Kemerdekaan Dalam Islam
Oleh : Agus Miswanto, MA

قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِۦ شَيْـًٔا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ ٱشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS Ali Imron: 64)
Ayat di atas, mengajarkan kepada kita orang-orang beriman untuk mengajak kepada orang-orang yang berbeda (keyakinan, kultur, sosial dan ekonomi) pada kalimat persamaan, tidak saling menindas, memperbudak satu terhadap lainya, tetapi bersama-sama untuk menyembah hanya kepada Allah SWT bukan kepada manusia. Sehingga Islam mengajarkan dengan kuat makna kemerdekaan bagi setiap individu manusia dengan berpegang pada kalimat persamaan.
Kemerdekaan merupakan nilai fundamental dalam Islam yang tidak hanya dipahami dalam konteks sosial dan politik, tetapi juga spiritual. Tauhid, sebagai inti ajaran Islam, menegaskan bahwa manusia hanya tunduk kepada Allah, bukan kepada sesama manusia maupun struktur kekuasaan yang zalim. Dari sinilah lahir konsep kemerdekaan sebagai pembebasan dari segala bentuk penghambaan selain kepada Allah. Sementara itu, fiqh sebagai perangkat hukum Islam menjabarkan bagaimana prinsip kemerdekaan diwujudkan dalam aspek kehidupan sosial, terutama melalui aturan tentang perbudakan, hak asasi, dan kebebasan beribadah.
A. Kemerdekaan dalam Perspektif Tauhid
Tauhid mengandung dimensi teologis dan sosiologis. Dengan mengakui keesaan Allah, seorang Muslim menegaskan bahwa tidak ada otoritas mutlak selain Allah. Hal ini membebaskan manusia dari belenggu kekuasaan duniawi yang menindas. Dalam Islam, merdeka berarti bebas dari penghambaan kepada makhluk dan hanya tunduk kepada Allah. Inilah dasar kebebasan spiritual dan sosial. Dengan tauhid, manusia terbebas dari ketakutan berlebih pada selain Allah (misalnya kekuasaan, harta, jabatan), sehingga melahirkan keberanian moral.Sehingga tauhid melahirkan sikap menolak perbudakan, penindasan, dan tirani. Umar bin Khattab pernah berkata:
مَتَى اسْتَعْبَدْتُمُ النَّاسَ وَقَدْ وَلَدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ أَحْرَارًا
Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka? (HR. Ibn ‘Abd al-Hakam dalam Futuh Misr, no. 72).
Makna Tauhid bagi seorang muslim sebagai pembebasan diri dari tiga dimensi, yaitu : 1) Pembebasan spiritual: Manusia merdeka dari ketergantungan pada berhala, kekuatan gaib, atau otoritas palsu; 2) Pembebasan sosial-politik: Seorang Muslim tidak boleh rela ditindas dan tidak boleh menindas. Tauhid melahirkan kesadaran akan kesetaraan manusia di hadapan Allah; dan 3) Pembebasan intelektual: Islam mendorong kebebasan berpikir dan mencari kebenaran, selama tidak keluar dari kerangka syariah. Ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (QS. Al-Bayyinah: 5).
ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا رَّجُلٗا فِيهِ شُرَكَآءُ مُتَشَٰكِسُونَ وَرَجُلٗا سَلَمٗا لِّرَجُلٍ هَلۡ يَسۡتَوِيَانِ مَثَلًاۚ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ
Allah membuat perumpamaan seorang laki-laki yang dimiliki oleh beberapa tuan yang berselisih, dan seorang hamba yang menjadi milik penuh dari seorang (tuan saja). Adakah keduanya sama keadaannya? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. QS. Az-Zumar: 29
إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ يُخَوِّفُ أَوۡلِيَآءَهُۥ فَلَا تَخَافُوهُمۡ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
Itu hanyalah setan yang menakut-nakuti kawan-kawannya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang beriman.” QS. Ali ‘Imran: 175
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ قَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Rasulullah ﷺ bersabda: Barang siapa mengucapkan La ilaha illallah dengan jujur dari hatinya, maka ia akan masuk surga.” HR. Ahmad, an-Nasa’i, Ibn Hibban
QS al-Bayyinat: 5 di atas menegaskan bahwa hakikat kebebasan adalah ikatan murni hanya kepada Allah. Sedangkan QS az-Zumar: 29 mengilustrasikan bahwa orang musyrik bagaikan budak banyak tuan (tidak merdeka), sementara orang bertauhid hanya tunduk kepada satu Tuhan, Allah. Dan QS Ali Imron: 175 menegaskan bahwa orang yang bertauhid tidak diperbudak oleh rasa takut kepada manusia, hanya takut kepada Allah. Dan hadis Nabi menjelaskan tentang kalimat tauhid ini adalah ikrar kemerdekaan sejati: bebas dari penghambaan kepada selain Allah.
Dalam konteks historis, misi Para Nabi: Semua nabi menyeru manusia agar hanya menyembah Allah dan menolak penghambaan terhadap tirani (lihat QS. An-Nahl:36).
