Keteladanan Kepemimpinan Rasulullah SAW: Sederhana Dan Rela Menderita

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
Ayat di atas menegaskan tentang keteladanan Rasulullah SAW dalam berbagai dimensi kehidupan termasuk dalam kepemimpinan ummat. Rasulullah SAW telah menorehkan tinta emas kepemimpinan kepada umat Islam, sehingga menjadi pemenang tidak saja dalam kehidupan dunia tetapi juga dalam kehidupan akhirat. Kepemimpinan dalam Islam bukan hanya soal kemampuan mengatur urusan duniawi, melainkan juga tentang moral, spiritual, dan pengabdian total kepada Allah SWT serta kemaslahatan umat. Di tengah krisis integritas kepemimpinan dunia modern saat ini, yang sering diwarnai oleh materialisme, hedonisme, serta orientasi kekuasaan semata, sosok Nabi Muhammad SAW hadir sebagai teladan paripurna (uswah hasanah) bagi seluruh manusia. Kepemimpinan Nabi SAW bukan sekadar keberhasilan struktur politik, tetapi menyangkut keteladanan moral. Secara teologis, seorang pemimpin adalah khalifah di muka bumi yang bertugas menegakkan keadilan, menjaga amanah, dan memakmurkan masyarakat. Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada dua hal penting yang sangat menonjol dalam kepemimpinan Nabi SAW yaitu: 1) Kesederhanaan hidupnya meski beliau memiliki kedudukan sebagai pemimpin umat dan kepala negara (QS al-Furqan [25]: 67); 2) Kesediaannya menderita demi dakwah Islam dan keselamatan umat manusia(QS al-Baqarah [2]: 155). Kesederhanaan adalah sikap menjauhkan diri dari kemewahan berlebihan, meskipun memiliki kemampuan untuk memperolehnya.
A. Kesederhanaan Hidup Nabi Muhammad SAW
1) Rumah dan Kehidupan Sehari-hari
Nabi SAW hidup dalam rumah yang amat sederhana, dindingnya dari tanah liat, atapnya dari pelepah kurma, dan tidak luas.Sehingga jika istri beliau, Aisyah RA, tidur di sana maka sebagian tubuhnya menghalangi Nabi yang sedang shalat. Dari Aisyah RA, ia berkata:
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا. رواه البحاري و مسلم
Aku tidur di depan Rasulullâh SAW (yang sedang shalat), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku” (HR. Bukhari no. 382, Muslim no. 512).
2) Makanan Nabi
Rasulullah SAW tidak pernah menuntut makanan mewah. Beliau sering makan dengan roti kasar, kurma, atau cuka seadanya.
عن جابر بن عبدالله قال: أنَّ رسولَ اللهِ ﷺ سألَ أهلَه الإدامَ، قالوا: ما عِندَنا إلّا الخَلُّ، قال: فدَعا به، فجَعَلَ يَأكُلُ ويقولُ: نِعْمَ الإدامُ الخَلُّ، نِعْمَ الإدامُ الخَلُّ. رواه أبو داود، سنن أبي داود (٣٨٢٠) • سكت عنه [وقد قال في رسالته لأهل مكة كل ما سكت عنه فهو صالح] • أخرجه الترمذي (١٨٣٩)، والنسائي (٣٧٩٦)، وابن ماجه (٣٣١٧)، وأحمد (١٤٢٢٥)
Dari Jabir bin Abdullah berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW meminta lauk kepada keluarganya. Kemudian mereka mengungkapkan: Kami memiliki kecuali hanya cuka saja. (Jabir) menyatakan: selanjutnya Rasulullah minta untuk mengambilkanya, kemudian beliau memulai makan. Dan beliau bersabda: “Sebaik-baik lauk adalah cuka. Sebaik-baik lauk adalah cuka” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Majah, dan Ahmad)
عن عائشة أم المؤمنين رضي الله عنها قالت: مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خُبْزِ الشَّعِيرِ يَوْمَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ حَتَّى قُبِضَ رَسولُ اللهِ صَلّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ. [صحيح] • أخرجه البخاري (٦٤٥٤) ومسلم (٢٩٧٠).
Dari Aisyah RA, berkata: Keluarga Muhammad SAW tidak pernah kenyang dari roti gandum dua hari berturut-turut hingga beliau wafat.(HR. Bukhari dan Muslim)
3) Pakaian dan Kendaraan Nabi
Pakaian Nabi sederhana, sering berupa gamis atau kain biasa, yang tidak berbeda dengan pakaian sahabat lainya. Kendaraannya adalah unta dan keledai biasa, bukan kendaraan mewah meski beliau seorang kepala negara. Sehingga beliau ketika duduk bersama para sahabat sering tidak dikenali oleh orang lain.
