Kesetiaan Dan Keteguhan Iman Zainab

Di antara putri-putri Nabi Muhammad ﷺ yang mulia, Zainab binti Muhammad ﷺ menempati posisi istimewa sebagai putri pertama Rasulullah dari Sayyidah Khadijah r.a. Ia tumbuh dalam kasih sayang kedua orang tuanya, dan menjadi saksi awal perjuangan risalah Islam.
Kisah hidupnya dipenuhi cinta, pengorbanan, kesetiaan, dan keteguhan iman — nilai-nilai yang amat relevan bagi perempuan di zaman modern.
Zainab dilahirkan sekitar 10 tahun sebelum kenabian, di tengah keluarga yang penuh kasih dan akhlak mulia. Sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad ﷺ telah dikenal sebagai Al-Amin (yang terpercaya), dan Zainab tumbuh meneladani sifat ayahnya itu.
Ketika beranjak dewasa, Zainab menikah dengan Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’, seorang pemuda Quraisy yang juga keponakan dari Khadijah. Pernikahan mereka penuh kebahagiaan dan keberkahan, hingga datang masa dakwah kenabian yang menguji kesetiaan dan iman mereka.
Ujian Iman dan Kesetiaan
Saat Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu dan menyeru manusia kepada Islam, Zainab segera beriman dan mengikuti ayahandanya. Namun, suaminya, Abu al-‘Ash, masih dalam kekafiran.
Meski begitu, Zainab tetap menghormati dan setia kepada suaminya, tanpa meninggalkan keimanannya. Ia tidak memberontak, tetapi menjaga kesucian rumah tangganya dengan bijak dan sabar — hingga akhirnya, Allah menakdirkan perpisahan sementara.
Ketika terjadi Perang Badar, Abu al-‘Ash tertawan oleh kaum Muslimin. Zainab mengirim kalung pemberian ibunya, Khadijah, sebagai tebusan suaminya. Melihat kalung itu, Rasulullah ﷺ terharu hingga meneteskan air mata, lalu membebaskan Abu al-‘Ash dengan syarat ia mengizinkan Zainab berhijrah ke Madinah.
Pengorbanan dan Hijrah ke Madinah
Zainab kemudian berhijrah ke Madinah dengan penuh pengorbanan. Dalam perjalanan, ia diserang oleh orang Quraisy hingga jatuh dari untanya dan mengalami luka berat yang menyebabkan keguguran. Namun, ia tetap teguh dalam imannya dan terus hidup dengan sabar di Madinah.
Beberapa tahun kemudian, Abu al-‘Ash akhirnya masuk Islam dan hijrah ke Madinah. Rasulullah ﷺ menikahkan kembali keduanya tanpa mahar baru, melanjutkan cinta yang terjalin dalam keimanan. Namun tak lama kemudian, Zainab wafat dalam usia muda, dan Rasulullah ﷺ menangis dalam duka mendalam atas kepergian putri sulungnya.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar, (QS. Al-Baqarah [2]: 155)
Zainab adalah contoh nyata orang sabar menghadapi ujian: berpisah dengan suami, terluka saat hijrah, dan menanggung derita fisik maupun batin — tetapi tidak pernah goyah imannya.
Tentang kesetiaan dalam pernikahan dan kejujuran:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. ( Ar rum 21)
Zainab menunjukkan makna kasih dan sayang sejati — tidak hanya dalam kebahagiaan, tetapi juga dalam perpisahan dan ujian. Ia mencintai suaminya karena Allah, bukan semata karena dunia.
Tentang keteguhan dalam keimanan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلٰى رَسُوْلِهٖ وَالْكِتٰبِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Nabi Muhammad), Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, dan kitab yang Dia turunkan sebelumnya. Siapa yang kufur kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari Akhir sungguh dia telah tersesat sangat jauh. (QS. An-Nisa [4]: 136)
Zainab adalah sosok yang beriman sejak awal dan tetap teguh di atas iman itu hingga akhir hayatnya.
Kesetiaan tanpa kehilangan prinsip iman.
Zainab mengajarkan bahwa cinta sejati tak boleh mengalahkan iman. Dalam zaman modern, banyak perempuan diuji antara cinta dunia dan ketaatan kepada Allah — Zainab menjadi teladan bahwa keduanya bisa sejalan jika dasar utamanya adalah keimanan.
Hidup tidak selalu mudah — Zainab mengalami luka, kehilangan, dan perpisahan. Namun ia tetap sabar dan tidak mengeluh. Ini menjadi inspirasi bagi perempuan masa kini agar kuat menghadapi ujian rumah tangga, ekonomi, atau karier.
Zainab tidak menentang suaminya, tapi juga tidak mengorbankan imannya. Ia mencontohkan komunikasi lembut dan kesabaran yang menjadi dasar keharmonisan rumah tangga Islami.
Ketika suaminya akhirnya masuk Islam, cinta mereka bersemi kembali dalam bingkai iman. Cinta yang dibangun di atas takwa akan bertahan dan diberkahi Allah.
Zainab binti Muhammad ﷺ bukan hanya putri Rasulullah, tetapi juga sosok perempuan beriman yang teguh, sabar, dan penuh kasih. Ia menorehkan kisah cinta yang suci, kesabaran yang agung, dan keteladanan yang abadi.
Semoga perempuan di masa kini meneladani Zainab dalam keteguhan iman, kesetiaan dalam cinta, dan kelembutan dalam menghadapi ujian — agar menjadi hamba Allah yang diridhai di dunia dan akhirat.
“Cinta sejati bukan hanya bertahan dalam bahagia, tapi juga dalam ujian — karena ia berlandaskan iman.”
Siti Mufatun, S.Pd (Sekolah Tablih Banjarnegara)