Artikel

Kemuliaan Sejati Bukan dari Materi

​Dalam renungan kali ini, kita akan merenungi sebuah kisah yang sarat makna, yaitu kisah penolakan iblis untuk bersujud kepada Nabi Adam. Kisah ini bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan cermin bagi kita untuk memahami arti kemuliaan sejati dan bahaya dari pandangan yang hanya berfokus pada materi.
​Ketika Allah memerintahkan para malaikat dan iblis untuk bersujud kepada Adam, semua malaikat patuh. Namun, iblis menolak. Mengapa? Karena iblis hanya melihat Adam dari sisi materi. Ia berkata, “Bagaimana mungkin aku bersujud kepada makhluk yang Engkau ciptakan dari tanah, sementara aku dari api?” Iblis memandang rendah Adam karena ia melihat wujud fisik Adam yang terbuat dari tanah, sesuatu yang menurutnya lebih rendah dari api.
​Sikap iblis ini diabadikan dalam firman Allah SWT:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)
“Dia (Iblis) menjawab: ‘Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.'” (QS. Al-A’raf: 12)
​Di sinilah letak kesalahan fatal iblis. Ia lupa bahwa kemuliaan Adam tidak datang dari materi penciptaannya, melainkan dari iman dan ilmu yang Allah berikan kepadanya. Nabi Adam adalah makhluk pertama yang dianugerahi ilmu pengetahuan, nama-nama segala sesuatu, dan iman yang kuat. Inilah yang membuatnya pantas menjadi khalifah di muka bumi, bukan wujud fisiknya.
​Allah SWT menegaskan kemuliaan Adam karena ilmu yang diberikan kepadanya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.'” (QS. Al-Baqarah: 31-32)
​Sifat materi itu fana dan tak kekal. Harta, jabatan, ketenaran, dan kecantikan fisik, semua itu akan sirna. Tak ada gunanya jika kita hanya mengejar hal-hal yang bersifat sementara. Sebaliknya, iman dan ilmu adalah dua hal yang abadi dan akan terus menyertai kita. Iman adalah cahaya yang membimbing hati, sementara ilmu adalah jalan yang menerangi pikiran.
​Rasulullah SAW bersabda, menegaskan bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari harta atau kedudukan, melainkan dari ketakwaan: ​”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah memandang kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).
Hal ini juga diperkuat oleh sabda Rasulullah SAW tentang keutamaan orang yang berilmu: ​”Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
​Para ulama sepakat bahwa kisah iblis ini adalah pelajaran berharga bagi manusia. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa penolakan iblis disebabkan oleh kesombongan dan pandangan rendahnya terhadap Adam. Iblis hanya melihat lahiriah dan asal-usul materi, padahal kemuliaan sejati ada pada ruh dan karunia Allah.
​Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin menekankan pentingnya ilmu dan akhlak sebagai bekal utama manusia. Menurutnya, ilmu adalah kunci untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan akhlak yang baik adalah cerminan dari keimanan. Tanpa ilmu, iman seseorang bisa rapuh, dan tanpa iman, ilmu tidak akan membawa manfaat sejati.
​Maka, jika kita ingin menjadi makhluk yang mulia di hadapan Allah, janganlah mengikuti jejak iblis yang hanya memandang dari sisi materi. Perkuatlah iman dan teruslah menuntut ilmu. Dengan iman, kita akan mendapatkan ketenangan hati dan ridha Allah. Dengan ilmu, kita akan mampu membedakan mana yang baik dan buruk, serta menjalani hidup dengan penuh hikmah.
​Sesungguhnya, kemuliaan sejati manusia bukan terletak pada seberapa banyak hartanya, seberapa tinggi jabatannya, atau seberapa indah rupanya, melainkan pada ketakwaan, iman, dan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, mari kita perkuat dua hal ini agar kita menjadi hamba yang mulia di mata Allah dan di seluruh jagat raya. (KH. Wahyudi Sarju Abdurrahim, Lc, M.M, Anggota Majelis Tablig PWM Jateng dan Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Muflihun Temanggung)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button