Misteri Kapan Terjadinya Gerhana di Zaman Nabi
Debat Astronomis dan Penegasan Sejarah

Peristiwa gerhana matahari yang bertepatan dengan wafatnya Ibrahim, putra Nabi Muhammad ๏ทบ, merupakan salah satu momen paling signifikan dalam sejarah Islam. Bukan hanya karena fenomena alamnya yang spektakuler, tetapi karena menjadi panggung bagi Rasulullah ๏ทบ untuk meluruskan akidah umat dari takhayul dan mengembalikannya pada tauhid yang murni. Hadis yang masyhur dari Al-Mughirah bin Syuโbah meriwayatkan bahwa Rasulullah ๏ทบ bersabda:
ุฅูููู ุงูุดููู ูุณู ููุงููููู ูุฑู ุขููุชูุงูู ู ููู ุขููุงุชู ุงูููููู ุ ูุงู ููููููุณูููุงูู ููู ูููุชู ุฃูุญูุฏู ูููุงู ููุญูููุงุชููู ุ ููุฅูุฐูุง ุฑูุฃูููุชูู ููููู ูุง ููุงุฏูุนููุง ุงูููููู ููุตูููููุง ุญูุชููู ููููุฌููููู
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga gerhana selesai.” (HR. Bukhari no. 1043 & Muslim no. 901)
Sabda ini menutup pintu bagi mitos, namun membuka pintu bagi sains untuk menelisik kembali: kapan tepatnya peristiwa agung ini terjadi? Dengan teknologi astronomi modern, para ahli dapat menghitung mundur pergerakan benda langit dengan presisi luar biasa. Namun, upaya ini memunculkan beberapa kandidat tanggal yang berbeda, menciptakan sebuah diskursus ilmiah yang menarik antara data astronomi dan catatan sejarah.
Titik Tolak: Catatan Sejarah & Pertanyaan Ilmiah
Sumber-sumber sejarah Islam (sirah) sepakat bahwa Ibrahim wafat pada tahun ke-10 Hijriah. Namun, catatan mengenai bulan dan tanggalnya bervariasi, yang menjadi salah satu sumber utama perbedaan dalam analisis. Di sisi lain, data astronomi modern, terutama dari lembaga bereputasi seperti NASA, dapat menyediakan tanggal-tanggal pasti kapan gerhana matahari terlihat dari Jazirah Arab pada periode tersebut. Tugas para peneliti adalah mencocokkan data astronomi yang paling akurat dengan riwayat sejarah yang paling kuat.
Catatan: Blok kuning menunjukkan area dengan visibilitas terbaik.
Kandidat Utama: Analisis Perbedaan Tanggal
Berdasarkan data yang ada, setidaknya ada tiga kandidat utama yang menjadi pusat perdebatan para sejarawan dan astronom.
Analisis 1: Gerhana Cincin (27 Januari 632 M)
Ini adalah kandidat yang paling banyak didukung oleh para astronom modern dan dianggap sebagai konsensus ilmiah internasional.
- Tanggal Masehi: 27 Januari 632 M (menurut Kalender Julian).
- Jenis Gerhana: Gerhana Matahari Cincin (Annular Solar Eclipse). Ini adalah fenomena dramatis di mana Bulan menyisakan “cincin api” di sekelilingnya.
- Visibilitas di Madinah: Perhitungan dari Fred Espenak (NASA) menunjukkan Madinah berada sangat dekat dengan jalur pusat gerhana, dengan magnitudo puncak sekitar 98%.
- Waktu di Madinah: Perkiraan waktu menunjukkan gerhana dimulai sekitar pukul 07:50, mencapai puncak sekitar pukul 09:09, dan berakhir menjelang tengah hari.
- Kesesuaian Sejarah: Tanggal ini bertepatan dengan sekitar 29 Syawal 10 H. Dampak visualnya sangat sesuai dengan deskripsi hadis yang menyebutkan Rasulullah ๏ทบ merasa sangat khawatir (faza’).