عن أنس بن مالك قال: بيْنَما نَحْنُ جُلُوسٌ مع النبيِّ ﷺ في المَسْجِدِ، دَخَلَ رَجُلٌ على جَمَلٍ، فأناخَهُ في المَسْجِدِ ثُمَّ عَقَلَهُ، ثُمَّ قالَ لهمْ: أيُّكُمْ مُحَمَّدٌ؟ والنبيُّ ﷺ مُتَّكِئٌ بيْنَ ظَهْرانَيْهِمْ، فَقُلْنا: هذا الرَّجُلُ الأبْيَضُ المُتَّكِئُ. فقالَ له الرَّجُلُ: يا ابْنَ عبدِ المُطَّلِبِ فقالَ له النبيُّ ﷺ: قدْ أجَبْتُكَ. [صحيح] • أخرجه البخاري (٦٣)، ومسلم (١٢)
Dari Anas bin malik RA berkata: Ketika kami (para sahabat) duduk-duduk bersama Nabi SAW di masjid, datanglah seorang lelaki sambil menunggang unta, lalu ia meminggirkan untanya di masjid kemudian mengikatnya. Ia bertanya: ‘siapakah diantara kalian yang bernama Muhammad? Dan Nabi SAW (saat itu) sedang bersandar pada punggung mereka. Maka kami (para sahabat) menjawab: Ini, laki-laki yang sedang bersandar berpakain putih. Orang itu seraya menyapa beliau (nabi saw): wahai cucu Abdul Muthalib!. Kemudian beliau (Nabi) menyahut: Sungguh aku menyayangi kalian” (HR. Bukhari no. 63, Muslim no. 12).
4) Tidur di Atas Tikar Kasar
Ada banyak riwayat yang menunjukan bahwa Rasulullah SAW sangat sederhana dalam tidurnya. Bahkan hal ini sering membuat nangis para sahabatnya seperti Umar Ibnul Khatab dan Ibn Mas’ud RA.
عن عائشة أم المؤمنين قالت: كانَ فِراشُ رَسولِ اللَّهِ صَلّى اللهُ عليه وسلَّمَ مِن أدَمٍ، وحَشْوُهُ مِن لِيفٍ. [صحيح] • أخرجه البخاري (٦٤٥٦)، ومسلم (٢٠٨٢)
Dari Aisyah RA berkata: Alas tidur Rasulullah SAW hanyalah dari kulit yang diisi serabut kurma.” (HR. Bukhari dan Muslim)
عن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال:اضطَجَعَ رَسولُ اللهِ ﷺ على حَصيرةٍ فأثَّرَ الحَصيرُ في جِلدِه، فجَعَلتُ أمسَحُه عنه وأقولُ: بأبي وأُمي يا رَسولَ اللهِ، ألا آذَنْتَنا أنْ نَبسُطَ لكَ شَيئًا يَقيكَ منه تَنامُ عليه؟ فقالَ: ما لي ولِلدُّنيا؟ ما أنا والدُّنيا؟ إنَّما أنا والدُّنيا كَراكِبٍ استَظَلَّ تَحتَ شَجَرةٍ ثم راحَ وتَرَكَها. رواه أبو نعيم، حلية الأولياء (٤/٢٦٠) • غريب من حديث عمرو وإبراهيم تفرد بن المسعودي • أخرجه الترمذي (٢٣٧٧)، وابن ماجه (٤١٠٩)، وأحمد (٣٧٠٩)،
Dari Abdullah bin Mas’ud RA berkata: Rasulullah SAW tidur di atas anyaman pelepah. Anyaman pelepah itu membekas pada kulit Nabi SAW. Kemudian aku mengusapnya dan berkata: demi bapak dan ibu wahai rasulullah, apakah engakau mengizinkan kami untuk membentangkan sesuatu untukmu yang dapat melindungimu pada saat kamu tidur? Maka Rasulullah Bersabda: “Apa urusanku dengan dunia? Aku dan dunia ini bagaikan seorang pengendara yang berteduh di bawah pohon, lalu ia pergi meninggalkannya. (HR. Ubu Nu’aim, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad).
Kesederhanaan Nabi menegaskan bahwa seorang pemimpin sejati tidak menjadikan harta dan kemewahan sebagai ukuran martabat.
B. Rela Menderita Untuk Menolong Umat
Sebelum diutus sebagai seorang rasul, Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai orang yang berkecukupan harta (kaya). Dan pada saat risalah datang, maka beliau menggunakan harta yang ia miliki itu untuk kepentingan dakwah dan bahkan rela menderita demi umat dakwahnya itu.
1) Rasulullah berkurban harta untuk membebaskan umatnya.
