Pujian untuk Sang Kekasih : Menggapai Sunnah Melalui Cinta yang Tulus

Ungkapan bahwa pujian kepada Nabi Muhammad SAW adalah getaran hati, ungkapan kerinduan, dan bukti cinta yang mendalam, bukan hanya sekadar kalimat indah. Ia adalah esensi dari sebuah amal yang bernilai spiritual tinggi. Pujian bukanlah sebuah kewajiban yang dingin, melainkan sebuah manifestasi dari cinta yang tak bertepi. Ketika sebuah hati dipenuhi rasa kagum dan cinta kepada Rasulullah, lisan secara otomatis akan mengalirkan kata-kata pujian, seolah tak mampu menahan luapan emosi yang ada di dalamnya.
Ini menjelaskan mengapa pujian kepada Nabi tidak bisa disamakan dengan nyanyian hampa. Ia memiliki roh, ia memiliki makna. Setiap bait yang dilantunkan adalah cerminan dari pengakuan kita atas keagungan akhlak, kesempurnaan fisik, dan perjuangan beliau yang tak kenal lelah dalam menyampaikan risalah. Ini adalah cara kita, sebagai umatnya, untuk merasakan kembali kehadirannya dalam kehidupan, meneladani langkahnya, dan menguatkan ikatan batin dengannya. Dan yang lebih menghangatkan hati, perbuatan ini bukan hanya diizinkan, melainkan disetujui, direstui, bahkan dibalas dengan cinta oleh Rasulullah sendiri. Inilah yang menjadikan memuji Nabi sebagai sunnah—sebuah jalan spiritual yang menghubungkan kita dengan mata air teladan.
Dalam ilmu hadis, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik itu perkataan, perbuatan, maupun persetujuan beliau. Sunnah menjadi sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an dan menjadi pedoman hidup bagi umat Muslim. Sunnah dibagi menjadi tiga jenis utama:
- Sunnah Qauliyah: Sunnah yang berupa perkataan atau ucapan Nabi Muhammad SAW. Contohnya adalah hadis-hadis yang berisi sabda-sabda beliau, seperti “Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya.”
- Sunnah Fi’liyah: Sunnah yang berupa perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Contohnya adalah cara beliau melaksanakan salat, berpuasa, atau berinteraksi dengan sesama.
- Sunnah Taqririyah: Sunnah yang berupa persetujuan atau diamnya Nabi Muhammad SAW terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat di hadapan beliau. Jika Nabi melihat suatu perbuatan baik dan tidak melarangnya, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai sunnah.
Dari ketiga jenis sunnah ini, Sunnah Taqririyah adalah kunci untuk memahami mengapa memuji Nabi adalah sunnah. Pujian kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah sesuatu yang baru muncul di kemudian hari. Sejak masa hidup beliau, para sahabat telah sering kali melantunkan syair-syair atau pujian untuk mengagungkan dan memuliakan beliau. Perbuatan ini tidak hanya tidak dilarang, tetapi juga mendapatkan persetujuan dan bahkan pujian balik dari Nabi sendiri.
- Hassan bin Tsabit RA
Hassan bin Tsabit dikenal sebagai penyair Rasulullah. Ia menggunakan bakatnya dalam bersyair untuk membela Nabi dari celaan kaum musyrikin dan memuji keagungan akhlak serta perjuangan beliau. Salah satu syairnya yang terkenal dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari adalah:
نورٌ يُستضاءُ بهِ … مُهْدىً بِهِ يُهْتَدى
عَيْنٌ بِغَيْرِ مَاءٍ … وَأُذُنٌ بِغَيْرِ صَمَمٍ
وَرُوحٌ بِغَيْرِ رِيَبٍ … وَجَبِينٌ بِغَيْرِ عَظَمٍ
Artinya: “Engkau adalah mata yang tidak buta oleh air mata, Engkau adalah telinga yang tidak tuli oleh suara, Engkau adalah jiwa yang tidak terpengaruh oleh keraguan.
Engkau memiliki keagungan yang tidak terjangkau, Engkau memiliki keindahan yang tidak tertandingi, Engkau adalah cahaya yang menerangi kegelapan, Engkau adalah rembulan yang menyinari malam.”
Puisi Hassan bin Tsabit ini bukanlah sekadar rangkaian kata yang indah, melainkan getaran jiwa yang berusaha menangkap keagungan yang tak terlukiskan. Ia adalah cerminan dari hati yang telah disinari oleh Nabi Muhammad SAW, hingga sang penyair tak mampu lagi menahan luapan cintanya.
