial, jabatan, atau kekayaan pelaku. Fokus utama dalam konteks Indonesia adalah memberantas korupsi secara tuntas:
• Hukuman yang Memberi Efek Jera: Hukuman bagi pelanggar moral, terutama koruptor, harus tegas dan setimpal agar berfungsi sebagai pencegahan (deterrent effect). Ini termasuk pemiskinan koruptor (menyita harta hasil kejahatan) dan pencabutan hak politik.
• Kecepatan dan Konsistensi: Proses hukum harus berjalan cepat, transparan, dan konsisten, agar tidak menimbulkan keraguan publik terhadap komitmen negara dalam menjaga integritas.
• Amanah Hakim dan Jaksa: Para penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) sendiri harus menjadi teladan integritas tertinggi, karena merekalah yang memegang kunci keadilan. Jika mereka yang berakhlak buruk, maka seluruh sistem akan runtuh.

Penegakan hukum yang adil adalah perwujudan nyata dari nilai keadilan yang diperintahkan Allah SWT, sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

(“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”) (Q.S. An-Nisa: 58)

Dengan mengokohkan tiga pilar ini—pendidikan yang membentuk karakter, kepemimpinan yang memberi teladan, dan hukum yang menjamin keadilan—pemulihan moral bangsa dari keterpurukan akibat korupsi dan krisis integritas dapat direalisasikan secara terstruktur dan berkelanjutan.

Akhlak adalah harga mati bagi kemuliaan individu dan kolektif. Ia bukanlah sekadar pelengkap, melainkan inti dari peradaban itu sendiri. Mengingat kembali misi fundamental kenabian Muhammad SAW untuk menyempurnakan akhlak dan menilik sejarah kelam peradaban yang hancur akibat moralitas yang rapuh, kita harus menyadari: Krisis korupsi dan hilangnya integritas yang kita hadapi hari ini adalah peringatan keras bahwa kita berada di ambang kehancuran dari dalam.

Saatnya bagi setiap elemen bangsa—dari petinggi negara hingga rakyat biasa, dari pendidik di sekolah hingga orang tua di rumah—untuk menjadikan akhlak mulia sebagai prioritas utama dan investasi paling mahal dalam setiap aspek kehidupan. Pendidikan, keteladanan pemimpin, dan penegakan hukum yang adil hanyalah alat. Ruh dari perbaikan ini adalah kebangkitan kesadaran moral.

Mari kita akhiri ironi menjadi bangsa yang cerdas ilmu namun miskin jiwa. Hanya dengan berpegang teguh pada nilai kejujuran, amanah, dan keadilan—yang merupakan esensi dari akhlak—kita dapat memastikan bahwa seluruh potensi intelektual, kekayaan alam, dan keberagaman yang kita miliki tidak terbuang sia-sia, melainkan terkelola dengan bijak untuk mencapai cita-cita baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Tanggung jawab ini adalah milik kita bersama, hari ini juga.

(KH. Wahyudi Sarju Abdirrahim, Lc. M.M, Anggota Majelis Tabligh PWM Jateng dan Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Muflihun Temanggung)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button