وَ لَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ
Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah thaghut.’” QS. An-Nahl: 36
Ayat ini menunjukkan bahwa inti dakwah para nabi adalah tauhid, yang membebaskan manusia dari penyembahan selain Allah (thaghut: tirani, berhala, kekuasaan zalim).
Dan dilihat Islam generasi Awal, ajaran Tauhid membebaskan para sahabat dari ikatan jahiliyah, diskriminasi sosial, dan perbudakan. Bilal bin Rabah menjadi simbol pembebasan berkat kalimat La ilaha illallah. Dan dalam konteks kemerdekaan bangsa dalam sejarah modern, semangat tauhid memberi inspirasi bagi perlawanan terhadap penjajahan, termasuk di Indonesia. Banyak ulama menegaskan bahwa jihad melawan kolonialisme adalah bagian dari menjaga kemerdekaan sebagai bentuk penghambaan hanya kepada Allah, bukan kepada penjajah.
B. Kemerdekaan dalam Perspektif Fiqh
Fiqh sebagai instrumen praktis hukum Islam memberikan landasan aplikatif bagi prinsip kemerdekaan. Salah satu isu penting yang dibahas adalah perbudakan.
1) Penghapusan Perbudakan secara Bertahap
Islam tidak menghapus perbudakan secara frontal, tetapi membuka jalan luas menuju pembebasan. Islam secara bertahap menutup pintu perbudakan, dan membuka banyak pintu pembebasan, hingga akhirnya mengarah pada penghapusan perbudakan. Banyak amal ibadah menjadikan memerdekakan budak sebagai salah satu bentuk penebusan dosa (kaffarah).
فَكُّ رَقَبَةٍ
(Yaitu) memerdekakan budak.” QS. Al-Balad: 13
مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُسْلِمَةً أَعْتَقَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنْهُ مِنْ النَّارِ
Nabi SAW bersabda:“Barang siapa memerdekakan seorang budak Muslim, Allah akan memerdekakan setiap anggota tubuhnya dari neraka dengan setiap anggota tubuh budak itu.” HR. Bukhari & Muslim.
Dalam konteks fiqh, pembebasan budak mewujud dalam beragam dimensi hukum yang melekat dalam beragam aspek ibadah, seperti: 1) Wajib seperti kafārat pembunuhan (QS an-Nisa: 92), kafarat zhihār (QS al-Mujadilah: 3), kafarat sumpah (al-Maidah: 89), dan kaffarat disebabkan pelanggaran puasa ramadhan; 2) Sunnah, yaitu pembebbasan budak sebagai bagian amal tathawwu’ (amal kebajikan) yang mendatangkan banyak pahala (QS al-Balad: 13); 3) Akad (mukātabah), yaitu pembebasan budak dapat dilakukan oleh seorang budak dimana ia bisa mengajukan pembebasan kepada tuanya dengan suatu akad tertentu (QS al-Nur: 33); dan Pendanaan zakat (ashnaf fi al-riqāb), yaitu pembebasan budak dapat dilakukan dengan instrumen pendanaan kolektif dari umat Islam yang berasal dari dana zakat yang dikumpulkan melalui amil (QS al-Taubah: 60).
2) Hak Asasi dan Martabat Manusia
Fiqh menekankan bahwa manusia memiliki martabat yang tidak boleh direndahkan. Oleh karena itu, praktik-praktik perbudakan, penindasan, dan penghilangan hak dasar bertentangan dengan maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan syariah) yaitu perlindungan pada aspek kebebsan beragama, keamanan jiwa, kebebasan akal fikiran, hak berumah tangga dan reproduksi, hak kepemilikan harta.
3) Kebebasan Beragama dan Beribadah
Fiqh juga menegaskan kebebasan dalam beragama. Para ulama fiqh (fuqaha) beristidlal dengan dalil berikut ini.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Ayat ini menjadi fondasi bahwa iman sejati harus lahir dari pilihan bebas, bukan paksaan.
Kemerdekaan dalam perspektif Islam tidak sebatas makna politik, tetapi lebih dalam: pembebasan manusia dari segala bentuk penghambaan selain Allah. Tauhid menjadi landasan teologis yang menegaskan kesetaraan dan kebebasan, sedangkan fiqh menyediakan perangkat hukum untuk mewujudkan nilai tersebut dalam praktik sosial. Dengan demikian, kemerdekaan dalam Islam adalah manifestasi dari maqāṣid al-syarī‘ah yang menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, sehingga tercapai kehidupan yang bermartabat dan adil bagi seluruh umat manusia.
Tauhid memberikan fondasi filosofis bahwa manusia hanya merdeka di bawah kekuasaan Allah. Fiqh kemudian mengatur implementasi kemerdekaan itu dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Integrasi keduanya melahirkan konsep kemerdekaan yang komprehensif:
- Spiritual: bebas dari syirik dan penghambaan selain Allah.
- Sosial: bebas dari perbudakan, penindasan, dan diskriminasi.
- Hukum: dijamin melalui fiqh dengan mekanisme pembebasan budak, perlindungan hak dasar, dan kebebasan beragama.
Oleh : Agus Miswanto, MA (Anggota Dewan Pengawas Syariah Lazismu Jawa Tengah, Dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah UNIMMA)