Puisi ini dimulai dengan gambaran yang begitu dalam: “نورٌ يُستضاءُ بهِ … مُهْدىً بِهِ يُهْتَدى” (“Cahaya yang dengannya ia bersinar… petunjuk yang dengannya ia diberi petunjuk”). Kata-kata ini menggambarkan Nabi bukan hanya sebagai sumber cahaya fisik, tetapi sebagai sumber cahaya spiritual yang menerangi kegelapan jiwa. Seolah-olah Hassan bin Tsabit ingin mengatakan, “Wahai manusia, di tengah kebingungan dan kegelapan, ada satu cahaya yang abadi, yaitu cahaya Nabi.” Cahaya ini takkan pernah padam, dan setiap orang yang mengikutinya akan menemukan jalan yang benar.
Kemudian, Hassan melanjutkan dengan metafora yang begitu menyentuh: “عَيْنٌ بِغَيْرِ مَاءٍ … وَأُذُنٌ بِغَيْرِ صَمَمٍ” (“Engkau adalah mata yang tidak buta oleh air mata, Engkau adalah telinga yang tidak tuli oleh suara”). Ini adalah gambaran tentang kesempurnaan batin Nabi. Matanya tidak buta karena kesedihan atau air mata, karena hatinya selalu bersandar pada Allah. Telinganya tidak tuli oleh bisikan atau godaan dunia, karena ia hanya mendengarkan wahyu dari langit. Ini adalah pujian yang mendalam, mengakui bahwa Nabi adalah insan yang bersih, yang tak terpengaruh oleh kelemahan dan keraguan manusia.
Bait selanjutnya, “وَرُوحٌ بِغَيْرِ رِيَبٍ” (“Engkau adalah jiwa yang tidak terpengaruh oleh keraguan”), menegaskan kembali keyakinan Hassan bahwa Nabi adalah sosok yang memiliki iman dan keyakinan yang kokoh. Dalam badai fitnah dan penolakan, jiwanya tetap teguh, tidak pernah goyah. Keraguan adalah musuh tersembunyi, tetapi Nabi Muhammad memiliki jiwa yang begitu murni hingga ia tak pernah disinggahi oleh keraguan sedikit pun.
Puisi ini ditutup dengan kalimat yang begitu agung: “Engkau memiliki keagungan yang tidak terjangkau, Engkau memiliki keindahan yang tidak tertandingi, Engkau adalah cahaya yang menerangi kegelapan, Engkau adalah rembulan yang menyinari malam.” Ini adalah puncak dari pujian Hassan bin Tsabit. Ia menyimpulkan bahwa keindahan dan keagungan Nabi tidak bisa diukur dengan standar manusia. Ia adalah satu-satunya cahaya yang bisa menuntun kita keluar dari kegelapan kebodohan dan kezaliman. Ia adalah rembulan yang menenangkan hati di tengah malam yang sunyi, memberikan harapan dan kedamaian.
Melalui puisi ini, Hassan bin Tsabit tidak hanya memuji Nabi, tetapi ia juga mengajari kita bagaimana seharusnya memandang beliau: sebagai cahaya, sebagai petunjuk, sebagai teladan yang sempurna. Setiap baitnya adalah ajakan untuk merenung, untuk membuka hati, dan untuk mencintai Rasulullah SAW dengan cara yang tulus, seakan-akan kita melihatnya dengan mata hati kita sendiri.
Nabi Muhammad sangat menyukai dan mendukung syair-syair Hassan bin Tsabit. Beliau bahkan mendoakannya, “Ya Allah, dukunglah dia dengan ruh al-Qudus (Malaikat Jibril).” Ini adalah bukti nyata bahwa pujian yang tulus kepada Nabi adalah perbuatan yang disetujui dan diberkahi.
- Ka’ab bin Zuhair RA
Ka’ab bin Zuhair awalnya adalah seorang penyair yang memusuhi Nabi Muhammad SAW. Namun, setelah adiknya, Bujair, masuk Islam, ia pun menyesal dan datang ke hadapan Nabi untuk menyatakan keislamannya. Di hadapan Nabi, ia melantunkan sebuah syair yang kemudian dikenal dengan nama Qasidah Burdah. Di dalam syair tersebut, Ka’ab bin Zuhair memuji Nabi dengan sepenuh hati dan menyatakan penyesalannya.
Dalam sebuah majelis Nabi SAW, Ka’ab mengumumkan keislamannya dan kemudian membacakan qasidah (puisi panjang) ini sebagai permohonan maaf dan pujian. Nabi SAW sangat tersentuh dengan puisi tersebut hingga beliau memberikan jubahnya (burdah) sebagai hadiah kepada Ka’ab. Peristiwa inilah yang membuat puisi ini dijuluki “Qasidah Burdah”. Kutipan bagian awal puisi “Banat Su’ad” yang paling terkenal sebagai berikut:
بَانَتْ سُعَادُ فَقَلْبِي الْيَوْمَ مَتْبُولُ
مُتَيَّمٌ إِثْرَهَا لَمْ يُفَدْ مَكْبُولُ
وَمُعَذَّبٍ مِنْ لِقَائِهَا بِغَيْرِ جُرْمٍ
إِلَى الْهَوَى غَيْرِ مَا إِثْمٍ وَمَأْثُمِ
Artinya: “Su’ad telah pergi, maka hatiku hari ini merana”
“Terbelenggu cinta kepadanya, tak dapat ditebus dan terikat”
“Dan tersiksa karena berpisah darinya tanpa dosa”
“Hanyalah karena cinta, bukan karena perbuatan salah dan dosa”
Kemudian, setelah pengantar tentang cinta yang merana (sebagai metafora untuk penyesalannya), Ka’ab beralih untuk memuji Nabi SAW. Berikut adalah beberapa bait pujiannya:
أَنَّ الْرَسُولَ لَنُورٌ يُسْتَضَاءُ بِهِ
مُهَنَّدٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ مَسْلُولُ
Artinya: “Sesungguhnya Rasul itu adalah cahaya yang menerangi”
“(Bagai) Pedang dari among pedang-pedang Allah yang terhunus”
نَبِيٌّ أَتَانَا بَعْدَ يَأْسٍ وَفَتْرَةٍ
مِنَ الرُّسُلِ وَالْأَوْثَانِ فِي الأَرْضِ عِبْدُ
Artinya: “Seorang Nabi yang datang kepada kita setelah keputusasaan dan masa kekosongan (dari Rasul)” “Dan berhala-berhala disembah di muka bumi”
مُطَاعُ ثُمَّ يُرْجَى مِنْهُ نَائِلَةٌ
وَمُشْفِقٌ كَانَ قَدْ أُعْطِيَ الْوَعَائِلَ
Artinya: “Beliau ditaati, kemudian diharapkan pemberiannya”
“Dan beliau pengasih, yang telah diberikan sifat penyayang”
Puisi ini bukan hanya sekadar puisi biasa, tetapi merupakan dokumen sejarah yang merekam pertobatan seorang musuh Nabi yang kemudian menjadi pemuji beliau yang paling dikenang. Pemberian Burdah (jubah) Nabi menjadi simbol rahmat, maaf, dan apresiasi yang sangat tinggi dari Nabi SAW terhadap seni dan sastra yang digunakan untuk membela agama dan memuji Allah serta Rasul-Nya.
Puisi “Banat Su’ad” ini telah menjadi inspirasi bagi ratusan bahkan ribuan puisi dan karya sastra Islam lainnya sepanjang sejarah, yang paling terkenal adalah “Qasidah Burdah” karya Imam Al-Bushiri.
Berdasarkan kisah-kisah di atas, jelaslah bahwa memuji Nabi Muhammad SAW adalah sebuah Sunnah Taqririyah. Ketika para sahabat seperti Hassan bin Tsabit dan Ka’ab bin Zuhair memuji beliau, Nabi tidak melarang, apalagi mencela mereka. Sebaliknya, beliau justru memberikan persetujuan, dukungan, dan bahkan hadiah.
Perbuatan yang disetujui oleh Nabi adalah sunnah, dan pujian para sahabat kepada beliau adalah salah satu contohnya. Oleh karena itu, kita sebagai umatnya juga dianjurkan untuk memuliakan dan memuji beliau, tidak hanya dengan ucapan, tetapi juga dengan mengikuti ajarannya, berselawat, dan meneladani akhlaknya yang mulia. Pujian yang tulus kepada Nabi adalah ekspresi cinta dan penghormatan, dan itu merupakan bagian dari sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
(KH. Wahyudi Sarju Abdurrahim, Lc, M.M, Anggota Majelis Tablig PWM Jawa Tengah dan Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Muflihun Temanggung)