Si Paling Sederhana

Dalam sejarah Islam, nama Fāṭimah az-Zahrā’ binti Muhammad ﷺ bersinar terang sebagai sosok perempuan mulia, putri kesayangan Rasulullah ﷺ, istri dari Ali bin Abi Thalib, dan ibu dari Hasan serta Husain—dua pemuda penghulu surga.
Keteladanan beliau bukan hanya dikenang oleh umat Islam masa lalu, tetapi menjadi cermin kehidupan bagi perempuan zaman modern yang hidup di tengah arus materialisme dan gaya hidup serba instan.
- Kehidupan yang Penuh Kesederhanaan
Fatimah hidup dalam kesederhanaan yang luar biasa, jauh dari kemewahan meski beliau adalah putri Rasulullah ﷺ. Beliau menggiling gandum sendiri, menimba air, menenun kain, dan melayani keluarganya tanpa mengeluh. Ketika suatu hari beliau meminta pembantu kepada ayahandanya, Rasulullah ﷺ bersabda:
قَالَ عَلِيٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلاَمُ شَكَتْ مَاتَلْقَى مِنْ أَثَرِالرَّحَى فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ، فَاْنَطَلَقَتْ فَلَمْ تَجِدْهُ، فَوَجَدَتْ عَائِشَةَ، فَأَخْبَرَتْهَا، فَلَمَّا جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ عَائِشَةُ بِمَجِِئِ فَاطِمَةَ فَجَاءَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْنَا، وَقَدْ اَخَذْنَا مَضَا جِعَنَا، فَذَ هَبْتُ لاِقُوْمَ، فَقَالَ : عَلَى مَكَا نِكُمَا، فَقَعَدَ بَيْنَنَا، حَتَّى وَجَدْتُ بُرْدَ قَدَمَيْهِ عَلَى صَدْرِى، وَقَالَ : أَلاَ أُعَلِّمُكُمَا خَيْرًا مِمَّا سَأَلْتُمَانِى؟! إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا، تُكَبِّرَا أَرْبَعًا وَ ثَلاَثِيْنَ، وَتُسَبِّحَاثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ، وَتَحْمَدَا ثَلاَثَةً وَثَلاَثِيْنَ، فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ.
“Ali berkata, Fathimah mengeluhkan bekas alat penggiling yang dialaminya. Lalu pada saat itu ada seorang tawanan yang mendatangai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Fathimah bertolak, namun tidak bertemu dengan beliau. Dia mendapatkan Aisyah. Lalu dia mengabarkan kepadanya. Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba, Aisyah mengabarkan kedatangan Fathimah kepada beliau. Lalu beliau mendatangi kami, yang kala itu kami hendak berangkat tidur. Lalu aku siap berdiri, namun beliau berkata. ‘Tetaplah di tempatmu’. Lalu beliau duduk di tengah kami, sehingga aku bisa merasakan dinginnya kedua telapak kaki beliau di dadaku. Beliau berkata. ‘Ketahuilah, akan kuajarkan kepadamu sesuatu yang lebih baik dari pada apa yang engkau minta kepadaku. Apabila engkau hendak tidur, maka bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali, dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, maka itu lebih baik bagimu daripada seorang pembantu“.
Kesederhanaan bukan kelemahan. Fatimah mengajarkan bahwa nilai perempuan tidak diukur dari harta, status sosial, atau kemewahan hidup, tetapi dari ketaatan, keikhlasan, dan kesabaran dalam menjalani peran sebagai istri, ibu, dan hamba Allah.
- Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Ujian
Fatimah menyaksikan langsung penderitaan ayahandanya dalam perjuangan dakwah. Ia sabar menghadapi kesempitan hidup, kehilangan ibunya (Khadijah r.a.), dan berbagai ujian berat lainnya.
Namun, ia tetap tegar dan penuh tawakal. Ketika Rasulullah ﷺ wafat, beliau sangat berduka, tetapi tetap menjaga kesabarannya.
Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٥
Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar,
Fatimah menunjukkan bahwa kesabaran adalah kekuatan batin sejati. Di era modern yang penuh tekanan hidup, stres, dan persaingan, perempuan perlu meneladani kesabaran Fatimah dalam menghadapi ujian dengan keimanan yang kokoh.
- Peran Sebagai Istri dan Ibu yang Salehah
Fatimah adalah istri setia bagi Ali bin Abi Thalib. Keduanya hidup saling menghormati dan bekerja sama. Meskipun hidup sederhana, rumah mereka penuh berkah.Ia mendidik anak-anaknya, Hasan dan Husain, dengan nilai-nilai iman, akhlak, dan keberanian.
Rasulullah ﷺ bersabda:
صحيح مسلم ٤٤٨٢: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يُونُسَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ كِلَاهُمَا عَنْ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ الْقُرَشِيُّ التَّيْمِيُّ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ إِنَّ بَنِي هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُونِي أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَلَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ إِلَّا أَنْ يُحِبَّ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا ابْنَتِي بَضْعَةٌ مِنِّي يَرِيبُنِي مَا رَابَهَا وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا
Shahih Muslim 4482: Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Abdullah bin Yunus] dan [Qutaibah bin Sa’id] keduanya dari [Al Laits bin Sa’id], [Ibnu Yunus] berkata: Telah menceritakan kepada kami [Laits] Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Ubaidullah bin Abu Mulaikah Al Quraisyi At Taimi] bahwa [Al Miswar bin Makhramah] menceritakan kepadanya, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpidato di atas mimbar: “Sesungguhnya bani Hisyam bin Al Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak mereka dengan Ali bin Abu Thalib, maka aku tidak mengizinkan mereka, kemudian mereka minta izin lagi, akupun tetap tidak mengizinkan mereka, kemudian mereka meminta izin lagi, dan tetap tidak aku izinkan, kecuali jika Ali ingin mentalak anakku (Fatimah) kemudian menikahi anak mereka. Karena sesungguhnya anakku adalah bagian dariku. Orang yang telah menghinakannya maka akan menghinakanku pula. Dan orang yang menyakitinya, berarti menyakitiku pula.”
Fatimah menjadi teladan bagi istri yang taat dan ibu yang mendidik generasi beriman. Di tengah kesibukan karier dan teknologi, ia mengingatkan perempuan untuk tetap menjadikan rumah sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya.
- Keimanan dan Zuhud dari Dunia
Fatimah tidak tergiur dengan gemerlap dunia. Beliau mengutamakan akhirat di atas kesenangan duniawi. Suatu ketika, Rasulullah ﷺ berkata kepadanya:
“Wahai Fatimah, bekerja keraslah untuk akhiratmu, karena aku tidak dapat menolongmu di hadapan Allah.”
(HR. Bukhari)
Kecantikan sejati bukan dari riasan atau pakaian mahal, melainkan dari ketulusan ibadah dan akhlak yang mulia. Fatimah mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat — menjadi perempuan yang kuat, beriman, dan berakhlak tinggi.
- Keistimewaan Fatimah di Sisi Allah
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Cukuplah Fatimah menjadi pemimpin bagi seluruh wanita penghuni surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemuliaan ini bukan karena ia anak Nabi, tetapi karena ketakwaan, akhlak, dan pengabdian tulusnya kepada Allah.
Fatimah az-Zahra adalah cermin ideal bagi perempuan sepanjang masa — lembut tapi tegas, sederhana tapi mulia, sabar tapi kuat.Di era modern yang sering menilai perempuan dari penampilan luar, Fatimah hadir sebagai pengingat bahwa kemuliaan sejati ada pada hati yang ikhlas dan iman yang teguh.
“Wahai perempuan Muslimah, jadilah seperti Fatimah az-Zahra — yang menjaga kehormatan, menebar kasih, menegakkan kesabaran, dan menjadikan ridha Allah sebagai tujuan utama hidup.”
Siti Mufatun,S.Pd (Sekolah Tablih Banjarnegara)