Analisis 2: Gerhana Sebagian (5 April 632 M)
Analisis ini juga muncul dalam beberapa diskusi, meskipun kurang populer di kalangan astronom.
- Tanggal Masehi: 5 April 632 M.
- Jenis Gerhana: Gerhana Matahari Sebagian (Partial Solar Eclipse).
- Visibilitas di Madinah: Terlihat, namun dampaknya jauh lebih kecil (magnitudo sekitar 0.6), sehingga peredupan cahaya tidak akan sedramatis gerhana cincin.
- Kesesuaian Sejarah: Kecil kemungkinannya gerhana parsial yang kurang signifikan ini dapat memicu kehebohan seperti yang digambarkan dalam riwayat.
Analisis 3: Gerhana Sebagian (28 Januari 632 M)
Ini adalah pendapat alternatif yang mendasarkan pada riwayat sejarah yang berbeda mengenai bulan wafatnya Ibrahim.
- Tanggal Masehi: 28 Januari 632 M (menurut Kalender Julian).
- Jenis Gerhana: Gerhana Matahari Sebagian (Partial Solar Eclipse).
- Visibilitas di Madinah: Cukup untuk menjadi perhatian publik meskipun tidak sedramatis gerhana cincin.
- Kesesuaian Sejarah: Pendapat ini menarik karena bertepatan dengan sekitar 29 Rabi’ul Awal 10 H, cocok dengan riwayat lain yang menyebutkan Ibrahim wafat pada bulan Rabi’ul Awal, bukan Syawal.
Membandingkan Bukti: Mana yang Paling Kuat?
Ketika berbagai analisis ini dibandingkan, beberapa faktor kunci membuat Gerhana Cincin 27 Januari 632 M menjadi kandidat yang paling kuat:
Kriteria | Gerhana Cincin (27 Januari 632 M) | Gerhana Sebagian (Lainnya) |
---|---|---|
Dampak Visual | Sangat dramatis (“cincin api”), langit meredup signifikan. | Kurang dramatis, hanya sebagian kecil matahari tertutup. |
Kesesuaian Psikologis | Sesuai dengan reaksi “ketakutan” dan “kehebohan” dalam hadis. | Kemungkinan tidak cukup kuat untuk memicu reaksi massa. |
Dukungan Ilmiah | Didukung kuat oleh data NASA dan konsensus astronom internasional. | Merupakan peristiwa astronomis, tetapi dianggap kurang relevan. |
Sinkronisasi Kalender | Sesuai dengan riwayat yang menyebutkan 29 Syawal 10 H. | Memerlukan rujukan pada riwayat historis alternatif (seperti Rabi’ul Awal). |
Debat utama seringkali berpusat pada riwayat mana yang lebih akurat mengenai bulan wafatnya Ibrahim. Namun, banyak sejarawan modern seperti F. Richard Stephenson berargumen bahwa presisi perhitungan astronomi seringkali lebih solid daripada transmisi tanggal dalam teks kuno. Fenomena Gerhana Cincin pada 27 Januari 632 M adalah peristiwa yang begitu pasti dan spektakuler sehingga lebih masuk akal untuk menyimpulkan bahwa inilah gerhana yang dimaksud.
Kesimpulan: Harmoni Antara Sains dan Wahyu
Meskipun terdapat perbedaan dalam analisis, komunitas ilmiah internasional sebagian besar telah berkonvergensi pada Gerhana Matahari Cincin 27 Januari 632 M sebagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah ๏ทบ. Analisis ini menunjukkan harmoni yang indah antara sains modern dan catatan sejarah Islam.
Pada akhirnya, tanggal pastinya adalah detail sekunder dibandingkan dengan pelajaran abadi dari peristiwa itu sendiri. Inti dari kisah ini bukanlah tentang astronomi, melainkan tentang akidah. Di tengah duka pribadi dan kehebohan umatnya, Nabi Muhammad ๏ทบ menggunakan momen tersebut untuk memberikan pelajaran paling fundamental: bahwa alam semesta, dengan segala keteraturan dan fenomenanya yang menakjubkan, tunduk pada satu kekuatan tunggal, yaitu Allah SWT.