Artikel

Spiritual Marathon Antara Shafa dan Marwah

Oleh:  Dr. Hermawan, M.Pd

Oleh:  Dr. Hermawan, M.Pd.I (Wakil Ketua Majelis Tabligh PWM Jateng dan Dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo)

Olahraga lari menjelma menjadi tren di kalangan Gen Z. Feed media sosial penuh dengan foto di garis start, medali finisher, jersey eksklusif, dan rute event yang Instagramable. Tak ikut rasanya seperti ketinggalan momen. Inilah yang disebut FOMO (Fear of Missing Out) rasa takut tertinggal tren dan cerita. Event lari kini sering dirancang bukan hanya untuk pelari profesional, tapi juga untuk memikat generasi digital. Ada konsep musik live, panggung hiburan, dan bahkan after-run party. Semua itu membuat lari menjadi ajang eksistensi di dunia maya, terkadang lebih dominan daripada niat menjaga kesehatan.

Bagi banyak orang, lari adalah sekadar olahraga untuk membakar kalori atau menyehatkan jantung. Namun, dalam perspektif Islam, setiap aktivitas fisik yang dilakukan dengan niat yang benar dapat bernilai ibadah. Lari, dengan semua manfaat fisik dan mentalnya, bisa menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dari kisah Rasulullah ﷺ hingga ritual sa’i dalam haji, lari memiliki jejak yang dalam dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan keseimbangan antara jasmani dan rohani. Kesehatan tubuh adalah amanah yang harus dijaga, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah…”(HR. Muslim). Dengan tubuh yang bugar, seorang Muslim lebih mudah menunaikan ibadah harian, seperti shalat dengan khusyuk, berpuasa dengan kuat, hingga menunaikan haji. Lari menjadi salah satu cara sederhana dan efektif untuk mencapai kondisi tersebut.

Bahkan dalam hadis riwayat Abu Dawud, bahwa Aisyah r.a. menceritakan bahwa ia pernah berlomba lari dengan Rasulullah ﷺ. Pertama kali ia menang, lalu pada kesempatan lain Rasulullah menang, sambil berkata, “Ini untuk kemenangan yang dulu.” (HR. Abu Dawud)
Hadis di atas menunjukkan bahwa lari adalah olahraga yang dianjurkan, bahkan menjadi bagian dari interaksi hangat dalam rumah tangga. Selain itu, Hadis tersebut menunjukkan bahwa lari bukan hanya bermanfaat untuk kesehatan, tetapi juga bisa menjadi sarana mempererat hubungan, menumbuhkan kegembiraan, dan menguatkan kebersamaan.

Menariknya lagi, terdapat salah satu praktik ibadah yang harus dikerjakan dengan berlari-lari kecil atau sa’i. Sa’i adalah rukun haji dan umrah yang mengharuskan berlari kecil atau berjalan cepat antara bukit Shafa dan Marwah. Ini menghidupkan kembali kisah perjuangan Hajar yang berlari mencari air untuk Ismail a.s. hingga Allah memunculkan mata air zam-zam.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah…”(QS. Al-Baqarah: 158).. Dari keteguhan hati Siti Hajar, Allah swt memancarkan air zamzam yang menghidupi jutaan manusia hingga hari ini. Dalam sa’i, terdapat momen lari kecil di antara tanda hijau yang khusus disunnahkan bagi laki-laki. Lari ini menjadi simbol semangat, optimisme, dan tawakkal. Ia mengajarkan bahwa dalam hidup, kita harus bergerak cepat dalam kebaikan, berusaha maksimal sebelum menyerahkan hasil kepada Allah. Allah berfirman: “Maka berlarilah kamu sekalian menuju ampunan dari Tuhanmu…” (QS. Adz-Dzariyat: 50). Maka, lari dalam sa’i bukan sekadar gerakan tubuh, tetapi gerakan hati yang menghidupkan iman. Setiap langkah adalah dzikir, setiap napas adalah doa, dan setiap titik peluh adalah saksi bahwa kita telah meneladani keteguhan seorang ibu yang ikhlas dan percaya penuh pada Rabbnya.

Dalam Islam, aktivitas duniawi bisa bernilai ibadah jika niatnya lurus. Lari yang diniatkan untuk menjaga kesehatan demi memperkuat ibadah akan menjadi amal yang berpahala. Allah ﷻ berfirman:“…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195). Lari bisa menjadi sarana melatih kesabaran, disiplin, dan rasa syukur. Setiap langkah yang diayunkan bisa menjadi dzikir jika diiringi ingat kepada Allah. Di sinilah “spirit” menyatu dengan “sprint” angkah cepat bukan hanya mengejar garis finish, tetapi juga ridha Ilahi. Lari bisa menjadi simbol perjalanan hidup: ada start, ada rintangan, dan ada finish. Tapi finish sejati bagi seorang Muslim bukanlah medali di leher, melainkan perjumpaan dengan Allah dalam keadaan hati yang tenang dan tubuh yang digunakan untuk kebaikan.

Berlari bukan hanya soal mengalahkan waktu, tapi juga mengalahkan diri sendiri. Bukan hanya soal langkah kaki, tapi juga langkah iman. Lebih dari itu, yang menjadi Impian seorang muslim adalah dapat berlari-lari kecil antara shafa dan Marwah serta mengelilingi Ka’bah baitullah. Mari jadikan setiap sprint kita penuh spirit, agar setiap garis finish di dunia menjadi awal perjalanan menuju Jannah.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Check Also
Close
Back to top button