Diantara para sahabat yang dimerdekakan oleh Nabi SAW adalah Zaid bin Haritsah, Ummu Ayman (Barakah), Shafiyah binti Huyayy, Raihanah bin Zaid, Mariyah al-Qibtiyah, Abu Rafi’, Tsauban, dan Abu Kabshah. Dan jumlah sahabat yang dimerdekakan oleh Nabi ﷺ cukup banyak. Penulis sejarah, Ibn Sa‘d mengabadikannya dalam karyanya Thabaqāt al-Kubrā dan Imam al-Baladzuri dalam kitabnya Ansāb al-Ashrāf mencatat daftar panjangnya. Dan dalam suatu riwayat, Rasulullah ﷺ dikenal memerdekakan budak setiap tahun dan bahkan pada Haji Wada‘ beliau memerdekakan 63 orang budak, sesuai dengan umur beliau saat itu.
2) Rasulullah tidak pernah menolak permintaan ummatnya yang Butuh
Rasulullah dikenal sebagai sosok yang tidak pernah menolak setiap permintaan umatnya. Selagi beliau mampu dan ada, Nabi selalu bersedia dan rela untuk berbagi kepada umatnya.
عن سهل بن سعد قال: جَاءَتِ امْرَأَةٌ بِبُرْدَةٍ… قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَسَجْتُ هَذِهِ بِيَدِي أَكْسُوكَهَا، فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْتَاجًا إِلَيْهَا، فَخَرَجَ إِلَيْنَا وَإِنَّهَا إِزَارُهُ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اكْسُنِيهَا. فَقَالَ: «نَعَمْ». فَجَلَسَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَجْلِسِ، ثُمَّ رَجَعَ، فَطَوَاهَا ثُمَّ أَرْسَلَ بِهَا إِلَيْهِ، فَقَالَ لَهُ القَوْمُ: مَا أَحْسَنْتَ، سَأَلْتَهَا إِيَّاهُ، لَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّهُ لاَ يَرُدُّ سَائِلًا، فَقَالَ الرَّجُلُ: وَاللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِتَكُونَ كَفَنِي يَوْمَ أَمُوتُ، قَالَ سَهْلٌ: فَكَانَتْ كَفَنَهُ. رواه البخاري.
Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad berakata: ada seorang wanita yang datang membawa sebuah burdah… lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menenun kain burdah ini dengan tanganku agar engkau memakainya, Maka Nabi SAW pun mengambil kain burdah tersebut dalam kondisi memang membutuhkannya, lalu Nabi SAW keluar menemui kami dengan menggunakan kain burdah tersebut sebagai sarung beliau, Maka ada seorang lelaki –diantara kaum yang hadir- berkata, “Wahai Rasulullah, berikanlah sarung itu kepadaku untuk aku pakai !”. Nabi berkata, “Iya”. Maka Nabi pun duduk di suatu tempat lalu kembali, lalu melipat kain burdah tersebut lalu ia kirimkan kepada orang yang meminta tadi. Maka orang-orangpun berkata kepadanya, “Bagus sikapmu…, engkau meminta kain tersebut kepada Nabi, padahal kau sudah tahu bahwa Nabi tidak pernah menolak orang yang meminta kepadanya?” Maka orang itu berkata, “Demi Allah, aku tidaklah meminta kain tersebut kecuali agar kain tersebut menjadi kain kafanku jika aku meninggal”. Sahl berkata, “Maka kain tersebut akhirnya menjadi kafan orang itu” (HR Al-Bukhari no 2093)
3) Rasulullah Lapar bersama para shabatnya saat perang khandaq
Dalam berbagai kitab sirah nabawiyah diceritakan, bahwa pada saat perang Khandaq, selama tiga hari Rasulullah SAW tidak makan, karena tidak ada makanan yang tersisa. Dalam kondisi seperti ini, Rasulullah menganjal perutnya dengan batu. Dan itu diketahui oleh Jabir bin Abdullah saat beliau mengangkat kapak untuk memecahkan batu besar yang menghalangi penggalian parit. Melihat kondisi yang demikian itu Jabir meleleh air matanya seraya pulang menemui istrinya untuk mengais sisa-sisa makanan untuk bisa dimasak diberikan kepada rasulullah SAW. Dan disinilah terjadi mukjizat, dimana makanan yang sedikit tidak hanya dimakan oleh Rasulullah SAW, tetapi makanan itu diberikan oleh Rasulullah kepada kaum Muslimin dan mengenyangkan orang-orang yang dalam kondisi lapar tidak kurang dari 1000 orang sahabat.
Waallah ‘alam bi al-shawwab
Agus Miswanto, MA* Anggota Dewan Pengawas Syariah Lazismu Jawa Tengah, Dosen pada Prodi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA).