
Sejarah mencatatnya sebagai momen agung ketika Rasulullah SAW dan 10.000 pasukannya memasuki Mekah. Bukan dengan pedang terhunus dan dendam membara, melainkan dengan ketenangan, tawadhu, dan kebesaran jiwa. Di tengah rombongan yang penuh wibawa itu, seorang sahabat berjalan di depan, memegang tali kekang unta Rasulullah. Dialah Abdullah bin Rawahah, seorang penyair, panglima, dan juru tulis yang terkenal. Namun, yang ia ucapkan bukanlah lantunan doa atau pujian yang lembut. Kata-kata yang keluar dari bibirnya bagai guruh yang membelah keheningan, sebuah syair yang tajam dan menggetarkan.
Tinggalkanlah jalan bagi kami, wahai anak-anak orang kafir. Tinggalkan jalan bagi kami, sebab kami akan membantai kalian. Bantai dengan pukulan yang keras, yang akan melenyapkan kepala kalian dari tempatnya, dan membuat kalian berpisah dari teman-teman kalian.
Seketika, syair itu membuat Umar bin Khattab merasa tidak nyaman. Di mata Umar, ungkapan itu terasa keras, tidak sesuai dengan semangat damai yang hendak ditunjukkan. Ia pun menegur Abdullah bin Rawahah. Namun, reaksi Rasulullah SAW sungguh mengejutkan. Beliau tersenyum, lalu bersabda, “Biarkanlah dia, wahai Umar. Sesungguhnya syairnya itu lebih keras dan tajam bagi mereka (kaum musyrikin) daripada tusukan panah.” Di sinilah letak inspirasi yang mendalam. Kisah ini bukan sekadar anekdot sejarah, melainkan pelajaran berharga tentang kekuatan kata, keberanian berdakwah, dan kepiawaian memahami konteks.
Pernyataan Rasulullah SAW bukanlah sebuah kebetulan. Sabda beliau, “Sesungguhnya syairnya itu lebih keras dan tajam bagi mereka (kaum musyrikin) daripada tusukan panah,” memberikan legitimasi penuh terhadap peran penting seni dan sastra dalam dakwah. Ini adalah pengakuan bahwa medan perang tidak hanya diukur dari pedang dan panah, tetapi juga dari perang urat syaraf dan ideologis.
Rasulullah SAW memahami bahwa apa yang dibutuhkan saat itu bukanlah hanya ketenangan, tetapi juga deklarasi kemenangan yang akan mematahkan semangat musuh secara total. Syair Abdullah bin Rawahah berfungsi sebagai senjata psikologis yang meruntuhkan mental kaum musyrikin yang saat itu melihat pasukan Muslimin memasuki kota mereka. Kata-kata yang kuat itu mengirimkan pesan bahwa Islam telah menang dan tidak ada lagi perlawanan yang bisa mereka lakukan. Ini adalah sebuah jihad lisan, pertempuran yang mengalahkan musuh tanpa menumpahkan darah. Abdullah bin Rawahah membuktikan bahwa lidah seorang mukmin bisa lebih tajam dari pedang.
Meskipun isinya tidak secara eksplisit memuji Nabi, syair ini adalah sebuah pujian tak langsung yang jauh lebih kuat dan mengena. Dengan lantang menyatakan kemenangan Islam, ia secara tidak langsung memuliakan Rasulullah SAW sebagai pemimpin agung yang berhasil membawa kemenangan itu. Syair ini adalah deklarasi keberhasilan dakwah yang telah diperjuangkan selama 21 tahun. Ia merangkum penderitaan, pengorbanan, dan perjuangan panjang para sahabat. Dalam setiap baitnya, tersirat pengakuan bahwa kemenangan ini adalah karunia Allah yang dianugerahkan melalui kepemimpinan Rasulullah SAW. Ini adalah bukti nyata dari keberanian dan ketaatan yang luar biasa, sebuah pujian yang diwujudkan dalam tindakan dan kata-kata yang penuh makna.
Kisah Abdullah bin Rawahah mengajarkan kita sebuah pelajaran universal: setiap bakat yang kita miliki bisa menjadi alat untuk berdakwah di jalan Allah. Rasulullah SAW tidak membatasi dakwah hanya pada mimbar atau medan perang. Beliau memberikan ruang dan legitimasi bagi berbagai bentuk ekspresi, termasuk seni.
Intinya, apa pun profesi atau keahlian kita, kita bisa menjadikannya senjata dakwah yang efektif. Tugas kita bukan hanya meniru apa yang dilakukan para sahabat, tetapi memahami semangat di baliknya. Semangat untuk menggunakan apa yang Allah anugerahkan kepada kita demi meninggikan kalimat-Nya.
Kisah ini juga mengingatkan kita untuk berani tampil beda, bahkan jika pandangan kita tidak populer. Ketika Umar bin Khattab meragukan, Rasulullah SAW justru mendukung. Ini adalah pengingat bahwa terkadang, cara-cara yang “tidak biasa” justru bisa lebih efektif dan bermakna.
Maka, renungkanlah. Jika Abdullah bin Rawahah mampu mengubah syair menjadi senjata kemenangan, apa yang bisa kita ubah dari bakat kita menjadi ladang amal jariah? Bagaimana kita bisa menjadikan pekerjaan, hobi, atau keahlian kita sebagai alat untuk menebarkan inspirasi dan kebaikan bagi sesama?
Kisah Fathu Makkah dan syair Abdullah bin Rawahah adalah pengingat bahwa kemenangan sejati tidak hanya diraih dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan keberanian hati, ketajaman akal, dan kekuatan kata.
(KH Wahyudi Sarju Abdurrahim, Lc, M.M, Anggota Majelis Tablig PWM dan Pengasuh Pondok Pesantren Modern Al-Muflihun)